Mohon tunggu...
Catur Pujihartono
Catur Pujihartono Mohon Tunggu... lainnya -

hidup harus lebih dari sekedarnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kembalikan Budaya Literasi Kita

27 Oktober 2011   00:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:27 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memprihatinkan. Itu ungkapan pertama yang saya tangkap ketika melihat keadaan perpustakaan Sekolah Dasar yang berada di DI. Yogyakarta. Banyak sekali, perpustakaan yang tidak lagi memberikan tempat yang representatif sebagai sarana literasi murid. Buku-buku berdebu memperlihatkan keusangan dan pasti karena tidak pernah ada tangan yang memegang kemudian membacanya. Rayap yang mulai menjadikan rak buku sebagai perumahan elit mereka. Belum lagi ruangan yang bercampur dengan noda-noda masakan karena berbagi ruang dengan kantin sekolah sehingga memusnahkan fungsi perpustakaan itu sendiri. Buku-buku tua stensilan yang tidak lagi bersampul bertengger dalam sekat-sekat rak yang rapuh.

Ini yang terlihat di DI. Yogyakarta. Sebagai propinsi yang salah satu kotanya menyandang gelar Kota Pelajar tentu dari sisi edukasi menjadi bagian yang lebih kuat dan dominan mewarnai kehidupan masyarakat, masih kita jumpai hal-hal yang memprihatinkan. Bagimana di tempat yang lain?. Saya tidak bisa menjawabnya. Yang pasti, tentu rata-rata keadaannya akan sama atau malah berada dibawah level di DI. Yogyakarta.

Keadaan ini menunjukkan betapa hebatnya erosi budaya literasi bangsa Indonesia. Buku tidak lagi menjadi hal yang menarik.diganti dengan budaya audio visual. Rata-rata masyarakat Indonesia lebih tertarik melihat tayangan televisi daripada membaca. Atau pergi ke gedung bioskop daripada mendatangi perpustakaan. Cukup logis memang, karena akses tontonan lebih mudah didapat daripada akses memperoleh membaca buku. Bayangkan!. Hanya dengan berdiam di rumah, kita telah bisa menikmati suguhan acara secara gratis dari industri televisi. Berbeda dengan membaca buku. Untuk dapat membaca buku secara gratis kita harus pergi ke perpustakaan di sekolah atau di perpustakaan milik pemerintah daerah. Hanya orang yang benear-benar berminat yang akan mengupayakan langkah kakinya menuju tempat-tempat tersebut. Tetapi itu langka terjadi

Syah semua itu terjadi. Bagaimanapun media audio visual lebih berkilau dari pada media cetak. Cuma bangsa ini harus mengupayakan budaya literasi yang hilang itu kembali lagi. Kita juga pernah besar dari budaya literasi. Kita harus mengingat, perjuangan Bangsa Indonesia untuk memperoleh Kemerdekaan dimulai dengan munculnya budaya literasi pada jaman Politik Balas Budi yang diterapkan Belanda. Dengan adanya politik itu tidak hanya dibukanya sekolah untuk kaum probumi, tetapi juga buku dari luar yang mulai dibebaskan peredarannya di Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan dan perjuangan bermunculan dari Sutomo hingga Soekarno. Mereka terinspirasi dengan membaca buku.. Dahulu kita adalah bangsa yang maju dari negara tetangga kita. Keadaan Bangsa Indonesia kini sudah jauh tertinggal karena meninggalkan buku.

Untuk dapat mengembalikan budaya literasi tentu tidak mudah. Semua elemen bangsa harus seragam bergerak. Perpustakaan harus diciptakan dan difungsikan di setiap sektor. Buku-buku harus gampang diperoleh sampai pada elemen terkecil pemerintahan yaitu kampung. Penciptaan perpustakaan di kampung-kampung harus diperbanyak. Sehingga akses-akses untuk membaca buku bisa terjadi di setiap waktu dan dari strata masyarakat yang beragam. Stasiun TV juga harus dapat menciptakan suasana yang berorientasi pada perimbangan budaya audio visual dan budaya literasi. Seperti acara “Kick Andi” yang selalu membagikan buku di setiap sesi tayangnya. Ada sisi hiburan yang menarik tetapi ada sisi acara yang mengangkat dan mengangkat untuk mencintai buku. Mempermudah penulis-penulis atau penggiat cinta buku dengan dana subsidi dari pemerintah.

Kegemaran membaca atau mencintai buku bisa ditanamkan sejak anak-anak. Sekolah yang paling pelosok di tepi kota-kota menjadikan sarana yang wajib ada untuk perpustakaan. Hingga kita akan memetik hasil budaya literasi yang kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun