[caption id="attachment_179783" align="aligncenter" width="525" caption="Tidak sekedar jual dan beli ( Dok. http://www.google.co.id/imgres?hl=id&sa=X&biw=1366&bih=664&tbm=isch&prmd=imvns&tbnid=bXLZI6khddBpoM:&imgrefurl=http://www.antarasumut.com/foto/buah-durian/attachment/musim-durian-230610-4/&docid=v9-Qqe1mvCd_NM&imgurl=http://www.antarasumut.com/wp-content/uploads/2010/06/MUSIM-DURIAN-230610-4.jpg&w=2134&h=1423&ei=2f3FT7qLD8S5iQfHzKT2Ag&zoom=1)"][/caption]
Sebuah pengalaman pribadi dan teman-teman di masa kuliah. Dari sebuah kegiatan untuk mengisi hari yang dirasa panjang karena menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadahan. Dimana berbagai aktifitas kampus di Yogyakarta menjadi sedikit lengang berganti dengan aktifitas niaga untuk menjajakan aneka jajanan berbuka puasa di sekitar kampus. Terbenturnya bulan puasa dengan kalender akademis, mahasiswa rantau banyak yang tidak pulang ke kampung halaman. Mahasiswa menjalankan usaha kecil memanfaatkan situasi ini. Kampus-kampus menjadi ramai setiap sore menjelang buka puasa.
Dan bermula dari keadaan ini saya dan salah seorang teman yang bernama Robi tertarik untuk juga berjualan memnfaatkan suasana Ramadhan. Semula kami tertarik dengan jualan kelapa muda yang setiap tempat penjualan selalu ramai di datangi pembeli. Dengan modal patungan kami berburu ke desa-desa yang banyak menghasilkan buah kelapa. Tetapi sejauh kami mencari tidak satu butir kelapa muda yang kami dapatkan. Suatu permasalahan yang tidak kami bayangkan sebelumnya, ternyata mencari kelapa tidak mudah. Hingga sampai di sebuah desa di Purworejo, pikiran kami beralih pada buah durian yang saat itu terlihat sangat melimpah di desa itu. Dengan seluruh uang yang ada, kami membeli durian yang saat itu rata-rata dijual petani di daerah itu Rp. 5.000,- perbiji dengan sistem borongan.
Ternyata durian yang kami beli itu mencapai satu bak colt pick-up. Untuk membawa ke Kota Yogyakarta kami harus menyewa colt. Sebuah permasalahan baru yang kemudian muncul karena modal kami mepet. Dan syukur permasalahan ini teratasi karena si empunya mobil mau di bayar sesampai di rumah nanti. Akhirnya duren-duren itu tiba di rumah dengan lancar. Permasalahan kemudian muncul karena kami tidak pernah punya pengalaman menjadi pedagang durian. Kami juga tidak mau uang kami terbuang sia-sia dan durian menjadi busuk. Nekad saja, kami membawa durian-durian itu dengan sepeda motor berkeranjang bambu ke tempat-tempat yang ramai. Namun tidak juga durian itu habis laku terjual meski semua tempat sudah dicoba kami datangi.
Dan petualangan mencari tempat penjualan yang bagus berakhir di sebuah tempat di depan Gereja Kota Baru Yogyakarta. Tempat ini sebenarnya belum begitu ramai oleh pedagang durian dibandingkan dengan tempat lain di Depan Pasar Kranggan dan di depan stasiun TVRI Yogyakarta. Saat itu belum mencapai lebih dari lima pedagang durian. Sebuah prospek tempat usaha yang lumayan karena modal kami dapat pulih meski tanpa keuntungan.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, depan Gereja Kota Baru sejak kami berada disana menjadi daya tarik pembeli. Semula pedagang yang hanya berjumlah lima orang menjadi 3 kali lipat bahkan sampai 4 kali lipat. Tidak hanya itu, dalam berjualan yang semula hanya berdua menjadi banyak sekali teman-teman yang membantu di sela kuliah mereka. Kami menjadi satu-satunya pedagang durian yang berstatus mahasiswa. Sedangkan pedagang yang lain adalah memang pedagang tulen.
Kadang sebuah dilema menghinggapi kami. Kami harus bersaing dengan pedagang yang lain yang nyata itu adalah sumber mata pencaharian buat anak dan keluarga mereka. Dari ini kemudian kami berpikir bagaimana ini semua menjadi sebuah tempat yang di kenal oleh konsumen sebagai tempat yang mempunyai kualitas perniagaan durian. Kami bersama pedagang lain berinovasi mengembangkan tempat penjualan durian dengan harga terjangkau dan pelayanan yang sangat memuaskan. Yang sangat menarik di tempat kami berjualan adalah adanya durian bergaransi. Dimana setiap pembelian durian dapat ditukar dengan durian yang lain jika memang durian itu terasa tidak enak dimakan. Sebuah resiko memang, tetapi ini cukup membawa kebehasilan mengalahkan dua tempat penjualan yang tempat tersebut di atas. Bukan hanya itu, diantara sesama pedagang sering mengadakan kompetisi kecil untuk menghibur pengunjung. Diantaranya kontes durian terbesar.
Hanya semusim saja kami menjadi pedagang mengisi hari-hari kami di sela-sela kuliah. Begitu durian telah jarang untuk didapat, kegiatan kami berhenti dan kembali ke kampus. Kegiatan semusim ini membuat kami merasakan nasib kawan-kawan yang lain. Bagaimana repotnya membagi waktu antara bekerja sambil kuliah. Tidak jarang teman-teman kami terhimpit biaya untuk meneruskan kuliahnya sehingga harus mencari uang sambil bekerja. Dan setidaknya kegiatan semusim durian ini,kami pernah mewarnai perniagaan dan sedikit mengubah cara berdagang bagaimana melayani pembeli sehingga mereka puas.Tidak hanya sekedar ada kegiatan jual dan beli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H