Mohon tunggu...
Dr.Siska Sulistami
Dr.Siska Sulistami Mohon Tunggu... -

Dokter, Penulis, Anak, Istri, Ibu yang berbahagia...Saat ini mengabdi di Puskesmas Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Tentang Ibu

22 Desember 2012   05:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:13 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat saya beranjak remaja dan sudah belajar untuk merasa cukup dengan diri sendiri dan teman-teman, saya berhenti mengganggu Ibu saya dengan aneka tingkah polah saya. Saat itu pula ekonomi keluarga kami mapan. Karir Ibu saya pun mapan. Hubungan ibu dan Bapak saya pun tampak jauh lebih mesra. Entah karena semua faktor itu, atau faktor lain, ibu saya mulai berusaha memenangkan perhatian saya (dan mungkin juga anak-anak lainnya). Tapi bagi saya, semua sudah dirumuskan sejak bertahun-tahun sebelumnya. Apa yang dilakukannya sekarang tidak akan memperbaiki apa yang sudah dirusaknya dahulu. Ketika dulu ia memilih tidak ada di saat saya butuh dukungan, sekarang pun dia tidak perlu ada ketika pribadi saya mapan. Prinsip itu bertahan hingga bertahun-tahun kemudian. Hati saya tidak mampu diraih ibu seberapa besar pun usahanya. Beberapa kali saya membantah kemauannya, sebagian karena kemauannya itu tidak masuk akal saya, sebagian lagi saya lakukan hanya karena saya ingin membantah saja. Tapi secara umum saya menghindarkan konfrontasi. Saya merasa cukup dengan menarik diri dan menyibukkan waktu dengan aktivitas mandiri. Persis seperti kelakuan ibu saya dulu.

Tahun 2002, ketika saya mendapatkan telepon yang meminta saya pulang ke kampung karena "ibu sakit", saya tidak merasakan apa-apa dalam hati saya. Saya tahu "sakit" itu berarti "meninggal" karena kalau tidak, Bapak saya tidak akan menyuruh pulang hari itu juga. Saya ingat air mata saya jatuh dengan deras dalam perjalanan ke bandara, tapi saya ingat  pula bahwa hati saya tidak berduka. Saya hanya merasa kosong. Kosong sekali.

Satu minggu sesudah ibu meninggal, saya dapati diri saya sesungukkan ketika harus menceritakan alasan kenapa saya tidak ikut UAS pada dosen saya. Sesunggukan saya itu datang tiba-tiba dan sedemikian parah sampai tidak ada kata-kata yang bisa keluar selain ibu.. Meninggal..

Saya batal ikut ujian susulan karena disuruh pulang dulu dan pulang dengan hati merana. Saya ingat, dalam perjalanan ke kos, saya baru menyadari bahwa sebenarnya saya benar-benar bersedih dengan kehilangan ini.

Tragis memang.

Saya berfikir barangkali ini disebabkan karena seminggu pertama saya harus meladeni tamu2 yang datang mengucapkan bela sungkawa. Barangkali, semuanya karena seminggu pertama saya sibuk menyokong Bapak saya yang sedang berduka. Barangkali memang saya butuh waktu untuk berfikir. Atau barangkali memang saya sudah gila.

Tahun 2002 melompat ke 2010 dimana di suatu malam, saya yang sedang hamil besar menangis dalam pelukan suami saya. "Barangkali," Kata saya waktu itu, "Bunda ga akan bisa jadi ibu yang baik untuk anak kita." Kenapa? Tanya suami saya. Saya lantas menceritakan masa kecil saya lalu menambahkan begini "Ada yang namanya lingkaran kekerasan dalam keluarga. Ibu disakiti oleh orang tuanya, kemudian dia akan tanpa sengaja meneruskan itu kepada puterinya. Terus begitu selanjutnya. Barangkali hanya dengan frekuensi, intensitas atau rupa yang berbeda" Saya menarik nafas. "Bunda bahkan belum bisa memaafkan ibu karena kelakuannya, meskipun Bunda mengerti sekali alasan yang membuatnya menjadi orang seperti itu. Bunda pun tidak bisa memaafkan diri sendiri karena menjadi anak yang durhaka, meskipun Bunda paham sekali mengapa Bunda tumbuh menjadi anak yang seperti itu." Kita semua terjepit oleh nasib, tambah saya dengan getir. Lalu saya menangis lagi.

Suami saya, saat itu cuma mengeratkan pelukan dan berkata : Benar, kita terjepit oleh nasib. Tapi lantas kita bisa memutuskan untuk melepaskan diri atau berada di sana selamanya.

Saya tiba-tiba merasa sangat kasihan pada ibu saya.

Kenapa saya menuliskan ini hari ini, adalah bukan karena saya ingin mempermalukan almarhumah Ibu saya. Saya paham, Ibu saya sudah berusaha. Jika beliau gagal dalam usahanya, Tuhan sudah mencatat bahwa Ibu saya telah mencoba. Saya tau, suatu hari nanti kami akan berhadapan sebagai dua orang dewasa dan membicarakan keridhoan kami masing-masing akan urusan ini. Saat itu, saya akan meminta maaf karena kemudaan saya, saya tidak sanggup mengerti posisinya. Barangkali Ibu saya juga akan minta maaf karena gagal jadi ibu yang sempurna. Barangkali semuanya nanti akan berakhir bahagia dan kami secara lisan akan mengikhlaskan satu sama lain. Tapi nanti. Tidak di dunia. Karena kontrak usia ibu saya ternyata tidak lama.

Alasan saya menuliskan ini adalah memberi gambaran untuk Anda Ibu-ibu muda: ambillah pelajaran dari kisah saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun