Hari ini adalah hari Ibu dan saya ingat 13 tahun yang lalu, di bangku SMU, saya diminta mengarang sebuah tulisan mengenai ibu. Saya ingat saya termangu lama; kesulitan menemukan kata-kata yang tepat mengenai ibu saya dan akhirnya tidak menuliskan apa-apa sama sekali. Waktu berlalu sekian lama dan selama itu pula saya tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan ibu saya. Sampai hari ini, 29 tahun usia saya, dan 11 tahun sesudah hari wafatnya ibu saya, saya memutuskan untuk menulis sesuatu tentang beliau.
Kesan yang membekas dalam benak saya adalah, ibu saya tidak punya kontrol emosi yang baik.
Kakek saya pergi dari rumah untuk alasan dagang ketika Ibu berusia beberapa bulan. Kakek tidak pernah pulang, maka nenek saya beberapa tahun kemudian memutuskan untuk menjadi isteri kedua seorang pria kaya dengan 6 anak demi menghidupi dirinya dan 2 anak balitanya. Dari suami kedua ini, nenek saya punya 2 anak lagi yang otomatis berposisi sebagai adik tiri ibu saya.
Saya tidak pasti, tapi tampaknya masa kecil ibu saya tidak bahagia. Dia tidak nyaman dengan dirinya, dia tidak nyaman dengan keluarganya. Nenek ibu dan ibunya ibu bukanlah pendidik yang baik. Saya ingat, ibu saya bercerita bahwa ia pernah dipukul dengan sapu lidi hingga lidinya menancap di lengan dan harus dicabutnya sendiri sambill menangis diam-diam. Kata-kata kasar juga sering diterimanya. Selain itu himpitan ekonomi membuat Ibu saya tidak bisa menggapai cita-citanya.
Ketika suatu hari surat dari ayah kandungnya datang meminta Ibu saya datang dan tinggal di Jakarta, nenek dengan tegas menolak hingga Ibu mengurungkan niatnya. Beberapa waktu sesudah itu, kakek saya meninggal. Jenazahnya ditemukan di bawah jendela dari kantornya yang bertingkat. Menurut berita, telah terjadi kecelakaan sedangkan Ibu separuh meyakini bahwa kakek dibunuh karena urusan dagang. Bertahun-tahun kemudian, saya masih melihat foto dan surat pertama (sekaligus terakhir) dari kakek saya disimpan dalam dompet ibu. Saya menduga Ibu menyesal tidak sempat bertemu kakek.
Perkawinan ibu dengan bapak saya, pernah secara selintas disebut Ibu sebagai salah satu caranya untuk keluar dari rumah. Barangkali tidak sepenuhnya begitu, faktor cinta mestilah jadi salah satu alasannya. Tapi cinta ini pun tidak sepenuhnya membebaskannya. Bapak saya cuma seorang pria luar biasa miskin di awal pernikahannya. Bapak pekerja keras, bertanggung jawab, tapi juga tampaknya agak tidak sabaran. Sifat dan pandangan bapak dan ibu saya pun jauh sekali berbeda. Perbedaan itu tetap ada, bahkan sampai lebih dari 20 tahun masa pernikahan mereka berjalan dan terus menimbulkan friksi.
Jalan kehidupan ibu saya agaknya mempengaruhi benar karakternya. Saya mengenal ibu saya sebagai orang yang cukup kasar dan getir. Ketika suatu hari Bapak saya bercerita; "Ibu itu dulu orangnya riang dan gemar menyanyi", saya cuma membatin, apa iya?
Saya memang tidak terlalu mengenal ibu saya. Saya lahir atas permintaan Bapak sehingga Bapak yang lebih banyak mengurusi saya. Seingat saya, ibu bekerja di kantor dari pagi sampai sore kemudian pulang dan menghabiskan waktu dengan televisi. Bapak saya lah segalanya. Beliau pusat kehidupan saya. Beliaulah sumber kekuatan saya.
Di masa itu, ketika ditanya apakah saya sayang kepada Ibu saya, saya akan memilih untuk diam. Saya pikir pada awalnya saya menyayangi ibu, persis seperti semua anak yang secara otomatis akan jatuh cinta pada Ibunya. Tapi seiring waktu, saya sadari kebencian saya terhadap Ibu yang semakin tumbuh. Ibu yang tidak mengurus saya. Ibu yang sibuk dengan urusannya sendiri. Ibu yang 'gemar' sekali menyakiti saya. Menyakiti bukan dalam hal fisik. Benar, ia sekali-kali mencubit atau memukul, tapi jarang sekali terjadi. Namun kata-katanya jauh lebih menyakitkan dan membekas lebih lama dalam hidup saya. Menghardik, mengomel, berjengkit--itulah sikapnya dalam menghadapi kelakuan masa kecil saya.
Kalimat paling menyakiti yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup adalah "Jadi anak bisanya menyusahkan orang tua aja!". Kalimat itu diucapkan dengan wajah murka, pandangan benci dan sesekali dengan intonasi tinggi. Diucapkan saat saya pipis sembarangan, membangunkannya di tengah malam karena ingin buang air besar, ketika saya minta diantar ke sekolah (padahal bisa naik angkot sendiri) atau ketika saya menangis saat permintaan saya ditolak, juga di saat2 lainnya dimana seorang anak kecil yang belum bisa berkompromi meminta perhatian orang tuanya.