Konflik awal antara Rusia dan Ukraina terjadi pada tahun 2014, Rusia menginvasi Ukraina dengan mencaplok Semenanjung Krimea dan mendukung pemberontakan yang dipimpin oleh separatis pro-Rusia di wilayah Donbas timur (Kirby, 2022).
Serangan Rusia ini tumbuh dari protes massa di Ukraina yang menggulingkan Presiden pro Rusia Viktor Yanukovych karena dia mengabaikan perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa. Setelah itu konflik terbesar antara Rusia – Ukraina adalah invasi Rusia secara besar besaran ke seluruh wilayah Ukraina. Kejadian ini dimulai pada tanggal 24 Februari 2022.
Invasi ini disebabkan oleh keputusan presiden Ukraina yaitu Volodymyr Zelenskyy yang memutuskan untuk bergabung ke The North Atlantic Treaty Organization (NATO). Melihat hal tersebut Rusia tidak setuju dan mengecam kebijakan yang ingin dilakukann oleh pemerintahan Ukraina.
Hal ini dikarenakan pecahan Uni Soviet dilarang secara permanen bergabung dengan NATO oleh Russia, dan apabila bergabung maka posisi geopolitik Rusia akan terancam.
Sejauh ini, bantuan terhadap Ukraina masih dalam bentuk pasokan senjata, amunisi dan alutsista. Belum ada bantuan militer secara langsung dari pihak NATO dalam perang di Ukraina.
Apabila Amerika Serikat dan anggota NATO lainnya turun langsung dalam perang di ukraina maka diperkirakan akan menimbulkan beberapa ancaman baru. Ancaman itu adalah pecahnya perang dunia ke – 3, dan adanya negara yang melakukan invasi ke negara lainnya seperti China dan Taiwan.
Hal ini diperkirakan terjadi karena pihak NATO/ AUKUS (Australia, UK, United States) sibuk melakukan perang dengan Rusia dan tidak dapat mengontrol konflik di Laut China Selatan. Konflik antara Russia-Ukraina, China-Taiwan dapat berdampak langsung dan tidak langsung ke Indonesia.
Dampak tidak langsung pada konflik ini adalah terganggunya sektor energi khususnya minyak dan gas. Dampak langsung dari konflik ini adalah adanya ancaman militer terhadap kedaulatan NKRI, mengingat Indonesia memiliki perebutan wilayah Laut China Selatan yang di klaim oleh China sebagai wilayah teritorinya.
Laut China selatan dikabarkan memiliki potensi yang sangat besar, mulai dari jalur perdagangan strategis, sumber pasokan pangan dan sumber energi baik itu minyak maupun gas. Saat ini China sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan di sekitar Laut China Selatan.
Aktivitas-aktivitas pembangunan antara lain seperti, mendirikan bangunan bangunan permanen di Laut China Selatan, memperbanyak kapal penangkap ikan, membangunan pangkalan militer, selain itu ada juga penempatan kapal-kapal perangnya untuk berpatroli.
Aktivitas-aktivitas inilah yang mengancam stabilitas keamanan kawasan Laut China Selatan, di sekitar Laut China Selatan ada negara Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan yang mereka merasa terganggu akibat aktivitas militer negara China (Toruan, 2020).
Berbicara tentang pertahanan negara, tidak luput dari geopolitik, lingkungan strategis, dan doktrin pertahanan negara. Lingkungan strategis adalah suatu orientasi jangka panjang sebuah negara tentang bagaimana mengelola praktik lingkungan agar sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara.
Dalam mencapai keadaan lingkungan strategis yang stabil perlu mengindentifikasi berbagai macam ancaman yang ada. Definisi ancaman pada lingkungan strategis adalah setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu:
- Ancaman Militer: Ancaman ini adalah ancaman konvensional seperti agresi militer, ancaman militer yang bukan agresi, pemberontakan bersenjata, ancaman invasi/ klaim wilayah dari negara lain, ancaman objek vital nasional (Obvitnas) seperti spionasi, terorisme, dan ancaman komunal.
- Ancaman Non/Nirmiliter: Pada dasarnya ancaman nirmiliter merupakan ancaman yang didasari faktor – faktor non-militer, seperti Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya (Ipoleksosbud) dan Teknologi dan Informasi.
- Ancaman Hibrida: Merupakan ancaman gabungan dari militer dan nirmiliter. Dengan kata lain ancaman hibrida merupakan ancaman dari penggabungan berbagai jenis ancaman.
Melihat dari konsep ancaman, sengketa Laut china Selatan merupakan permasalahan yang paling mengancam bagi lingkungan strategis dan geopolitik Indonesia.
Sengketa Laut China Selatan merupakan ancaman Hibrida, hal ini dinilai karena China selain melakukan ancaman Militer dengan menempatkan armada, pangkalan, dan kapal perang di wilayah Laut China Selatan tetapi juga memiliki dampak khusus di sektor ekonomi dan teknologi. Saat ini pemerintahan Indonesia memiliki hubungan bilateral yang sangat besar dengan China.
Berbagai infrastruktur mulai dari jalan tol, kereta cepat, pertambangan, dll, dilakukan Kerjasama dengan China. Oleh karena itu, apabila NATO dan Rusia melakukan perang di Ukraina, dikhawatirkan China akan mengambil langkah untuk melakukan Invasi ke Taiwan dan ke Laut China selatan.
Dalam perspektif keamanan tradisional, kawasan Asia-Pasifik memiliki peluang dan tantangan yang sangat kompleks, serta faktor risiko yang dapat menimbulkan konflik antarnegara. Sengketa di Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, Semenanjung Korea, dan ketegangan di beberapa wilayah perbatasan antarnegara merupakan hal yang perlu disikapi secara bijaksana.
Sementara dalam perspektif keamanan non-tradisional, kawasan ini memiliki sejarah panjang penyelundupan narkotika, penyelundupan manusia, penyelundupan senjata, perompakan di laut, pencurian kekayaan alam, serta separatisme. Selain itu, dalam tiga dasawarsa terakhir isu terorisme semakin menguat 6 yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain masalah ekonomi dan paham radikal (Buku Putih, 2015).
Isu Laut China Selatan sangat erat kaitannya dengan ASEAN, karena beberapa negara yang berkonflik sebagian besar merupakan negara anggota ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darusallam. Negara-negara anggota ASEAN memiliki kepentingan di Laut Cina Selatan dan juga memiliki kontak langsung dengan Laut Cina Selatan.
Sebelum putusan Arbitrase dikeluarkan, RRT telah melakukan kampanye yang sistematis dan masif untuk menggalang dukungan bagi posisi-posisi yang menolak Arbitrase. RRC bahkan secara terbuka mendesak ASEAN untuk tidak mengeluarkan pernyataan atas putusan Mahkamah Arbitrase tersebut.
Keterlibatan Indonesia dalam penyelesaian konflik laut cina selatan diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yakni: satu, pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Pembukaan UUD 1945) yang dimana pada alinea ke-4 menyatakan “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”;
kedua, landasan operasional partisipasi Indonesia dalam upaya perdamaian dunia ialah pada arah kebijakan politik luar negeri Indonesia yang di dalam Undan - Undang Dasar dikatakan bahwa Indonesia menganut prinsip bebas aktif;
ketiga, amanat United Nations Convention on the Law of The Sea tahun 1982 (UNCLOS 82) mengatur penetapan fitur 12 mil batas laut teritorial, hak lintas damai negara-negara kepulauan yang memiliki selat perairan dalam, fitur 24 mil ke luar sebagai zona tambahan, fitur 200 mil ke luar ZEE dan fitur 200 mil batas landas kontinental.
Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan, selain itu meskipun bukan negara claimant, dampak konflik Laut China Selatan menyangkut kepentingan nasional Indonesia.
Jika terjadi perang terbuka, secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia di kawasan Kepulauan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pendekatan Indonesia terhadap konflik Laut Cina Selatan telah bergeser dari pendekatan pemain aktif yang mencari penyelesaian damai menjadi perselisihan yang lebih luas ke pendekatan yang terutama berfokus pada melindungi kepentingannya sendiri di sekitar Kepulauan Natuna tanpa menimbulkan kebencian.
Namun bukan berarti kita tidak perlu menguatkan dan mempersiapkan perang militer mengingat adanya dampak besar dari perang di Ukraina.
Menteri pertahanan Indonesia Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto mengambil langkah dalam memperkuat pertahanan negara dengan memboyong sejumlah alutsista. Indonesia berencana membeli 42 Jet Rafale buatan Prancis.
Dengan adanya gebrakan ini, pertahanan udara Indonesia dinilai jauh lebih kuat terutama untuk memberikan efek deterrence kepada pihak pihak yang berpotensi menjadi ancaman pertahanan Indonesia.
Namun dengan wilayah laut yang sangat luas, Indonesia dinilai masih lemah dalam kekuatan alutsista seperti kapal perang dan kapal selam. Indonesia harus terus melakukan riset dan pengembangan pertahanan baik dengan Universitas, Badan Usaha Milik Negeri (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Industri Pertahanan Negara Lain.
Hal ini dilakukan untuk menggenjot kualitas teknologi nasional dalam mendukung Minimum Essential Foce (MEF) dan kekuatan pertahanan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H