Kehadiran bulan Ramadhan bisa dimaknai berbeda bagi setiap orang, mulai dari asyiknya berburu takjil dan berbuka puasa bersama orang terkasih, antusiasme belanja baju baru, hingga silaturahmi dengan keluarga besar di hari kemenangan. Tak sebatas fenomena-fenomena sosial itu saja, bulan puasa telah menjadi suatu bagian yang melebur di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, terutama bagi umat beragama Islam. Realita inilah yang hendak ditunjukkan oleh sebuah film karya anak bangsa yang berjudul “Kalo Gak Ada Ramadhan”. Film ini terdiri dari 5 segmen yang diberi judul berbeda, antara lain Tertimpa Uzur, Ramadhan Pertama, Bacaan Qur’an untuk Ibu, Hilal, dan Tertipu Waktu.
Bagian pertama menceritakan kisah Mursali (Arief Didu) yang bekerja sebagai kuli bangunan dengan kondisi finansial pas-pasan dan merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anak istrinya di rumah, apalagi menjelang lebaran. Lain halnya dengan kisah Mpok Kokom (Nuyang Jaimee) dan keluarga kecilnya di bagian kedua. Sebagai pedagang kecil, mereka mensyukuri berkah yang datang di bulan Ramadhan dimana barang dagangan yang dijajakan menjadi semakin laris karenanya. Bagian berikutnya berdurasi 21 menit dan menjadikannya sebagai bagian terlama dari keseluruhan film. Kisah yang disajikan lebih kompleks, bercerita tentang dinamika kehidupan Hafis (Dallas Pratama), seorang anak rantau yang bekerja jauh dari ibu dan adiknya selama bertahun-tahun.
Sudut pandang seorang selebgram beragama non-muslim juga menjadi bagian dalam film ini. Geby (Annette Edoarda) sempat diragukan oleh sang manajer tatkala ia menolak untuk membuat konten yang bermaksud pamer di media sosialnya selama bulan Ramadhan ini. Kemudian, bagian terakhir dari film ini mengisahkan sepasang kakak-beradik yang berusaha mengumpulkan uang dengan bekerja lebih keras lagi agar mampu pulang dan menjumpai sang ibunda di kampung halaman mereka. Akan tetapi di tengah perjalanan, rencana mereka ini sepertinya tidak akan berjalan mulus. Lantas, bagaimana kelanjutan kisah dari setiap bagian film berlatar belakang berbeda ini dalam memaknai Ramadhan dengan caranya masing-masing?
Sosok di balik film ini yakni Umank Ady, sang penulis cerita sekaligus sutradara menuturkan melalui salah satu keterangan postingan Instagram pribadinya bahwa pembuatan film bergenre drama ini dilatarbelakangi keresahannya tentang pemaknaan Ramadhan di mata masyarakat secara umum. Di bulan yang datang sebagai kesempatan untuk menyucikan diri ini, seringkali masyarakat hanya menganggapnya sebagai ritual tahunan biasa. Bukannya berfokus pada serangkaian proses Ramadhannya tetapi justru sibuk memikirkan bagaimana lebarannya nanti. Hal inilah yang mendorong Umank Ady untuk membuka mata sekaligus hati sang penonton mengenai esensi bulan Ramadhan yang dikemas melalui adegan-adegan di film kesepuluh yang ia garap sejak terjun di dunia sinema tanah air.
Setiap tokoh yang muncul dalam film ini tidak asing dengan kebiasaan orang-orang sekitar atau bahkan diri sendiri di bulan Ramadhan. Sebut saja Mursali yang menjadikan pekerjaan fisiknya yang berat sebagai dalih untuk tidak berpuasa. Padahal, Mur sendiri telah diingatkan dan didorong oleh anaknya agar senantiasa taat berpuasa. “Ramadhan datang sekali setahun doang, mau kapan lagi puasanya, Pak? Belum tentu kan, di tahun depan kita ketemu lagi Ramadhan, Pak,” tutur sang anak melalui panggilan video. Kalimat tersebut dirasa mampu untuk menyentil hati umat muslim yang masih mencari-cari alasan dan sulit menahan godaan untuk tidak puasa di bulan Ramadhan.
Di lain sisi, Kalo Gak Ada Ramadhan juga memperlihatkan sisi kehidupan umat muslim yang rajin sholat, memperbanyak sabar, hingga bersedekah dengan tulus hati. Nilai-nilai yang dikemas dalam plot yang menarik berkonsep drama komedi ini tak hanya mampu membuat penontonnya tertawa cekikikan, melainkan juga berhasil memberikan inspirasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan suci Ramadhan melalui karakter yang diwakili oleh tiap tokoh. Gaya bahasa santai dan tidak terlalu kaku, didukung pula dengan alur yang cenderung maju memudahkan penonton untuk mencerna tiap-tiap dialog yang ada. Alur maju ini nampak jelas salah satunya dari cerita Hafis saat awal mula meminta izin merantau hingga akhirnya sukses di kota.
Unsur pertama yang menonjol dari film ini terletak pada pemilihan latar tempatnya yang sederhana. Lokasi-lokasi yang dipilih untuk syuting adegan seperti halaman teras rumah di perkampungan Ibu Hafis, bus pariwisata yang digunakan Lidya dan Mas Gusfari untuk mudik, hingga kamar tidur Mursali dan dapur milik keluarga Mpok Kokom yang apa adanya layaknya interior rumah keluarga biasa dengan kondisi ekonomi menengah kebawah. Di tengah serbuan film atau sinetron lokal lain yang latarnya berada di perkantoran dengan setting ruangan luas nan rapi,kendaraan yang mewah, hingga gaya busana kekinian, sutradara dari film Kalo Gak Ada Ramadhan berusaha membangun kedekatan dengan kehidupan sehari-hari kalangan masyarakat sederhana. Kesederhanaan yang ditunjukkan justru berhasil membuat setiap adegan di film ini terasa hidup dan amat dekat dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia tanpa terkesan dipaksakan.
Secara visual, transisi dari tiap adegannya natural dan tidak berlebihan. Melalui teori yang dikemukakan oleh Joseph V. Mascelli (2010), film ini telah menerapkan 5 unsur teknik sinematografi yang apik, meliputi camera angle, continuity, cutting, composition, dan close up. Posisi shot kamera dan pergerakan objek beragam serta tidak monoton sepanjang film. Salah satu buktinya dapat disaksikan pada penggalan adegan Hafis berbincang dengan ibunya mulai dari menit 38:16. Pergerakan zoom in perlahan menambah kesan dramatis yang sesuai dengan suasana haru adegan, dilanjut dengan close up shot yang membuat ekspresi aktor terlihat jelas, serta diselingi beberapa angle dari atas dan samping yang membuat sinematografi ini nampak keren. Meskipun banyak adegan yang disyuting di area luar ruangan, namun pencahayaan adegan yang disyuting di dalam ruangan pun cukup baik. Penggunaan kamera yang jernih turut memberikan kesan produksi yang profesional.