Mohon tunggu...
Catherin Widjaja
Catherin Widjaja Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Semarang

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Singkong, Harapan Baru Ekosistem Laut

10 Mei 2020   17:01 Diperbarui: 12 Mei 2020   08:59 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 70% lautan. Namun sayangnya, Indonesia mendapat gelar penyumbang sampah plastik di lautan terbesar kedua di dunia. 

Hal ini didukung dengan data dari INAPLAS (2019) yang mengungkapkan bahwa sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun dengan 3,22 juta ton merupakan sampah yang dibuang ke laut. Plastik merupakan zat yang terurai dalam waktu yang lama bahkan hingga ratusan tahun. 

Padahal pada setiap elemen kegiatan, manusia menggunakan plastik sehingga sampah plastik semakin lama akan semakin tak terbendung. Nantinya, sampah plastik ini akan bermuara di laut dan berdampak langsung pada ekosistem laut. 

Biota laut yang tidak bisa membedakan makanan dan sampah plastik akan terkena dampak secara langsung dengan terhambatnya sistem pencernaan hingga kematian. Menurut Forum Ekonomi Dunia (2018), rasio sampah plastik akan lebih banyak daripada biota laut pada tahun 2025. 

Maka, diperlukan tindakan yang tepat dan cepat untuk mencegah hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah dengan mengganti bahan baku pembuatan plastik menjadi bahan ramah lingkungan dengan karakteristik yang sama. Singkong dapat menjadi salah satu bahan baku alternatif yang cocok untuk pembuatan plastik, terutama di Indonesia karena kemiripan karakteristiknya dengan polimer, keunggulan daripada bahan lainnya, dan keefektivan dalam menangani pencemaran air.

Ibarat perangko dan amplop, relasi antara manusia dan plastik tidak dapat dipisahkan. Terbukti dengan munculnya berbagai produk berbasis plastik dalam setiap elemen kegiatan manusia. Fungsi plastik yang serbaguna tidak lepas dari karakteristik polimer sebagai bahan pembuatannya. 

Sayangnya, polimer merupakan bahan yang sulit terurai sehingga penggunaan bahan alternatif lainnya harus ditemukan secara cepat. Pemilihan bahan alternatif juga harus memperhatikan karakteristik bahan sehingga plastik inovasi baru tidak kehilangan fungsinya. Singkong berpotensi menjadi pengganti polimer karena kandungan patinya yang melimpah. Singkong mengandung pati sebanyak 34,6% (Winarno, 2004). 

Pati singkong memiliki karakterisitik yang mirip dengan polimer dengan keunggulan sifatnya yang ramah lingkungan. Keduanya sama-sama memiliki struktur bercabang, kuat, dan tidak berwarna. Pati mengandung 2 jenis glukosa, yaitu amilosa dan dan amilopektin. Amilosa merupakan rantai linier polisakarida dan amilopektin adalah rangkaian glukosa yang sangat bercabang. 

Struktur yang bercabang ini akan membentuk satu kesatuan sehingga pori-pori menjadi kecil dan membuat plastik menjadi lebih kuat.  Amilosa yang sudah diekstraksi juga menghasilkan gel keras yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan dari plastik berbasis singkong. Pati singkong juga tidak memiliki warna dasar sehingga dapat menjadi salah satu kemiripannya dengan polimer. Pati yang tidak berwarna ini membuat plastik bisa diwarnai sesuai keinginan seperti plastik konvensional. Kemiripan karakteristik membuat plastik singkong tidak kalah dari plastik konvensional baik dari segi fungsi maupun kualitas.

Singkong memiliki beberapa keunggulan sehingga tanaman ini dipilih menjadi bahan alternatif pembuatan plastik. Singkong merupakan tanaman yang sering dijumpai di Indonesia karena bisa tumbuh di dataran tinggi maupun rendah. Selain itu, singkong dapat dibudidayakan dengan mudah dan dalam waktu yang relatif cepat. 

Rukmana (2008) menjelaskan bahwa singkong dapat dibudidayakan dalam waktu 6-8 bulan di lahan yang tidak subur dan kekurangan air. Indonesia juga terkenal sebagai penghasil singkong terbesar keempat di dunia. Kekayaan singkong di Indonesia dan pertumbuhannya yang cepat dan mudah membuat singkong lebih unggul daripada bahan lainnya. Selain alasan tersebut, plastik singkong juga aman bila terkonsumsi oleh mahkluk hidup. 

Pasalnya, singkong merupakan tanaman pangan bahkan menjadi makanan pokok bagi masyarakat Indonesia di daerah timur. Hal senada juga dibuktikan oleh Kevin Kumala, salah satu produsen plastik singkong asal Indonesia, dengan melarutkan plastik ini lalu meminumnya. Ia membuktikan bahwa jika manusia saja bisa mengkonsumsinya, maka biota laut juga bisamengkonsumsinya. 

Keunggulan lainnya adalah limbah plastik singkong dapat dijadikan pupuk tanaman. Adanya kesamaan bahan membuat limbah ini dapat digolongkan menjadi pupuk kompos. Hal ini menunjukkan limbah dari plastik singkong juga dapat dijadikan barang yang bermanfaat dan menjadi bentuk nyata dari petuah, "Apa yang berasal dari lingkungan, akan kembali ke lingkungan."

Penggantian bahan dasar plastik menjadi bahan yang ramah lingkungan bertujuan untuk mengurangi sampah plastik yang menyebabkan pencemaran air. 

Pencemaran air akibat plastik disebabkan oleh mikroplastik yang muncul akibat dekomposisi plastik konvensional. Mikroplastik adalah plastik yang berukuran sangat kecil bahkan tak kasatmata. Kematian biota laut akibat konsumsi mikroplastik dapat terjadi akibat kegagalan fungsi kerja organ pencernan. 

Efek dari mikroplastik tidak berhenti sampai situ saja karena dengan berkurangnya biota laut, maka ekosistem laut juga akan terganggu dan nantinya dapat berdampak buruk pada kehidupan manusia. Namun, plastik berbahan singkong ini tidak seperti plastik konvensional yang hasil penguraiannya memunculkan mikroplastik. 

Hasil penguraian plastik ini adalah pati yang merupakan bahan dasar pembuatan plastik singkong sehingga aman apabila terurai. Selain tidak menghasilkan mikroplastik, plastik berbahan singkong ini dapat larut sempurna dalam air. Menurut Kantasubrata (1992), pati merupakan senyawa polar yang dapat larut dalam pelarut polar. 

Kepolaran pati menjadi alasan kelarutan zat tersebut dalam air yang merupakan pelarut polar. Kelarutan yang sempurna ini membuktikan bahwa tidak akan ada zat pengotor yang mencemari air. Berbeda dengan plastik konvensional yang terurai dalam kurun waktu ratusan tahun, plastik singkong terurai hanya dalam waktu 15 hari sehingga efektif untuk menangani pencemaran air.

Kini dengan semakin berkembangnya zaman, kita secara tidak sadar menjadi ketergantungan dengan plastik. Akan tetapi, bahan yang selama ini digunakan untuk membuat plastik bukan bahan yang ramah lingkungan. Hal ini mendorong kita untuk mencari bahan alternatif pembuatan plastik agar kita tetap dapat menggunakan plastik tanpa merusak ekosistem laut. 

Pemilihan bahan alternatif harus memenuhi berbagai aspek mulai dari karakteristik, keunggulan, maupun efektivitas dan singkong dapat menjadi pilihan yang tepat. Dengan demikian, suatu saat nanti anak cucu kita akan dapat menikmati indahnya Indonesia tanpa adanya ancaman dari sampah plastik. 

Mari kita mengubah kebiasaan penggunaan plastik konvensional menjadi plastik singkong karena partisipasi kita dapat berpengaruh besar pada lingkungan, seperti apa yang pernah dikatakan oleh Maddy Khan, "Be a part of the solution not part of the pollution."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun