Mohon tunggu...
Rainy Yusuf
Rainy Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hobby

Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warsih

15 Juni 2021   07:15 Diperbarui: 15 Juni 2021   07:42 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Warsih ditanya berbagai hal. Juga perihal perutnya yang kian membesar.

Warsih bercerita tanpa beban. Sudah lama dia menanti orang-orang yang akan diajaknya berbicara.

Tapi semua yang di ruangan itu menjadi murka dan mencaci-maki Bapak.

Dan sekarang di sinilah Warsih. Di penampungan perempuan dan anak di kota. Kata orang-orang, Bapak sudah dihukum. Warsih tak paham mengapa Bapak dihukum. Warsih juga tak tahu mengapa mereka , orang-orang itu peduli sekarang.

Dalam diam Warsih bertanya-tanya, mengapa orang-orang itu tak peduli ketika ibunya pergi? Ketika adiknya pergi? Ketika dia ditingggal hanya berdua saja dengan Bapaknya di tengah ladang di ujung perkampungan?

Di mana mereka, orang-orang itu ketika dia berusia tujuh tahun dan mengalami malam-malam horor di dalam gubuk itu?

***

Saat Warsih berusia sembilan tahun, pada suatu malam yang panas di musim kemarau ia terbangun. Ada suara berdebuk keras dari ruang tengah yang gelap. Suara Bapak yang meracau dan Ibu menahan isak tangis membangunkannya hampir saban malam. Tapi malam itu hanya racauan Bapak yang tak jelas dan suara berdebuk keras yang terdengar. Bapak kerap meracau jika pulang malam-malam dari warung remang-remang di ujung kampung.

Keesokan paginya Warsih tak melihat Ibu lagi. Ada sebuah kursi yang terbalik di tengah rumah kecil itu. Dan noda kering di sudutnya berbau amis. Adiknya bertanya keberadaan ibu mereka. Warsih hanya diam. Sepulang sekolah Bapak mengatakan Ibu pergi.

***
Suatu pagi, seorang pemikat burung berlari-lari dari dekat rawa di hutan tengah ladang. Dengan wajah pucat dan terbata ia mengatakan jika melihat kepala dari tengah rawa-rawa itu.

Berbondong-bondong orang-orang datang untuk melihat apa yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun