Mohon tunggu...
Catur Pujihartono
Catur Pujihartono Mohon Tunggu... lainnya -

hidup harus lebih dari sekedarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku yang Isi dan Sampulnya Tidak Sama

31 Oktober 2011   21:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:13 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lama mataku terpejam, menahan perihnya luka hati. Setiap kucoba membukanya, air mataku seakan selalu menemukan kebebasannya, bergerak keluar dari lubang danau dihatiku. Betapa kenyataan asmara yang kurajut tidak berpihak dan menginginkan keindahan di dalamnya. Bahtera cintaku kandas dalam proses kedewasaan yang gagal. Kekasihku pergi, mendalami egonya sendiri. Rasanya dunia ini tidak lagi benderang seperti saat kami bersama. Cita dari cinta ini juga sia-sia dengan sekuat tenaga kupertahankan keberadaannya. Belulang penyangga tubuhku hilang. Aku seperti kain, rebah di semua tempat. Lemas dan tak berdaya. Aku benci sebuah cinta.

Dan pada akhirnya kutemukan cintaku lagi. Mengubah jalan cerita hidupku. Kukenal seorang lelaki yang lain. Seorang yang biasa dan tidak istimewa menurutku ketika pertama berjumpa. Lelaki yang sudah cukup berumur sebenarnya. Semua terlihat dari sebagian rambutnya yang mulai memutih serta gerakannya yang lamban. Tubuhnya kurus kering dan pakaian yang dikenakan sering lusuh. Gaya bicaranya hampir selalu terdengar terbata, membuat tidak jelas apa maksut dari kata-katanya. Entah otaknya berisi apa. Karena tidak ada kesan. ia mengenyam pendidikan yang tinggi. Pesonanya hanyalah dari wajahnya yang cukup berseri dan matanya tajam memandang. Lelaki rupawan ketika masih belia dulu, pikirku.

Kesan jumpa di awal tidak cukup membuatku menghadirkan magnit ketertarikan pada lelaki ini. Bahkan aku cenderung membencinya. Aku dan dia tak lebih hanya berada dalam ikatan pertemanan atau sebuah persaudaraan. Satu canda dan satu tegur-sapa basa-basi sudah cukup mengisi cerita dalam sehari. Pertemuan hanya terjadi ketika kepentingan dalam organisasi mengharuskannya, karena kami berada di dalam satu gerbong kerja organisasi.

Ia terlihat tertarik kepadaku dan mulai menebar jala-jala rayuan. Dari sekedar mengajakku membungkam suara perut karena lapar atau membunyikan gitar mengiringi nyanyian. Namun lukaku, membuat aku hati-hati terhadap lelaki. Sebuah tekad untuk tidak gampang menyerahkan hatiku. Aku terus menolak keinginan-keinginan untuk memulai romantisme diri walau itu sangat kecil. Aku tidak akan menjilat ludah yang keluar dari mulutku. Apalagi untuk mencintainya.

Namun ketika sang hari menghitung langkah dalam perihku, lelaki ini sedikit demi sedikit mulai mempererlihatkan sebagai manusia yang mempunyai seribu tangan. Membuat patahnya sebuah tekad yang terlanjur terucap. Berjuta luka, ia obati dengan tangannya. Darah luka yang basah menjadi kering dalam sekejapnya hitungan waktu. Aku bisa merebahkan kepalaku pada bahunya dalam setiap posisi tubuhku. Kata-katanya yang terdengar terbata dan terpenggal-penggal mulai berujud sebuah nyanyian santun yang sangat merdu. Pandangan-pandangannya begitu luas menciptakan buana pengetahuanku yang sempit menjadi luas. Semua membuat bantahan tekadku untuk selalu memunculkan tanyaku pada Tuhan. “Siapakah dia”?

Dalam tanyaku aku mulai mencoba lebih mengenal sosok lelaki ini. Masuk dalam ruang-ruang pribadinya yang tersembunyi. Lalu kukenal ia sebagai seorang yang sederhana dalam apa adanya hidup, meskipun juga ia selalu sungguh-sungguh dalam tulus kasih sayang kepada semua. Ia gemar membaca. Cintanya pada buku sebanding dengan cintanya pada kehidupan ini. Sering kutemukan, ia menghindar dari keramaian dan menyepi untuk membalikkan lembaran kertas berbentuk buku tebal. Mungkin ini yang membentuk dia menjadi laki-laki istimewa. Pandai tetapi tidak untuk menjadikan orang lain terlihat bodoh. Mengambil langkah penyelesaian permasalahan dengan cepat dan bijaksana. Membuat antipati menjadi sebuah jalinan pertemanan yang saling menguntungkan. Menjadikan airmata menjadi tawa.

Buku telah membuat keberadaan cinta, tekad dan kesanku di awal diputar balikkan. Ia bagai sebuah buku itu . Sebuah buku yang sebenarnya telah salah kulihat dan kunilai. Buku dengan sampulnya yang telah usang dan tidak lagi menarik. Namun isinya terdiri dari tulisan-tulisan yang mengubah keseluruhan hidupku. Ia telah membuat aku menapaki waktu belajarku dengan kesabaran. Selalu tak bergeming ketika aku membutuhkan ilmu. Aku menjadi takut kehilangan dia. Aku harus mencintai dia dan buku agar cinta ini bertahan memberikan kebahagiaan. Dia adalah buku yang isi dan sampulnya tidak sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun