Lampu temaram kamar kontrakkan menyala seakan hidup segan mati tak mau. Terdengar suara jangkrik jadi melodi indah yang sudah sepaket dengan malam. Ditemani sepenggal lirik lagu ‘katanya’ iwan fals yang terdengar mendayu-dayu. Ingatanku kembali menyusuri lorong lorong aktifitasku dalam menjalani hari kuliah di sebuah kampus yang ada di Bogor, STEI Tazkia.
Pagi hari udara terasa segar. Pohon-pohon ridang dan sekumpulan bunga anggrek ibu kontrakkan menambah kesejukan udara yang masuk ke rongga dada. Aku kembali melakukan aktifitas seperti biasa. Bersiap-siap kuliah. Biasanya, kumulai dengan mampir ke warteg Sunda yg ada di dekat rumah. Nasi uduk plus sayur bayam dan gorengan menjadi santapan favoriteku di pagi hari.
Kupacu motor shogun hitam keluaran tahun 2000-an melintasi rerimbunan bambu. Turunan jalan setapak yang menikung telah manantiku. Ada aliran air di sebalah kiri jalan, yang aku tidak tahu apakah itu kali atau parit, karena ukurannya yang kecil dan airnya yang dangkal. Yang jelas, aku sering melihat sekumpulan ibu-ibu dengan setumpuk cucian disana.
Sementara di bahu kanan jalan, terhampar luas halaman masjid Az-zikra. Orang-orang sering menyebutnya masjid ustadz Arifin Ilham.
Di depan telah menunggu pertigaan yang menawarkan dua alternative jalan menuju kampus. Jika kau memilih jalan perumahan, maka akan kau temukan jalan-jalan dengan fasilitas aspal nomer wahid layaknya jalan tol. Tak-kan ada hambatan kecuali jarak yang ditempuh lebih jauh dibanding jalan perkampungan. Namun aku lebih sering mengambil alternativ kedua, "jalur kampung," Aspal ala kadarnya, yang banyak didominasi bebatuan. Realitas alam inilah yang kerapkali menyapa ban motorku. Lubang-lubang menganga seakan mulut buaya yang siap memangsa, menjadi tantangan sersendiri bagiku.
Di sebelah kiri jalan sering kali kulihat ibu-ibu mengupas singkong. Mungkin di balik singkong itulah barangkali mereka titipkan harapan hari esok.
Aku terus menunggangi kuda besiku sampai melihat sebuah warung kecil dari anyaman bambu. Disinilah biasanya tempat berkumpul mobil-mobil pemasok minuman Big Cola. Soft Dring asal England yang dihargai Rp 3000 itu, sungguh aku tidak tahu bagaimana system produksinya sehingga menghasilkan harga yang begitu murah. Oh… Kapitalis memang luar biasa.
Laju kudaku sedikit tertahan dan memaksaku untuk kembali ke gigi dua.
Ada suara ribut anak-anak kecil dibawah pantauan gemes ibu mereka dari kejauhan. Terlihat di sebelah kanan jalan berdiri sebuah bangunan bertuliskan Sekolah PAUD Desa Cipambuan. Teriakan anak-anak yang asik bermain itu kembali mengingatkanku pada masa kecil dulu.
Begitu menyenangkan masa itu. Hidup tanpa beban dan pikiran akan ke khawatiran hari esok. Aku rindu masa-masa seperti itu.
Kembali kupacu motorku dengan kecepatan gigi tiga. Meliuk-liuk menghindari terkaman mulut buaya peliharaan rezim sekitar.
Aku kurang tahu apakah memang tidak ada anggaran untuk perbaikan jalan, yang jelas 2 tahun sudah aku hidup di sini, seingatku baru satu kali ada perbaikan jalan. Itupun tambal sulam asal jadi. Dua bulan kemudian, jalan-jalan itu kembali menganga, membuka mulut untuk minta diisi kembali receh-receh pemerintah. Lirik lagu Iwan Fals kembali mendayu-dayu dalam ruang imajinasiku, seakan mengugat fenomena jalan buaya tersebut “Katanya… Zamrud khatulistiwa, Nyatanya… Kilau air mata..”
Laju Motorku makin kencang, berusaha agar sampai ke kampus tepat waktu. Di depan, turunan curam plus tikungan tajam kembali menyambut ban motorku. Setelahnya, terlihat turunan dengan serpihan batu kerikil yang tajam-tajam. Maklum, tak jauh dari situ, sedang terjadi pelebaran jalan menuju perumahan dan juga ada pemugaran rumah makan.
Dulu ketika belum ada pelebaran jalan, aku sering memberi makan ban motorku dengan asupan angin dari sebuah bengkel tepat di sebelah rumah makan. Namun sekarang bengkelnya sudah lenyap dimakan proyek pelebaran jalan.
Ya.. semoga saja kau mendapatkan ganti rugi yang setimpal duhai bengkel motor yang bersahaja.
Tidak terasa, aku sudah memasuki kawasan Sentul City. Slogan jalan Tol sebagai jalan bebas hambatan memang benar apa adanya kawan... Nyaman betul rasanya jika seluruh jalan di Indonesia ini seperti jalan tol. Namun membayangkannya, aku sadar bahwa itu hanyalah mimpi.
Untuk memperoleh izin pembangunan saja membutuhkan tarik ulur yang cukup lama. Belum lagi ketika proyek tersebut sudah mendapatkan izin ketok palu. Sudah ada tikus-tikus nakal yang siap mengutil. Toh kalo jalannya sudah ada, jumlah kendaraanpun semakin bertambah… Kompleks sudah bung.
Kuda besiku semakin kencang larinya. Tak puas gigi tiga langsung ku kugocek ke gigi empat menerobos angin pagi perumahan elit yang masih segar. Beberapa saat kemudian aku mengambil jalur ke kanan ketika menemukan perempatan.
Ahmad fuadi selalu membanggakan kehidupan lima menaranya. Maka kami pun yang hidup di kawasan Babakan Madang ini juga hidup dalam kemegahan tiga menara yang tidak dibuat buat.
Masjid Andalusia yang dikenal sebagai oase syiar ekonomi syariah, merupakan satu dari tiga sandingan menara yang ada di kawasan ini. Adapun 2 menara lainnya, yakni SICC dan menara masjid Az-zikra dengan sosok ustadz Arifin sebagai ikonnya.
Lamat-lamat dari kejauhan aku melihat kampusku yang megah. Tapi tunggu dulu! Kok? Mana kampusku? Aku hanya melihat Masjid Andalusia berdiri kokoh di depanku. Bangunan dengan arsitek Spanyol abad pertengahan. Lalu, mana kampus ku?
Asshhh.. sudahlah. Hehe. Aku sudah sampai. Sekian.
*Masjid Andalusia adalah masjid kampus STEI Tazkia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI