Surabaya meradang. Indonesia berduka. Tiga bom bunuh diri meledak di pelataran gereja dalam kurun waktu yang hampir bersamaan di Minggu pagi yang cerah. Bom berkekuatan cukup lumayan itu menewaskan setidaknya 15 orang korban sebagian besar jemaat yang ingin beribadah. Pelaku semuanya tewas dan menurut informasi adalah satu keluarga ayah, ibu, dan empat anaknya. Kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang keberadaan negara ini. Hal yang dulu mustahil terjadi pada bangsa ini kini nyata tergambar dalam peristiwa di Surabaya.
Entah apa isi kepala si pelaku, sehingga seradikal itu. Indonesia negara damai. Bukan dalam kondisi perang seperti Surabaya di tahun 1945. Kejadian kemarin menjadi bukti bahwa pemahaman radikal ternyata masih ada dan subur di sebagian kecil kelompok masyarakat. Berbagai analisis merebak.Â
Teori konspirasi atau pengalihan isu bermunculan di kalangan masyarakat yang semua analisis itu belum dapat dibuktikan kebenarannya. Tapi fakta sudah di depan mata. Teror bom mengguncang dan dilakukan oleh satu keluarga utuh. Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi dalam kurun waktu dua dekade ini tercatat dalam sejarah Indonesia dan sebelum era reformasi tidak pernah ada.
Persoalan besar bagi bangsa ini. Mengapa masih selalu terulang kejadian semacam ini? Apa yang terjadi? Kemiskinan kah? Sepertinya bukan. Karena kalau melihat faktanya si pelaku bukan dari kalangan orang yang secara ekonomi berkekurangan. Ini masalah ideologi. Pemahaman yang masih keliru dan nyata terus dipelihara. Ideologi yang memaksakan sesuatu yang dianggap kebenaran tetapi justru melupakan cara-cara yang benar.
Berbagai kejadian ini tentu perlu menjadi evaluasi bagi aparat, Terutama aparat intelejen. Apalagi Indonesia dalam tahun 2018-2019 akan menghadapi agenda penting, yaitu Pilkada, Asian Games, Pileg, dan Pilpres. Tentu faktor keamanan yang kondusif menjadi suatu hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Peristiwa Surabaya, Sidoarjo, dan terakhir di Riau membuka mata kita bahwa ada persoalan di masyarakat kita. Negara tidak boleh kalah dalam menghadapi aksi teror ini.
Tertanamnya paham radikal kepada si pelaku tentu tidak sekejap. Prosesnya tentu sudah puluhan tahun sebelum sampai ke tahap aksi. Pertanyaannya mengapa ini dapat terjadi tanpa terdeteksi.Â
Ada beberapa faktor yang mungkin dapat menyebabkan: pertama, pendidikan dan komunikasi yang lemah di keluarga sehingga tatanan sehat pikiran dan ruhani tidak terbentuk sejak masa remaja. Remaja yang beranjak dewasa cenderung labil mencari jati diri dan mendapatkan pemahaman yang salah dari luar keluarga.Â
Kedua, pembentukan karakter di sekolah. Penanaman nilai keberagaman, toleransi, dan kasih sayang cenderung kurang tersentuh karena fokus pada pencapaian kompetensi pengetahuan. Target pencapaian nilai akademik yang mumpuni di dunia pendidikan begitu mendominasi sehingga menggeser peran pembentukan nilai dan sikap. Pencarian pendalaman agama di luar program intrakurikuler banyak yang diserahkan penanganannya kepada pihak di luar sekolah dan bukan guru sehingga pengawasan kurang melekat, akibatnya mudah disusupi paham yang cenderung radikal.Â
Ketiga, kehidupan di lingkungan masyarakat yang cenderung tidak kohesif. Terutama di daerah perkotaan. Muncul sikap individualisme yang berlebihan. Komunikasi antar warga semakin berjarak. Tidak tercipta ruang eksplorasi positif bagi jiwa-jiwa muda yang sedang haus mencari identitas. Karang taruna sepertinya sudah usang dan cenderung melenyap beberapa dekade belakangan ini.
Dari beberapa faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pelaku ini mungkin saja sebenarnya adalah korban. Korban dari penanaman ideologi kebenaran yang dilakukan dengan cara tidak benar dan akhirnya lalai berbuat benar. Apabila tidak dibenahi oleh pemerintah dan masyarakat, dikuatirkan generasi di masa depan akan semakin mengkhawatirkan. Apalagi di zaman teknologi saat ini dengan tumbuhnya generasi android membuat percepatan informasi menjadi tidak terbendung. Perlu perbaikan menyeluruh yang dilakukan oleh semua pihak. Keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.Â
Untuk menangkal paham radikal ini diperlukan adanya pendidikan keberagaman, toleransi, kasih sayang yang hadir di ruang tamu keluarga, di muka-muka kelas, di atas mimbar-mimbar semua rumah ibadah, dan di lingkungan masyarakat. Melihat terorisme dan paham radikal jangan melihatnya seolah milik pemahaman agama tertentu. Karena semua orang bisa menjadi radikal kalau memiliki pemahaman yang keliru. Ini bukan tugas pemerintah saja untuk membendungnya tetapi perlu peran serta seluruh masyarakat agar bangsa Indonesia yang identik ramah dan penuh kasih sayang kembali ke jati diri semula sebagai bangsa yang beradab.
Wallahualam bishowab
Bogor, 17 Mei 2018
Catur Nurrochman Oktavian, M.Pd.
Sekum AGP PB.PGRI
Ketua IGP PGRI Kab.Bogor
Guru SMPN 1 Kemang Bogor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H