Mohon tunggu...
Samhudi Bhai
Samhudi Bhai Mohon Tunggu... Editor - Bhinneka Tunggal Ika

Catatan samhudibhai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Upah Per Jam Sangat Dimungkinkan Ada untuk Kalangan Profesional

13 Oktober 2020   22:26 Diperbarui: 13 Oktober 2020   22:41 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja sedang sortir barang untuk kemudian dimuat pakai mobil fuso dan dikirim kepeleburan besi tua ditangerang/dokpri

Pekerja-pekerja kompak dengan sistim upah per jam/dokpri
Pekerja-pekerja kompak dengan sistim upah per jam/dokpri
Seperti waktu kemaren ada yang tanya ke Saya tentang butuh full timer untuk menggarap sebuah videografer ke Saya terus Saya bilang wani piro? (berani bayar berapa?)

Sebab hal ini menurutku karena videografer serta photografer itu terkadang ada yang dibayar perjam ada juga yang harian. Untuk nominalnya..Dah ga usah tanya nominalnya entar si embak baju biru iti kaget lagi.

Sudah begitu belum yang lain seperti profesi-profesi yang juga banyak memasang tarif perjam dengan nilai jutaan. Duuh kasian mbak baju biru mindset dibayar perjam kok cuma tentang OPEN BO. Malu2in aja pake jaket Almamater tapi jauh dari sosok anak muda akademis yg cerdas.

"Semua kerja yang profesional dibayarnya itu dengan sistem Upah Per Jam alias bayarnya.  Sekalipun itu Negara-Negara Maju seperti Asisten untuk tukang cuci piring, tukang rawat tanaman serta yang lainnya, itu dibayar perjam baru kemudian diakumulasi pada tiap bulannya. Maka sangat miris sekali melihat tingkah laku sorang almamater berwana biru ini yang seoal-olah tidak  tidak tahu apa-apa perihal ini yang justru pemahamannya bak seorang PSK yang dibayar perjam. Naudzubillah.. 

Kerja seperti ini dibutuhkan kewaspadaan sebab bahaya jika terkena tangan bahan pelat/dokpri
Kerja seperti ini dibutuhkan kewaspadaan sebab bahaya jika terkena tangan bahan pelat/dokpri
Omnibus law mempunyai tujuan hanya untuk  menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin, dengan berbagai cara yang salah satunnya adalah dengan isvestasi    bukan untuk di obral akan tetapi memakai aturan yang sudah dibuat menjadi simpel.

Seperti contoh apa bila sejak awal mulannya sudah tidak dapat diperboleh kan dalam hal ijin untuk usaha, tetap hal ini akan mendapat kabar dahulu.    Jadi dari pihak yang bersangkutan dapat mengantisipasinya, bukan malah boros-borosan ngeluarin duit banyak untuk tetap ngotot untuk dirikan ijin usaha.  Karena hal tersebut bisa saja di manfaatin oleh birokrasi yang tidak bertanggung jawab.

Dengan setulus hati bekerja/dokpri
Dengan setulus hati bekerja/dokpri
Jika memang bisa dapat izin, ya jelas, berapa lama izinnya. Syaratnya apa saja. Prosesnya bagaimana. Jadi soal perizinan gak lagi menjadi labirin gelap tempat tikus-tikus memanfaatkan ketidakjelasan aturan buat menggerogoti remahan rengginang.

Undang-undang Omnibus ini ada beberapa kluster. Yang dimaksud kluster itu adalah yang menyerempet UU sebelumnya. Seperti contoh aturan ketenagakerjaan ada di kluster tenaga kerja. Aturan pertanahan, ada di kluster pertanahan. Aturan izin lingkungan, ada di kluster lingkungan hidup.

Jadi yang banyak dipermasalahkan dalam hal ini adalah soal kluster tenaga kerja. Makanya buruh pada mau demo. Bahkan ada seruan mogok kerja segala. Tapi masalahnya, ternyata pasal-pasal yang diprotes justru aneh.

Contohnya Ada yang protes, katanya soal pengupahan cuma akan dibayar perjam. Ini akan menghilangkan konsep upah minimum. Padahal gak ada pasal yang bilang begitu di UU Ciptakerja. Upah, ya, tetap diatur dalam mekanisme upah minimum.

Mereka bekerja dari jam 8 pagi sapai dengan jam 4 sore ditambah lemburan/dokpri
Mereka bekerja dari jam 8 pagi sapai dengan jam 4 sore ditambah lemburan/dokpri
Yang lain di sini adalah kalau dulu upah minimum diatur ditingkat regional, sekarang ditarik ke Propinsi. Jika regional (kabupaten/kota) mau membuat aturan pengupahan, ya tetap bisa. Asal jumlah yang ditetapkan harus di atas upah minimum propinsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun