"Haduh! Anak ini plin-plan betul. Awalnya mau, sekarang minta mundur. Alasannya karena tidak tahan tekanan pekerjaan," keluh kawanku saat adiknya memutuskan berhenti bekerja dari perusahaan yang belum lama dia lamar.
Memang banyak orang yang tergiur karena dorongan imajinasi parsial. Bayangan yang tidak utuh tentang sebuah realitas. Ia menginginkan gajih dengan nominal dua digit, tapi tidak siap dengan resiko yang bakal ditanggung. Itulah gelaran cerita yang kami kudap siang tadi.
Sebut saja B, adik kawanku yang kerja di perusahaan bonafit, gajihnya belasan juta per bulan. Impian yang sudah lama dia idam-idamkan. Bahkan untuk meraihnya, si B rela melepaskan status PNS-nya.
Namun baru berjalan empat bulan, tiba-tiba dia mengabari abangnya untuk resign. Dalihnya takut dipenjara. Banyak berhadapan dengan konflik. Adik kawanku itu mungkin melupakan teori dasar dalam investasi, high risk high return. Kita tidak bisa menampik, keuntungan yang didapat selaras dengan resiko yang bakal ditanggung. Mimpi indah dengan gajih berlimpa, ternyata membuatnya terlena.
Pengalaman si B sepertinya mewakili banyak orang. Keinginan kita kadang membutakan penglihatan sehingga tak sempurna membaca keadaan. Siapa yang tidak tergiur dengan kehidupan mapan, tak pernah merasa kekurangan, semua tuntutan hidup terpenuhi dll.
Hal ini semakin dipantik dengan kebiasaan mayoritas yang hobi menampilkan kebohongan ke ruang publik. Makin rabunlah kesadaran manusia akibat tertimbun imajinasi hipokrit.
Pernah satu waktu, kawanku yang sudah bertahun-tahun bekerja di kampus, mengutuki dirinya saat menyaksikan orang-orang yang memilih jalan hidup sebagai pengusaha. Mereka terlihat bebas, mobilitasnya tinggi serta pencapaian finansialnya terhitung lumayan. Sementara dia, hanya bekerja dalam satu petak ruang dengan parade aktivitas yang monoton. Kupikir, pada posisi inilah kita kerap terjebak dalam kungkungan perspektif nan sempit.
Kita hanya melihat apa yang memang sengaja ditampakkan, tidak mengamati apa-apa yang terjadi di belakang layar. Tidak usah jauh-jauh, ambil contoh film sinema yang biasa kita tonton. Durasinya rata rata 2 jam. Namun proses pembuatan filmnya bisa memakan waktu bertahun-tahun. Maksudku, yang sengaja ditampakkan ke permukaan memang ditujukan untuk disaksikan banyak orang, Â bahkan lebih jauh untuk mendulang pujian dan perhatian.
Mana ada orang yang mau menyaksikan proses pembuatan film dengan durasi berulan-bulan. Karena sekali lagi, itu bukan untuk dipertontonkan. So, untuk menghayati proses 'menjadi', kita perlu menggunakan penglihatan yang lebih tajam.
Agar tidak ada detail-detail yang terlewatkan. Kita perlu melibatkan semua indera untuk mencerna, agar tidak gampang mengekor pada keinginan. Kira-kira begitu. Paham gak maksudku?