[caption id="attachment_87513" align="aligncenter" width="442" caption="Desa Luk Keng terlihat dari kejauhan"][/caption] Desa Luk Keng terletak puluhan kilometer jaraknya dari pusat keramaian Hong Kong, Tepatnya setengah jam perjalanan naik Minibus dari Stasiun Fanling atau hampir 1 setengah jam dari Kowloon Hong Kong. Luk Keng berada di kawasan lereng pegunungan di daerah New Territories. Di Luk Keng terdapat sebuah desa sisa peradaban orang-orang Hakka beberapa puluh tahun silam. Berupa reruntuhan rumah-rumah penduduk yang sebagian besar tinggal puing-puing yang terlihat berdiri kokoh, Sisa meriam penjajahan masa silam pun ada disana, Dan dari sebagian reruntuhan bangunan disana yang kebanyakan berbahan batu bata terdapat beberapa kehidupan ada di desa Luk Keng. Jauh dari modernitas Hong Kong tak mengurangi keindahan desa tersebut. [caption id="attachment_87518" align="aligncenter" width="300" caption="suasana desa Luk Keng"]
[/caption] [caption id="attachment_87516" align="aligncenter" width="300" caption="Desa Luk Keng"]
[/caption] Sebagian rumah penduduk yang berpenghuni didiami oleh para lansia dan beberapa perempuan paruh baya. Menggunakan Bahasa Ke atau Bahasa Hakka, Meski beberapa pun bisa berbahasa Kantonis. Bahasa Hakka merupakan salah satu dari 7 bahasa daerah utama dalam bahasa suku Cina. Sebagian besar penduduk masih menganut sistim kepercayaan tradisional. Itu bisa dilihat di beberap sudut desa & beberapa jalan setapak juga di depan rumah mereka terdapat sebuah guci dari kuningan yang terdapat sisa hio/lidi untuk sembahyangan yang berwarna merah. [caption id="attachment_87520" align="aligncenter" width="300" caption="guci tempat sembahyangan yang terdapat sisa hio berwarna merah"]
[/caption] Perjalanan ke Luk Keng saya lakukan pada Ahad kemarin. Sebelumnya saya mengunjungi Kai Kuk Shue Ha terlebih dahulu. [caption id="attachment_87530" align="aligncenter" width="300" caption="Bunga di tepi jalan:) (makro)"]
[/caption] [caption id="attachment_87531" align="aligncenter" width="300" caption="Bunga Mawar yang saya potret didepan rumah seorang penduduk"]
[/caption] Sejauh mata memandang, Saya bisa melihat sebuah desa yang terletak di daerah perbukitan & di lereng pegunungan. Sangat cocok bagi para pecinta alam & pejalan kaki, Juga yang menyukai daerah hijau yang jauh dari pusat keramaian kota. Desa Luk Keng dari kejauhan pun hanya terlihat putih-putih saja, Sangat kontras dengan pemandangan di sekitarnya yang menghijau. Suasana dingin menambah perjalanan saya menjadi semakin asyik saja. [caption id="attachment_87521" align="aligncenter" width="300" caption="Desa Luk Keng dilihat dari kejauhan"]
[/caption] [caption id="attachment_87532" align="aligncenter" width="300" caption="sebuah gang jalan yang ada di desa Luk Keng"]
[/caption] Memasuki Desa Luk Keng di perhentian Minibus no.56K terdapat sebuah kedai makanan & minuman. Banyak juga para pejalan kaki, Orang-orang yang bersepeda, Beberapa diantaranya rombongan dengan keluarga mereka, Juga para pendaki gunung dengan ransel besar mereka sedang menikmati beberapa sajian di kedai tersebut. Saya kemudian memesan kopi susu saja, Dengan porsi segelas besar wah... saya pelan-pelan menyeruput kopi susu tersebut. Setelah menghabiskannya, Saya kemudian memanggul ransel hitam saya dan melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan setapak di desa Luk Keng. Cuaca cerah, Langit biru, Hawa dingin, Brrrrr... Saya kemudian merapatkan jaket tebal yang saya pakai. [caption id="attachment_87533" align="aligncenter" width="300" caption="atap rumah milik seorang penduduk setempat"]
[/caption] [caption id="attachment_87534" align="aligncenter" width="300" caption="pohon Jeruk yang terdapat didepan rumah penduduk (makro)"]
[/caption] Sambil sesekali berpapasan dengan beberapa pejalan kaki, Saya menyapa mereka dengan sebuah senyuman. Inilah senjata andalan saya ketika mengunjungi daerah mana saja. Ajaibnya, Hanya dengan sebuah senyuman ini seringkali saya menemukan peristiwa tak terduga dari beberapa perjalanan yang saya lakukan. Membidikkan D3000 ke beberapa sudut desa, Memotret sudut-sudut terkecil di Luk Keng, Bertemu dengan beberapa fotografer setempat. Alhamdulillah.... Perjalanan yang membahagiakan... [caption id="attachment_87522" align="aligncenter" width="300" caption="langit biru cerah, Kontras dengan suasana desa yang sepi"]
[/caption] Di sebuah bekas reruntuhan rumah tepat disampingnya terdapat sebuah rumah berpenghuni, Ada seorang nenek yang memakai topi khas & seorang wanita paruh baya. Ketika saya memotret biji-bijian yang sedang dijemur di depan rumah dalam sebuah wadah tampah seng, Saya disapa oleh nenek tersebut. Saya menyapa mereka dengan ramah & sang nenek tersebut pun menawari sesuatu yang dalam pendengaran yang saya pahami hanya Loktau...Loktau... [caption id="attachment_87523" align="aligncenter" width="300" caption="nenek yang saya temui & pengasuhnya. menggunakan bahasa Hakka, saya hanya senyam senyum saja."]
[/caption] [caption id="attachment_87524" align="aligncenter" width="300" caption="kursi jadul yang ada didepan rumah nenek yang saya temui:)"]
[/caption] Loktau artinya kacang hijau. Wanita paruh baya tersebut pun menjelaskan maukah saya menikmati makan bubur kacang hijau disitu. Saya berkali-kali mengucapkan terimakasih kemereka. Dan karena saya akan melanjutkan perjalanan ke ujung desa maka saya pun segera pamit. Di pertigaan jalan desa, Saya bertemu dengan dengan seorang bapak yang sedang membersihkan dedaunan yang tumbuh subur di depan rumahnya. Bapak tersebut pun menjelaskan bahwa di ujung desa terdapat bekas meriam sisa penjajahan. Mengucapkan terimakasih & saya pun melanjutkan perjalanan kembali. Di ujung desa ini, Bekas reruntuhan rumah orang-orang Hakka sangat kentara sekali. Rumah berbatu bata yang sudah ditumbuhi ilalang, Tempat sembahyangan orang-orang Hakka berupa rumah-rumahan kecil yang didesain secara sederhana, Sisa 2 meriam yang disampingnya pun ada sebuah batu yang tertulis keterangan menggunakan huruf pagar, Hingga pohon-pohon yang hanya tumbuh di pedesaan pun terdapat di bekas reruntuhan tersebut. Pohon pepaya, Pohon Belimbing yang sedang berbuah lebat pun buahnya banyak yang berjatuhan ke tanah. [caption id="attachment_87525" align="aligncenter" width="300" caption="reruntuhan rumah di ujung desa Luk Keng yang terlihat semakin artistik"]
[/caption] [caption id="attachment_87527" align="aligncenter" width="300" caption="Buah Belimbing yang banyak berjatuhan"]
[/caption] [caption id="attachment_87528" align="aligncenter" width="300" caption="meriam sisa penjajahan"]
[/caption] Kurang lebih 30 menit saya menyusuri jalan setapak hingga ujung desa di sepanjang desa Luk Keng ini. Di pertigaan desa saya berpapasan dengan beberapa orang berpakaian seragam biru-biru yang ternyata mereka adalah bapak-bapak pecinta alam. Mereka menjelaskan baru saja naik gunung dari desa sebelah. Saya pun menyapa mereka terlebih dahulu dengan bahasa Kantonis. ''Sudah selesai Pak jalan kakinya ke desa sebelah?'' ''Kurang lebih lah, Ini kita juga sedang istirahat'' ''Anda berasal dari negara mana mbak? Malaysia kah?'' Hehe..sudah beberapa orang yang menyangka saya orang Malaysia:D ''Bukan pak. Saya dari Indonesia loh:)'' ''Wah hebat. Jalan sejauh ini memotret satu persatu secara detail setiap sudut Luk Keng. Salut... Dengan kamera yang lebih bagus dari kamera saku ini, Hasil potonya pun lebih bagus pastinya''
[caption id="attachment_87529" align="aligncenter" width="300" caption="Photo bersama bapak-bapak & mbak pecinta alam"]
[/caption] Lagi-lagi saya menjelaskan kepada Bapak-bapak tersebut bahwa saya hanya seorang pekerja rumah tangga biasa yang kebetulan menyukai jalan-jalan. Dan Fotografi adalah salah satunya. Saya pun menunjukkan beberapa foto perjalanan sebelumnya ke desa Kai Kuk Shue Ha & beberapa tempat lain di pelosok Hong Kong. ''Hebat! Saya saja malah belum mengunjungi sebagian tempat yang anda tunjukkan tadi hehe..'' ''Bolehkah kita berfoto bersama Pak?'' Tanya saya dengan ramah ''Owh boleh boleh....'' ''Wah Terimakasih Pak:)'' Klik... 2 foto tersimpan di D3000 saya & 2 foto pun tersimpan di memori kamera saku kepunyaan mereka. Memori perjalanan inipun akan tersimpan hingga nanti, Mungkin akan saya ceritakan pada keluarga saya di kampung di Indonesia atau orang-orang terdekat di hati saya termasuk anda sekalian yang saat ini meluangkan waktu membaca kisah perjalanan saya ini. Salam Hangat...:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya