Aku terduduk dibawah langit cerah bertaburkan bintang, bersama lima belas temanku. Kami bersila di atas tanah lapang penuh rumput yang letaknya persis ada di belakang panggung pentas seni yang sedang berlangsung. Hawa dingin malam membelai tubuhku. Aku berkonsentrasi memunajatkan do'a indahku pada sang Maha Cinta, berharap ada daya dan kekuatan malam itu, berharap semua kerja keras dan luka terbayar dengan sempurna.
Semakin malam semakin mendekati waktu kami untuk naik ke panggung, namun inilah kuasa semesta, semakin dekat dengan detiknya semakin hatiku terasa lapang dan tak ada sedikitpun beban yang menyesakkan dada. "Luna, siap jadi *srikadi ?," suara bernada berat itu menyusur pendengaranku, suara itu adalah suara kak Rudi, Pembina pramuka yang baru saja menyandang gelar ayah. "Iya siap dong," ucapku percaya diri dan dengan santainya. Aku Luna salah satu siswa yang beruntung mewakili Provinsi Jawa Timur dalam perkemahan Pramuka Santri Nusantara ke IV yang kali ini diselenggarakan di Kalimantan Selatan.
Bersama Sembilan puluh tujuh siswa Sekolah Menengah Atas dan sederajat lainnya perwakilan dari masing-masing kabupaten dan kota. Dari nama acaranya kami semua selain menjadi siswa juga menjadi *santri, dan kami berangkat atas seleksi pramuka yang dilaksanakan oleh Kementrian Agama Provinsi Jawa Timur.
Suatu kehormatan bagiku untuk ikut serta maju dalam lomba pentas seni di kesempatan kali ini, bagaimana tidak lomba pentas seni berbeda dari lomba yang lain, karena pentas seni dilihat oleh semua peserta juga bina damping alias umum, sebanyak tiga ribu santri dari seluruh Indonesia akan melihat pentas seni ini, sejenak kesyahduan merasuk benakku, namun cepat-cepat kubuyarkan itu, karena aku sadar aku sudah harus bersiap dibelakang panggung untuk segera tampil menggantikan posisi DKI Jakarta yang kini sedang unjuk gigi memberikan penampilan terbaiknya. Memang bukan kali pertama untukku menari gemulai di depan khalayak, namun kali ini adalah kalli yang paling berbahagia diantara kali sebelumnya yang pernah ada.
Kami mulai naik ke panggung, mempersembahkan penampilan yang hanya kami lakukan dengan waktu latihan hanya 8 hari saja. Begitu waktu yang sangat singkat untuk penampilan yang memasukkan banyak karakter di dalamnya. Aku melakukan yang terbaik yang aku bisa, begitupun teman-teman yang lain. Aku menari saja sesuai bagaimana aku harus menari menampilkan karakterku di panggung, sembari aku mengingat Dalam pikiranku bagaimana perjuangan kami dengan waktu yang tak banyak itu agar aku bisa semakin semangat.
Sebelum itu kami dibuat habis-habisan resah dengan ide cerita yang akan kami tampilkan membawa harum nama Jawa Timur dalam acara nasional. Berbagai konsep kami usung namun masih belum saja pas, hingga suatu waktu karena kami sudah kehabisan ide kami mengusulkan untuk mengangkat seni tari batengan, seni khas dari Mojokerto, yang menceritakan tentang perguruan bela diri yang nantinya ada serangan besar dan itu datangnya dari mantan murid yang berguru disana murid tersebut memanfaatkan ilmunya dengan hal-hal yang tidak baik.
Namun untuk yang akan kami tampilkan benar-benar dipercantik sebagai seni tari yang epic, karena bagi orang Mojokerto sendiri seni bantegan adalah seni yang berbahaya karena para pemainnya menggunakan bantuan hal ghaib dalam menampilkan, hal itu bukan tanpa alasan, kepala banteng yang digunakan untuk pertunjukkan bisa mencapai lima belas kilogram dan harus ditampilkan dengan dibawa oleh kedua tangan dan dilenggak lenggokan kedepan daam waktu yang bukan semenit dua menit saja, bagi sebagian padepokan seni bantengan mereka harus menambah staminanya dengan bantuan ghaib tersebut.
Tak pakai lama, pembina pramuka kami langsung mendatangkan seorang pelatih bantengan yang saat itu kami tak tahu, bahwa yang akan melatih kami ini adalah pemilik sanggar tari Mahesa Sura yang sering memenangi kejuaraan bantengan sendra tari murni seni tanpa adanya hal-hal ghaib dan misterius lainnya. Dalam benak kami sudah takut, dan memikirkan bermacam-macam hal yang kita sendiri belum tahu.
********
Kami berjalan perlahan menuju aula untuk memulai awal kali latihan kami sekaligus perkenalan pada pelatih, dari belakang sudah banyak yang kami pikirkan, "Gita ini orangnya gimana yah? Bakal baik atau aneh," perkataan itu nyeletuk dari Alfi, salah seorang temanku yang ada dalam tim. Tak mungkin laju kami hentikan, ketika semakin dekat deru langkah kami mungkin membangunkan lamunan pelatih baru dan akhirnya ketika orag tersebut menoleh, kami kemudian memberi salam. Seketika ketakutan kami sirnah, ternyata pelatih kami mengembangkan senyum lebarnya, orangnya ramah dan baik hati.
Nanmanya Budi yang akhirnya kami akrab memanggil Pakde Budi. Dengan ditemani dan dibantu empat anak buahnya beliau melatih kami dengan super sabar namun tegas, dengan pengajaran yang membuat kami menjadi semangat. Ditambah anak buah pakde Budi yang humoris, pada akhirnya kami juga memanggil anak buahnya dengan sebutan "pakde", walau usia kami tak terpaut jauh sekali, kisaran tiga sampai empat tahun saja.