Dunia saat ini berada di momentum kritis pandemi covid 19. Kasus demi kasus melonjak pesat ditengah upaya penanganan yang terus berjalan. Semua pihak merasakan betul dampak wabah yang usianya menuju satu tahun. Untuk itu, pemerintah harus tetap terdepan mengawal kondisi dengan kewenangannya menentukan kebijakan. Agar sendi-sendi kehidupan kembali pulih dari sakitnya.
Lain dulu, lain sekarang. Jika sebelumnya diterapkan PSBB, lalu berganti new normal dengan diikuti perubahan diksi menjadi adaptasi kebiasaan baru, kini PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Intinya sama yakni pembatasan ruang gerak masyarakat, hanya teknis berbeda. Dan, kini Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Isran Noor melakukan pembatasan selama 2 hari guna memutus penyebaran virus Corona (COVID-19). Pembatasan yang dinamakan dengan istilah 'Kaltim Steril' atau 'Kaltim Silent' itu akan dilakukan pada 6-7 Februari 2021 akhir pekan ini.
Pemerintah menerapkan PPKM di Jawa-Bali mulai 11 Januari lalu hingga dua pekan kedepannya. Sedangkan untuk Kalimantan Timur, sejak 15 Januari hingga 29 Januari Balikpapan ikut menerapkan PPKM. Adapun Samarinda, Kutai Kertanegara, Berau dan Bontang kabarnya akan menyusul (kaltimtoday, 19/1/2021)
Dua pekan terlewati. PPKM malah dinilai tidak efektif. Presiden Joko Widodo (Jokowi) kecewa. Ia mengakui pelaksanaan PPKM yang dilakukan sejak pertengahan bulan lalu tidak efektif menekan angka kasus Covid-19. Hal tersebut disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas tentang Pendisiplinan Melawan Covid-19 di Istana Bogor, Jumat (29/01/2021) yang dirilis dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (31/01/2021).
Benar saja. Realitasnya, kasus covid19 tetap melonjak meski ditengah PPKM. Terbukti per 26 Januari kasus covid19 di Indonesia tembus 1 juta. Tertinggi se-Asia, melebihi India. Berdasarkan data Worldometers per Selasa (2/1/2021), Indonesia memiliki 175.349 kasus aktif, sementara India hanya memiliki 164.278 kasus aktif  (cncbindonesia.com, 2/2/2021).
Pakar sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir berpendapat, fakta justru membuktikan bahwa PPKM terlalu lemah dalam membatasi pergerakan penduduk. Ada tiga aspek intervensi sosial yang semestinya efektif jika dilakukan pengetatan atau pembatasan Tiga aspek tersebut yakni kedalaman pengetatan, skala pengetatan, dan durasi pengetatan. Namun, dia menilai PPKM terlihat lemah dalam tiga aspek intervensi sosial tersebut (kompas, 1/2/2021).
Tenaga Ahli Utama KSP, Dany Amrul Ichdan, mengatakan ketidakefektifan yang dimaksud ialah salah satunya masih tingginya mobilitas masyarakat. Dany juga menjelaskan jika PPKM setidaknya bisa menekan 30-35 persen mobilitas. Namun faktanya, PPKM hanya mampu menekan angka 10-25 persen (kompas.tv, 31/1/2021).
Alhasil, kekecewan harus ditanggung bersama, walaupun kekecewaan ini terlampau telat. Sebab kita sudah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan pikiran menjelang 1 tahun covid19. Hasilnya justru cluster demi culster baru terbuka, konon katanya ada lagi cluster perkantoran dan keluarga. Anehnya, PPKM yang dinilai tidak efektif malah diperpanjang. Sudah tau tidak efektif kok diperpanjang. Â Kasian umat, lagi-lagi umat jadi korban uji coba. Apalagi para pelaku usaha yang kian menjerit semasa PPKM diperpanjang.
Dari sini terlihat sikap penguasa mengurusi pandemi terkesan setengah hati. Nanggung. Masih hitung-hitungan dan penuh kompromi, antara keselamatan nyawa umat dan kepentingan para pemilik modal (kapital). Saat pandemi harus disolusikan, para kapital pun tetap harus mendapat lampu hijau menjalankan usaha/bisnis mereka. Karena bagaimana pun penguasa tetaplah fasilitator para kapital. Tidak boleh tidak. Oleh karena itu, agaknya penguasa tertimpa kebingungan lantaran belum berpengalaman hadapi pandemi. Akhirnya, aturan coba-coba jadi solusi. Begitulah bila negara menjadikan sistem kapitalisme sekuler sebagai sistem aturannya. Agama hanya sampingan. Sewaktu-waktu bermanfaat barulah aturan agama tersebut diadopsi.
Bertolak belakang dengan kapitalisme, islam justru punya konsep sempurna mengatur jalannya kehidupan. Bahkan untuk hal yang sifatnya darurat dan tiba-tiba, aturannya sudah ada. Menyoal pandemi, islam punya solusi. Semasa Rasulullah dan khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi wabah penyakit. Cukup sekali instruksi untuk di rumah saja (lockdwon syar’i) masyarakat dengar dan taat. Tanpa tapi. Mereka sudah saling ridha satu sama lain ketika akses keluar masuk wilayah ditutup. Mereka sudah ikhlas satu sama lain ketika yang sakit harus dipisah dari yang sehat. Mereka juga tidak ragu ketika yang sehat diminta beraktifiitas seperti biasa, karena ada jaminan keamanan dan kesehatan dari negara. Berbeda sekali dengan potret masyarakat kapitalisme sekuler yang terkesan menyepelekan anjuran pemerintah. Perintah memakai masker, menjaga jarak dan menjauhi segala bentuk kerumunan dianggap remeh. Akidah sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang ditanamkan ditengah-tengah umat membuat mereka memiliki krisis keimanan.
Ketaatan yang luar biasa itu efek dari penerapan sistem islam secara formal dan total. Kepatuhan dengan arahan pemimpin terbeli atas keimanan kepada Allah. Saat Allah berkata, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri (Pemegang Kekuasaan/Pemerintah) di antara kamu. Jawaban mereka adalah, kami dengar dan kami taat. Atas keimanan kepada Allah juga pemimpin akan sangat berhati-hati mengambil setiap langkah kebijakan. Dia akan berkolaborasi pada pakarnya, lalu merujuk pada hukum islamnya. Sungguh mengagumkan.