Mohon tunggu...
Catharina Devi
Catharina Devi Mohon Tunggu... -

reach our dream, water of life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru dan Murid Sama Bodohnya

10 Mei 2013   20:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:47 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu keponakanku bercerita tanpa bermaksud mengeluh. “Temanku bahkan berani kog, buka kertas contekannya di dekat lembar jawaban ujian. Padahal mejanya berhadapan dengan meja guru pengawas.” Dia pun menambahkan, “Ada lho murid di sekolah lain yang berani bayar Rp. 350.000,- per anak untuk dapatkan lembar jawaban. Biasanya jawaban bakal dikirim via sms, setelah 15 menit pembagian soal.” Langsung saja aku bertanya pada keponakanku yang baru sehari setelah ujian kelulusan SLTP tahun ini, “Kamu sendiri gimana? Ya lakukan itu juga?” Jawaban tidak membuatku lega.

Beberapa detik berselang, seorang kawan yang mendengarkan perbincanganku dengan keponakan perempuanku ini ikut nimbrung, bahkan menegaskan dengan ceritanya, “Itu benar kog, udah rahasia umum.” Spontan aku menyahut, penasaran seperti apa versinya. “Kog bisa sih, kan dijaga ketat sama guru-guru, harusnya handphone tidak bisa dibawa siswa.” Keraguanku lebih karena pengalaman pribadi waktu ujian akhir di SD hinggaSLTA dulu. Kawanku itu menirukan dialog antar dua guru sebagai perumpamaan. “Yah...sama-sama lah bu, kita kan sama-sama punya murid.” Jadi, guru yang bertukar lokasi sekolah saling kontak dan janjian untuk mengurangi tingkat ketatnya penjagaan. “Malah, sengaja disediakan koran di meja guru pengawas itu, supaya dia benar-benar sibuk membaca koran daripada mengawasi siswa yang lagi isi soal.” Begitu penjelasan kawanku.

Geram aku mendengar cerita seputar guru, siswa dan ujian ini. Mengingat, apa yang aku alami di tahun silam, ketika masa kecil dan remajaku menghadapi ujian, hingga kini masih membuatku bangga. Deretan angka delapan bahkan sembilan masih teringat. Aku masih mengingatnya bukan karena ingin menyombongkan kemampuan diri, melainkan bangga karena upayaku sendiri untuk meraihnya. Tentu saja dengan campur doa dan dukungan keluarga maupun guru-guruku.

Kusampaikan pada keponakanku yang sedang asyik membaca beberapa buku karya tulis anak, “Jangan ditiru, entah guru maupun murid sama saja bodohnya. Bodoh yang kumaksud mereka tidak tahu kalau mereka punya kemampuan. Si guru sebenarnya bertahun-tahun punya kemampuan membentuk anak didiknya sampai menemukan potensi diri, si murid takluk pada rasa takut dan tidak tahu bahwa dirinya juga punya banyak kemampuan.” Keponakanku mendengarkan dan ia mengiyakan. Dalam benak, aku sesungguhnya tahu bahwa dia memang selalu berupaya gigih belajar ketimbang larut dalam godaan kawan-kawannya. Tapi, aku pun tetap menyampaikan kembali pada keponakanku itu, “Risiko buat masa depan si siswa yang nyontek tadi, dia tidak akan terbiasa menghadapi tantangan. Kalau suatu saat menemukan kesulitan lagi di bangku SMA, kuliah, atau tempat kerjanya dia akan sekali lagi memilih jalan pintas.” Dan di benakku tersirat, inilah bukti pencetakan para koruptor oleh beberapa guru yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa itu. Lewat caranya mengendurkan penjagaan dan bersekongkol, sudah membuatnya sebagai orang yang haus dengan titel kepahlawanan.

Hal yang kurasakan dari cerita kebocoran ujian dengan sengaja tadi, adalah rendahnya rasa kasih sayang seorang guru pada siswa. Mungkin saja, guru memiliki tuntutan profesi yang memiliki berbagai konsekuensi. Nah, konsekuensi itu membuatnya buta bahwa si anak didik adalah manusia, yang suatu saat menjadi dewasa dan memiliki tanggung jawab. Jadi, ia hanya peduli pada capaian angka tapi tak peduli pada capaian yang mewarnai masa depan si anak.

Hal lainnya yang kurasa cukup ngeri juga adalah kesengajaan si guru mempengaruhi jumlah yang lebih besar dari siswa peserta ujian, pasti hanya tertinggal beberapa gelintir siswa yang bersikukuh tak melirik sedikit pun bocoran yang diperoleh kawan-kawannya di ruang ujian. Bilamana satu kelas berisi 25 siswa, 20 diantaranya si penggantung pada kunci jawaban bocoran dan tersisa 5 siswa jujur dan pembelajar ulung. Bisa dibayangkan, bahwa yang berjumlah 20 itu kelak menjadi penganggur yang sekedar hidup, kalau perlu merecoki karir rekan kerjanya untuk mengamankan diri, sekali lagi. *devi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun