Mohon tunggu...
Mustolih Siradj
Mustolih Siradj Mohon Tunggu... profesional -

Advokat, Dosen, Aktivis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membanding Gerakan Zakat di Era Jokowi dan SBY

4 Juli 2016   13:03 Diperbarui: 4 Juli 2016   13:15 2596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada peristiwa menarik beberapa waktu lalu yang terjadi di istana negara. Memasuki penghujung bulan suci Ramadhan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang seluruh jajaran kabinet dan pejabat Eselon I. Agendanya tak seperti biasa, bukan untuk rapat membahas harga daging sapi yang melambung tinggi yang membuat rakyat menjerit, tapi supaya birokrat-birokrat elit negara ini membayar kewajiban zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Meja-meja dan petugas telah disiapkan menerima penyaluran zakat.  Ini tentu menjadi peristiwa langka. Sebab di era presiden sebelumnya ‘nodong’ bayar zakat seperti ini belum pernah dilakukan di istana presiden.

Cara Jokowi ‘memaksa’ bawahannya membayar zakat menjadi angin segar dan momentum positif bagi iklim dan gerbong gerakan zakat nasional. Terlebih BAZNAS Pusat sebagai leading sector pengelolaan zakat di Indonesia tengah gencar-gencarnya mengusung semangat “Kebangkitan Zakat”. Apa yang terjadi di istana menjadi sinyal yang sangat apik mendorong kesadaran gerakan membayar zakat bagi masyarakat luas, terutama di kalangan birokrasi yang saat ini mengalami krisis keteladanan. Sudah menjadi hal lumrah, kalangan pejabat umumnya doyan pidato dan memberikan perintah kepada bawahan, tapi minus aksi nyata. Kali ini mereka mengalami situasi berbeda, tentu saja akan berisiko apabila ada pejabat yang  berani menolak bayar zakat di hadapan Presiden.   

Ada beberapa makna simbolik dari peristiwa bayar zakat para pejabat di istana. Pertama, Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintah dan kepala negara memberikan contoh kongkrit mengajak jajarannya agar menunaikan rukun islam yang ketiga yakni membayar zakat sehingga diikuti dan diteladani jajaran birokrasi pada level  terbawah. Kedua, zakat harus disalurkan kepada ‘amil (pengelola) resmi sebagaimana dimandatkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Zakat 2011). Hal ini telah diperkuat dengan Fatwa MUI Nomor 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat. Amil zakat menurut MUI adalah seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat. Sebab masih banyak amil zakat abal-abal (ilegal) yang beroperasi di masyarakat yang tidak jelas penghimpunan dan penyalurannya. Termasuk amil zakat yang rajin pasang iklan di koran, pasang spanduk dan billboard di jalan-jalan utama ternyata masih banyak yang belum berizin.

Pada tahun lalu, Penulis menemukan fakta yang mencengangkan,  lembaga amil yang dikenal cukup besar dan populer di masyarakat seperti seperti Portal Infaq, PPPA Darul Quran Ust Yusuf Mansur, Aksi Cepat Tanggap (ACT), dan LAZ Al-Azhar Peduli Ummat ternyata belum memiliki izin alias ilegal. Lembaga-lembaga tersebut oleh Penulis kemudian disengketakan ke Komisi Informasi (KI) Pusat, di Komisi Informasi semua terkuak. Sekarang Penulis tidak tahu apakah mereka sudah urus perizinan atau belum. Diduga masih banyak lembaga amil zakat yang belum punya izin. Bisa karena tidak tahu prosedur atau tidak mau tahu karena tidak mau diatur.

Ketiga, BAZNAS Pusat dipercaya Presiden sebagai lembaga amil nasional maka itu lembaga ini harus membuktikan diri menjadi lembaga yang transparan dan akuntabel karena nantinya kinerjanya harus dipertanggungjawabkan kepada Presiden dan masyarakat (lihat Pasal 35 UU Zakat). Bukan hanya soal penghimpunan dana, tapi penyaluran dan tata kelola lembaga secara menyeluruh. Tahun lalu penulis juga menemukan ada pimpinan BAZNAS Pusat yang mengangkat anak kandungnya sebagai staff khusus di BAZNAS dari tahun 2010 sampai 2014 tanpa melalui feet and proper maupun uji publik serta tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat berkompetisi, sehingga Penulis merasa perlu melayangkan surat somasi dan mengajukan sengketa ke Komisi Informasi (KI) Pusat. Hal semacam ini tidak boleh terulang lagi. BAZNAS sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab langsung kepada presiden harus menjadi pelopor dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, untuk menjadi lembaga fund rising terpercaya BAZNAS harus menjadi lembaga yang bebas dan bersih dari potensi-potensi yang mengarah pada tindakan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Keempat, BAZNAS harus mengkoordinasikan potensi amil zakat secara nasional baik di kalangan internal BAZNAS yaitu pada lingkup BAZNAS Propinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota serta unit pengumpul zakat (UPZ) di level kementrian dan lembaga pemerintah serta lembaga amil zakat (LAZ) swasta seperti Dompet Dhuafa (DD), Rumah Zakat (RZ), LAZIS Muhammadiyah, LAZIS Nahdlatul Ulama dan lembaga amil yang dikelola di luar pemerintah.

Sudah menjadi rahasia umum, antara lembaga amil (BAZ-LAZ) tengah terjadi persaingan yang sangat sengit dalam hal merebut ‘pangsa pasar’ pembayar zakat yang berasal dari potensi personal maupun korporasi. Dari satu sisi ini positif karena ada fastabikul khiaraat,perlombaan kebaikan. Di sisi lain mulai ada dampak tidak sehat, mulai ada oknum yang saling copot mencopot spanduk kompetitornya. Tapi ada problem yang paling mendasar dan serius sekarang ini untuk segera dibenahi yaitu tidak adanya sinergi antara badan amil zakat/lembaga amil dalam penanganan masalah-masalah kemiskinan, masing-masing lembaga jalan sendiri-sendiri karena menuruti ego sektoral. Seharusnya ada projek bersama yang monumental dan mercusuar yang dikelola oleh para amil plat merah (BAZ) maupun plat kuning (LAZ) menanggulangi akar persoalan di masyarakat. Misalnya, penanganan kekeringan yang hampir selalu terjadi di wilayah Gunung Kidul Yogyakarta, jika projek ini ditangani bersama-sama berapapun biayanya tentu akan dapat diatasi. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan BAZNAS Pusat mengikis ego para amil dan menyadarkan bahwa donasi yang terkumpul bukanlah ‘milik’ amil tetapi titipan masyarakat yang harus disalurkan untuk kesejahteraan mustahikkin (masyarakan yang berhak menerima zakat). 

Era SBY

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) zakat diposisikan cukup sentral. Bahkan tidak berlebihan apabila masa itu disebut sebagai penguatan pondasi gerakan zakat nasional. Akhir tahun 2011 pemerintah bersama dengan DPR telah menyepakati dan mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang membawa paradigma baru sekaligus menggantikan UU Zakat 1999 yang memiliki banyak kelemahan. UU Zakat kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2014. UU Zakat 1999 sampai dengan dicabut tidak memiliki peraturan pemerintah, sehingga ada joke UU zakat tersebut hanya berlaku di Kementerian Agama.

Secara khusus kemudian SBY meneken Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 3 tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian/lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional. Hal ini menandakan SBY sangat serius dengan persoalan zakat yang diyakini menjadi salah satu instrumen memerangi kemiskinan.

Sebelumnya, persoalan zakat juga telah ‘diintegrasikan’ dalam sistem pajak. Ini dimaksudkan agar kaum muslim tidak mengalami double tax (beban ganda) berupa pajak negara dan ‘pajak’ agama yang dapat memberatkan dan berpotensi akan bertentangan dengan maqashdidu zakat.Hal ini diatur melalui UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Bagi kaum muslim yang telah membayar zakat bukti pembayarannya dapat dikurangkan dengan penghasilan bruto kena pajak dengan syarat disalurkan ke badan/lembaga amil zakat yang sudah disahkan oleh Pemerintah (Kementerian Agama). 

Dengan begitu dalam urusan zakat sesungguhnya ada kesinambungan kebijakan antara SBY dan Presiden Jokowi. Presiden sebelumnya memperkuat pondasi melalui regulasi, presiden berikutnya melakukan penguatan pada aspek implementasi. SBY tentu saja juga mewarisi kebijakan zakat yang sangat positif dari Presiden sebelumnya. Akan sangat indah negara ini apabila setiap kebijakan ditempatkan seperti ini, menyempurnakan policykebijakan era sebelumnya.  Bukan sebaliknya, mengoreksi dengan maksud politisasi sehingga yang terjadi rezim yang memimpin saat ini seolah-olah menyudutkan pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut tentu saja tidak akan menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan yang makin rumit.

Dengan modal besar kebijakan yang kuat dan relatif komplit serta political will Presiden, sudah seharusnya tata kelola zakat di masa mendatang yang dinakhodai BAZNAS Pusat menjadi lebih baik, penyaluran donasi tepat sasaran, akuntabilitas dan transparansi di kedepankan, memiliki data mustahik dan muzaki yang akurat, memiliki program-program pemberdayaan unggulan yang terukur dengan menetapkan skala prioritas sehingga donasi zakat yang digelontorkan muzaki benar-benar ada jejaknya. Tidak seperti sekarang, angka pengumpulan donasi zakat diumumkan melalui media massa jumlahnya trilyunan rupiah, tapi nyaris tidak ada jejak dan dampaknya dalam penanganan persoalan kemiskinan yang melilit bangsa ini. Jargon badan/lembaga amil zakat yang akan menjadikan mustahik menjadi muzaki seolah-olah hanya kata-kata klise yang tidak memiliki makna apa-apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun