Sebagai negara serumpun Indonesia dan Malaysia justru sangat kental dengan perselisihan. Tensi panas tersebut sudah ada sejak era Soekarno yang dikenal dengan semboyannya "Ganyang Malaysia". Semboyan tersebut masih dipegang erat oleh orang-orang Indonesia tatkala negerinya dirugikan. Perselisihan itu ditengarai oleh beberapa hal seperti perebutan batasa kedua belah negara, permasalahan tenaga kerja, saling caplok wilayah, perebuatan kebudayaan, hingga masuk dalam ranah olahraga.
Indonesia dan Malaysia bak Tom & Jerry yang sulit untuk akur---padahal mereka hidup berdampingan---serumah pula. Hal tersebut tak jauh berbeda dengan keadaan Indonesia dan Malaysia. Bertetangga tapi berantem terus---baik diranah politik, budaya, maupun olahraga sekalipun. Makanya saat ada pertandingan antara Indonesia versus Malaysia penonton tak pernah sepi. Bisa dibilang pertandingan tersebut el clasico-nya Asia Tenggara.
Dalam cabang olahraga sepak bola, perseteruan antara kedua negara tak usah disangkal lagi. Indonesia dan Malaysia sudah terlampau sering bertemu. Ajang AFF Cup dan SEA Games adalah perhelatan olahraga yang sering mempertemukan kedua negara serumpun tersebut. Sayangnya, beberapa tahun belakangan Indonesia kalah bersinar dibanding Malaysia. Hal serupa juga terjadi dalam dunia bulutangkis. Cabang olahraga yang menjadi andalan kedua negara ini sering mempertemukan Indonesia dan Malaysia. Rivalitas pun sangat terasa di sana. Tensinya tak kalah panas dengan pertandingan sepak bola.
Di era 2000-an, persaingan ketat terjadi antara unggulan Tunggal Putra Indonesia, Taufik Hidayat dan Lee Chong Wei. Kita tentu sering melihat keduanya adu taktik di lapangan---untuk berusaha saling mengalahkan. Tentu, pemain yang keluar sebagai pemenang akan mengangkat piala---bukan hanya persoalan piala saja. Menang lawan rival terberat, apalagi bertetangga rasanya tentu beda. Ada spirit lebih yang keluar. Ada pula kesedihan yang terlampau di wajah. Itu sebabnya pertandingan antara Indonesia-Malaysia ini sangat menarik untuk ditonton.
Perbedaan itu tak selamanya memisahkan. Perbedaan apabila dipersatukan bisa memunculkan kekuatan yang luar bisa. Hal tersebutlah yang coba dibangun oleh pasangan gado-gado Hendra Setiawan (INA) dan Tan Boon Heong (MAS). Di dalam dunia perbulutangkisan pasangan gado-gado merupakan pasangan ganda yang berbeda negara.Â
Sebelumnya telah banyak pasangan gado-gado diberbagai ajang BWF. Beberapa diantaranya adalah ganda putri Zhi Qing Lee (MAS)/Prajakta Sawant (IND) dan  ganda putra Peter Mills (ENG)/Adam Hall (SCO). Hendra dan Tan, dua pria tampan berbeda kewarganegaraan ini memutuskan berduet di lapangan bulutangkis Desember tahun lalu dan memulai debut Januari di Syed Modi International Badminton Championships.
Tercatat beberapa pemain bulutangkis Indonesia juga pernha menjadi pasangan gado-gado. Salah satu legenda bulutangkis Indonesia, Flandy Limpele, pernah beberapa kali menjadi pasangan gado-gado. Nama-nama seperti Lotte Jonathans (NED), Britta Andersen (DEN), dan Vldimir Malkov (RUS) pernah merasakan satu lapangan dengan Flandy. Pasangan gado-gado Indonesia selanjutnya adalah Vita Marissa yang berpasangan dengan pebulutangkis asal Thailand, Saralee Thoungthongkam. Salah satu pencapaian terbaik mereka adalah perempat final Indonesia Open 2010.
Keputusan Hendra keluar dari Pelatnas dan memutuskan berduet dengan pemain negeri jiran sangat lah tepat. Pertama, Usia Hendra tidak lagi muda. Artinya, sudah saatnya ia memberikan kesempatan kepada pemain muda Indonesia untuk mendapatkan jam terbang yang lebih banyak lagi. Kedua, duetnya dengan pemain Indonesia rasanya sudah mainstream bagi Hendra. Bersama Markis Kido ia berhasil membawa medali emas Olimpiade Beijing tahun 2008 silam. Kemudian duetnya dengan Mohammad Ahsan juga tak kalah mentereng. Mereka berhasil menyabet banyak gelar dunia---yang paling prestise adalah juara All England 2014.
Sebelum memutuskan berduet dengan Tan, Hendra juga pernah menjadi pasangan gado-gado bersama pemain asal Rusia, Anastasia Ruskikh. Bersama Ruskikh, prestasi keduanya terbilang cukup gemilang dengan menjadi runner up Indonesia Open 2010 dan semifinalis All England 2011.
Baru-baru ini diajang Australia Open, pasangan Hendra/Tan berhasil menjadi runner up. Sayangnya, difinal mereka disingkirkan oleh pasangan Jepang, Takeshi Kamura/Keido Sonada peringkat 5 dunia. Kekalahan tersebut bukanlah hal yang memalukan bagi Hendra/Tan. Justru sebaliknya. Pasangan yang sempat tak masuk peringkat 100 besar BWF ini malah merangsek ke posisi 30 besar. Tentu hal tersebut menjadi capaian tersendiri bagi pasangan beda 3 tahun tersebut. Mengingat komitmen keduanya untuk mencapai hasil terbaik di turnamen selanjutnya, Hendra/Tan sebetulnya sudah melakukan permainan yang maksimal.
Terhitung pasangan ini sudah terbentuk selama 6 bulan. Sangat berlebihan bila menginginkan pasangan ini cepat meraih prestasi. Apalagi mereka sering bersua mewakili negara masing-masing. Terlihat sedikit rasa canggung yang terlihat diraut wajah mereka saat bertanding. Tak ada ekspresi berlebihan. Hanya sesekali saling balas senyuman dan hal lumrah: toss. Berbeda sekali ketika mereka berpasangan dengan rekan satu negara. Hal itu menunjukkan ada kecanggungan di sana. Tapi semua itu mereka tutupi dengan pengalaman sebagai pemain senior. Tinggal kita menunggu waktu saja melihat Hendra/Tan mengukir sejarahnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H