Pasar tradisional di Indonesia selalu menarik untuk dijelajahi karena memiliki keunikan tersendiri. Berbeda dengan tempat perbelanjaan modern lain yang biasanya hampir 'seragam', setiap pasar tradisional selalu menampilkan ciri khas yang membedakannnya dari pasar lainnya. Belum lama ini saya berkesempatan menjelajahi salah satu pasar yang menurut saya cukup unik, yaitu Pasar Umum Ubud yang terletak di Kabupaten Gianyar Bali. Pasar yang tersohor dengan dagangan berupa barang seni hasil kerajinan ini ramai dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Melangkahkan kaki ke dalam pasar, pengunjung akan disambut dengan sekelompok pedagang makanan yang berjejer baik di emperan maupun di kios-kios. Makanan yang dijual berupa jajanan pasar, buah-buahan ataupun minuman ringan. Terkadang terselip juga beberapa penjual ayam potong, bumbu masak dan ikan yang berbaur bersama penjual dupa, bunga dan keperluan sembahyang lainnya.Â
Semakin ke dalam semakin banyak pedagang yang memajang barang-barang kerajinan yang unik dan berwarna-warni. Cantik sekali. Saya pun berhenti di salah satu toko yang menjual barang-barang seni seperti kipas warna-warni, tembikar, keranjang, tas-tas lucu, pajangan, asbak, tatakan gelas, sampai yang unik seperti dream catcher dengan berbagai pilihan ukuran. Kebetulan hari itu saya menenteng kamera yang cukup bagus untuk mengambil foto, jadilah benda-benda cantik beraneka warna itu jadi objek jepretan saya.
Puas memotret di bagian barang kerajinan, kaki saya pun melangkah menaiki tangga yang ada di bagian tengah pasar untuk menjelajahi bagian atas pasar ini. Disini saya disuguhi pemandangan penjual kain-kain batik, tenun dan kain pantai yang digantung berjejer. Selain itu masih ada pula sejumlah pedagang yang menjual aksesoris seperti kalung, gelang, cincin, bros yang ditata rapi di meja di bawah payung-payung besar.Â
Disini banyak sekali turis asing yang saya temui sedang melihat-lihat ataupun tawar-menawar harga dengan penjual. Dari bahasa yang mereka pakai saya mengenali asal negara mereka, ada yang dari Eropa seperti Turki, Belanda, Perancis, sampai yang dari Asia seperti Cina, Jepang, Korea dan Thailand.
Penasaran dengan cara mereka bertransaksi, saya pun mulai memperhatikan secara detail seorang turis asing yang sedang tawar-menawar dengan salah satu pedagang aksesoris. Menggunakan bahasa inggris yang sederhana, bapak pedagang pun memberikan penawaran harga sambil memencet-mencet kalkulator di tangannya. Turis tersebut sepertinya belum pas dengan harga yang ditawarkan oleh si bapak, sehingga dia pun menawar harga dengan cara memencet-mencet kalkulator pula.Â
Cara berkomunikasi yang cukup efektif menurut saya karena meminimalisir salah paham antara dua orang dengan bahasa yang berbeda. Sambil tetap jepret-jepret suasana sekeliling, saya pun mendengar bahwa dua orang ini sudah mencapai harga yang disepakati. Pada saat si turis hendak membayar belanjaannya, hal menarik pun terlihat di depan mata saya. Turis tersebut merogoh saku celananya dan menarik selembar uang USD 10.Â
Saya pun sigap mengarahkan kamera dan merekam momen itu. Sebagai pegawai di bank sentral yang merupakan otoritas rupiah, saya pun tergelitik untuk mengetahui sejauh mana kesadaran penggunaan rupiah sebagai mata uang transaksi di daerah wisata seperti ini. Selain itu saya juga ingin tahu apakah pedagang di pasar tradisional sudah mulai beralih ke instrumen non tunai sebagai alternatif pembayaran.
Saya pun mulai memilih-milih baju anak yang dipajang di bagian kanan toko. Lumayanlah sekalian untuk oleh-oleh buat anak saya yang sudah 'legowo' ditinggal ibunya ke Ubud. Seorang mba-mba penjaga toko pun menghampiri saya, sambil berkata, " Ada banyak corak yang bisa dipilih bu, ukuran juga lengkap." Saya pun mengambil satu baju yang jadi pilihan saya sambil nanya ke si mba, "Harganya berapa mba? Boleh pakai debit ya mba, soalnya saya belum ambil uang." Si Mba pun menjawab, " Kalau itu harganya 120 ribu bu, tapi maaf disini ga bisa pakai kartu, harus tunai." " Wah, kenapa gitu mba? " "Iya bu, soalnya bos saya tidak suka pakai kartu, katanya takut uangnya ga masuk, lagian susah kalau harus ambil uang lagi ke Bank." "Oh gitu mba, jadi kalau yang beli ga punya uang tunai gimana dong mba?" tanya saya lagi. "Oh bisa ambil uang dulu di ATM bu, kan banyak disini" jawab si mba ringan. "Terus kalau pembelinya orang bule dan ga punya rupiah, disini terima dolar ga mba?" tanya saya makin penasaran. "Boleh bu, mau bayar pakai dolar, yen, euro disini terima kok bu, ga apa-apa", katanya. "Lho, trus rate-nya tau dari mana mba?" tanya saya. "Gampang bu, di depan kan banyak money changer, ya pakai aja rate yang dipajang ama mereka, soalnya turis-turis itu kasian bu kalau harus nuker duit dulu baru bisa belanja, jadi ya kami senang-senang saja terima dolar," jelas si mba panjang lebar. Cukup mendapat gambaran, saya pun segera menyelesaikan pembayaran di kasir (pakai uang tunai tentu saja), sambil mengucapkan terima kasih kepada si mba yang udah mau ngobrol cukup lama dengan saya.
Keluar dari pasar saya pun tertarik untuk melihat-lihat di outlet-outlet yang ada di sepanjang jalan raya Ubud. Ada banyak butik, galeri, cafe maupun toko-toko dengan merk terkenal yang ada disini. Saya pun tertarik dengan salah satu outlet kecil yang menjual barang-barang unik seperti pajangan, benda-benda koleksi dan hiasan rumah.Â
Disini saya tertarik dengan salah satu hiasan berupa replika emas batangan 999,9 seberat 1000 gram. Harganya yang tertera di labelnya adalah RP239.000,00. Saya pun menghampiri penjaga toko yang duduk manis di meja kasir. "Mba, kalau disini bisa bayar pakai kartu ga?" tanya saya. "Bisa bu, disini terima visa dan master kok bu"' jawabnya sembari menunjuk ke mesin EDC yang ada di sebelah komputer.Â
Setelah puas melihat-lihat isi toko, saya pun minta izin jepret-jepret ke si mba penjaga toko. Dia berbaik hati memberi dispensasi kepada saya, karena sebenarnya peraturan di toko tersebut melarang pengunjung mengambil foto bagian dalam isi toko.
Kurangnya pemahaman akan alternatif pembayaran non tunai juga menyebabkan sebagian besar pedagang di pasar cenderung enggan menerima pembayaran dalam bentuk kartu. Mereka merasa lebih nyaman menerima pembayaran dalam bentuk tunai karena uangnya lebih "rill", bisa dilihat dan dipegang langsung tanpa takut terjadi "error" di mesin EDC yang menyebabkan saldonya tidak bertambah.Â
Padahal jika dipahami lebih baik, transaksi non tunai memiliki banyak keuntungan, seperti dapat memfasilitasi turis asing maupun lokal yang ingin berbelanja namun tidak membawa-bawa uang tunai dalam jumlah banyak dengan berbagai macam currency. Selain itu tidak perlu mengantri di ATM dan money changer dulu untuk bisa berbelanja, karena cukup dengan mengantongi satu kartu kita dapat langsung bertransaksi.
Keuntungannya lagi adalah saat kita berhadapan dengan nominal harga yang agak "nyeleneh" seperti RP239.560,00, dengan pembayaran non tunai hal tersebut dimungkinkan tanpa harus repot mencari-cari uang pecahan kecil ataupun menerima kembalian dalam bentuk permen. Kegiatan belanja pun menjadi lebih mudah dan menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H