[caption id="attachment_183310" align="aligncenter" width="609" caption="http://sakitjiwaku.wordpress.com/2008/06/18/foto-di-pesantren-hidayatullah-balikpapan/"][/caption] alkisah, seorang alumni Pesantren bercerita ketika ia dulu mondok di Pesantren ternama di Sulawesi Selatan di Kabupaten Wajo. Ia bercerita bahwa ketika ia mondok di Pesantren dia begitu menikmati suasana Pesantren dan larut dalam kesunyian spiritual. Sebab bagi dia (sebut saja Dani sebagai nama samaran), lewat Pesantren yang menyebabkan Dani mampu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya, sebut saja rokok yang sering ia nikmati setelah makan atau setelah menyantap Bakso maka rokok menjadi pencuci mulut. Sebelumnya Dani anak yang nakal di Sekolah sulit dicari lawannya, namun kecerdasannya tidak menurun walaupun ia nakal karena suka membaca buku dari perpustakaan yang Dani ambil (untuk tidak mengatakan dicuri), setelah masuk Pesantren Dani berubah total ia menjadi anak yang shaleh, rajin beribadah, puasa, serta segala rutinitas yang mendekatkan diri pada Tuhan. Lewat Pesantren baca Qur'annya menjadi lancar, Barazanji yang menjadi rutinitas di daerahnya pun ia bisa dan sering kali dipanggil oleh masyarakat setempat. Hari demi hari Dani semakin nampak kedekatannya pada Sang Ilahi. Menjelang ujian nasional di Aliyah Dani belajar dan hasilnya lulus. Namun suasana Pesantren yang Dani nikmati setiap harinya terasa sulit baginya untuk dia tinggalkan karena satu alasan; bahwa di Pesantren Dani terisolasi dari pengaruh Kota terlebih lagi teman-teman Dani di Pesantren satupun tidak ada perempuan (karena Pesantren itu memisahkan PUTRA-PUTRI dengan jarak puluhan kilometer). Lulus dalam ujian Dani pun berpikir akan melanjutkan studynya ke Perguruan Tinggi ternama di Sul-Sel, namun yang Dani cari adalah Perguruan Tinggi yang memisahkan Dia dengan Perempuan, Dani tidak mau berbaur dengan Perempuan karena takut terjerumus dalam godaan syetan utamanya syetan manusia. Singkat cerita Dani pun menemukannya, namun sebelum memutuskan Dani meminta pertimbangan dari Kyainya yang di kagumi sejak di Pesantren, di mana lanjut nak? tanya sang kyai. Di Makassar ust sebuah Perguruan TInggi yang memisahkan perempuan dan laki-laki. sang kyai pun berkata: kalau ada yang lain cari saja yang lain, alasannya karena berbeda pendapat. Lebih singkat lagi, Dani pun kuliah di Perguruan Tinggi dan harus berbaur dengan perempuan, wal hasil dalam perjalanannya Dani berkenalan sebuah kemunitas kajian sampai pada akhirnya Dani berkesimpulan bahwa: Sistem Pondok Pesantren yang ditekuni dulu telah keliru, sebab dalam perjalanan intelektualnya menemukan banyak hal yang bertentangan. Cerita di atas adalah benar adanya, satu hal yang mesti dipertimbangkan bahwa apakah sistem pondok Pesantren yang mengisolasi laki-laki dari perempuan adalah sebuah sistem yang kurang baik untuk mencetak generasi ke depan? mohon tanggapan kompasioner. catatan taqiyah, teras rumah di Makassar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H