[caption id="attachment_212862" align="alignleft" width="320" caption="Pengemis tidak profesional? (basukipramana.blogspot.com)"][/caption]
Akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk mengemis!
Meskipun hanya mendengarkan sekilas dalam perjalanan ke kantor beberapa hari yang lalu namun hari ini saya sudah dapat mengkonfirmasi bahwa berita ini benar.
Mengapa haram? Sederhana saja karena pekerjaan ini membuat posisi orang yang meminta menjadi sangat hina. Mengapa hina? Tentu saja hina jika sebenarnya para pengemis tersebut memiliki kemampuan mencari nafkah dengan cara lain namun ternyata lebih memilih untuk dikasihani orang lain.
Bayangkan saja untuk mendapat belas kasihan, sebagian dari mereka sengaja berbohong dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan ber-acting sakit, ada yang membalut kakinya dan memberi obat merah disana sini bahkan ada yang berjalan dengan posisi ngesot di jalan. Selain itu ada yang membawa anak bayi di siang hari bolong dan dibawah hujan untuk membuat kita merasa bersalah.
Ingatan saya melayang ke suatu diskusi dengan dua kawan kuliah dalam perjalanan ke kampus ketika saya meminta mereka tidak memberikan uang kepada para pengemis yang entah darimana tiba-tiba sudah mengelilingi mobil kami yang sedang berhenti di suatu perempatan jalan.
Salah satu kawan saya itu mengingatkan bahwa saya kerap memberi tips kepada pekerja salon rata rata 15 persen dari total pembayaran jka saya melakukan perawatan rambut di sebuah salon yang menurut kawan saya itu berlebihan karena pekerja salon tersebut bekerja jadi pasti mendapat gaji tetap sementara para pengemis tidak bekerja.
Saya dengan antusias menjelaskan bahwa tips itu adalah bentuk penghargaan terhadap kerja seseorang jadi kalo saya tidak puas, saya tidak akan memberi tips karena memang itu bukan suatu keharusan. Hal ini dimaksudakan agar orang yang bekerja tetap bersemangat setiap hari. Sementara mengemis itu adalah pekerjaan yang merendahkan diri dan jika kita memberi pengemis itu uang berarti merendahkan mereka.
Kawan saya yang duduk di depan berusaha mendamaikan kami dengan mengatakan bahwa saya benar namun jika saya memberi uang, itu juga tidak akan merugikan saya dan bahkan sangat membantu pengemis yang tidak pernah bercita-cita menjadi pengemis itu.
Saya jadi kesal dengan masukan dari kawan saya yang menurut saya tidak konsisten dengan pembenarannya diawal. Ini tidak ada hubungannya dengan rugi! Berapapun nominal yang kita berikan kepada orang yang membutuhkan pasti akan bermanfaat dan akan kembali berlipat-lipat suatu saat, masahnya disini adalah tempatnya.
Bagaimana kita bisa membuat para pengemis berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik jika kita tetap memberikan bantuan. Apalagi memberinya di fasilitas umum seperti jalanan yang akan menganggu kenyaman orang lain. Mereka akan tetap mengemis di sana karena ulah kita juga yang membuat meraka di sana.
Pada pasal 34 UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Artinya Negara memiliki kewajiban untuk mengurus mereka. Jadi sebenarnya ada banyak sekali badan non-profit yang mau membantu orang-orang yang tidak beruntung ini. Saya yakin Departemen Sosial memiliki daftarnya, nah silahkan salurkan bantuan kesana karena disalurkannya jelas dan ada pertanggung-jawaban.
Yayasan-yayasan sosial yang terdaftar itu masih belum termasuk rumah-rumah ibadah karena kita semua mengetahui bahwa semua agama pasti mengajarkan untuk saling menolong dan membantu sesama. Jadi dapat dipastikan setiap rumah ibadah memilik pengurus yang khusus dibentuk untuk menyalurkan bantuan.
Dengan demikian jika bantuan kita disalurkan pada tempat tempat tersebut, pengemis yang bolak-balik datang untuk meminta bantuan akan malu karena diawasi dan berusaha untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
Kembali ke Fatwa MUI, bagaimana dengan orang yang mengalami kelainan fisik dan mental?
Fatwa ini ternyata membuat perkecualian atau menghalalkan mengemis untuk tiga hal yaitu :
1. Orang yang mengalami kelainan fisik atau mental yang tidak memungkinkan untuk bekerja. Inipun sebenarnya ada tempatnya untuk menyalurkan bantuan kepada mereka.
2.Orang yang mencari bantuan atau sumbangan untuk membangun masjid (majelis taklim). Saya pribadi setuju asal mereka tidak menguasai jalan raya sehingga menyebabkan kemacetan.
3.Orang yang mendapat musibah sehingga tidak memiliki apa-apa dan belum bisa bekerja. Nah yang ini, saya yakin jika mereka sebelumnya memiliki kehidupan normal pasti akan berusaha mendapatkannya kembali dengan bekerja setelah mereka pulih dari sakit maupun shocked.
Mengapa fatwa ini tiba tiba muncul padahal fenomena jumlah pengemis yang bertambah sudah ada sejak krisis krisis lalu? Marilah berpikir positif, sebelum ini orang merasa hina untuk mengemis jadi orang mengemis karena terpaksa namun belakangan ini mengemis ternyata dijadikan mata pencaharian tetap.
Buktinya? Ditemukan di daerah Depok dan Serang, Jawa barat dan Sumenep, Madura ada perkampungan yang penduduknya memang bermata pencaharian mengemis. Anehnya, rumah atau tempat tinggal mereka tergolong layak untuk ditinggali bahkan ada yang termasuk bagus.
Jika mau dilihat secara umum bukan hanya ummat Islam yang tidak menyukai pekerjaan mengemis jadi marilah kita bersama-sama memulihkan kehormatan para pengemis itu dengan berhenti menghinanya! Caranya ya berilah bantuan kepada mereka melaui yayasan-yayasan sosial atau pengurus-pengurus rumah ibadah yang ada.
Selain itu bantuan akan lebih terasa manfaatnya jika memberi “pancingnya” bukan “ikannya” saja.
Semoga tulisan ini dibaca oleh dua kawan saya diatas yang sekarang sudah menjadi seorang guru dan seorang aktivis LSM tentang lingkungan.
Selamat berakhir pekan Kompasianers!
Catatan : Gambar diambil dari Dr Basuki Pramana Blog
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H