Mohon tunggu...
Hairi Cipta
Hairi Cipta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah menyukai blogging dan desain grafis anda dapat menghubungi saya via email: cipta.hairi@gmail.com dan silakan singgah ke blog pribadi saya: hairicipta.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konflik Israel-Palestina Menurut Kacamata Sejarawan Israel

28 Juli 2017   15:06 Diperbarui: 25 September 2020   19:54 2401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perubahan peta Israel sebelum dan sesudah Perang 6 hari. Sumber gambar: news.bbc.co.uk

Hingga saat ini, konflik antara Israel dan Palestina masih terus berlangsung. Yang pertama adalah sebuah negara yang lahir atas sebuah keprihatinan terhadap 'suatu' ras yang tertindas. Sedangkan yang kedua adalah negara merdeka yang dipaksa untuk merelakan tanahnya untuk didiami oleh yang pertama.

Beberapa hari terakhir, gesekan antara Israel dan Palestina sempat memanas dipicu dengan dipasangnya detektor logam di Masjid Al-Aqsha. Walaupun pada akhirnya, Israel membongkar detektor logam tersebut dan menggantinya dengan kamera pengintai.

Bagaimana awal mula perseteruan Israel dan Palestina? Tulisan singkat ini akan mengemukakan sedikit gambaran bagaimana mengenai hal tersebut. 

Beberapa waktu yang lalu (6 Juli 2017), penulis sempat mengikuti kuliah umum bersama Prof. Avi Shlaim, penulis sejumlah buku bertemakan perpolitikan Israel dengan negara-negara sekitarnya. Beliau adalah seorang sejarawan berkebangsaan Israel yang merupakan Profesor Emeritus dari University of Oxford.

Penulis tertarik mengikuti kuliah karena ingin mengetahui bagaimana pendapat seorang akademisi berkebangsaan Israel dan keturunan Yahudi (dan lebih khususnya Yahudi dan Arab) terkait konflik yang terjadi di negaranya.

Kuliah umum ini berlangsung di Kyoto University, Jepang dan bertajuk  "The 50th Year after the Occupation 1967" ("50 tahun setelah Pendudukan tahun 1967")

Prof. Avi Shlaim (tengah) / dokumentasi pribadi
Prof. Avi Shlaim (tengah) / dokumentasi pribadi
Kuliah diawali dengan pengenalan siapa sebenarnya bangsa Yahudi itu. Apa yang beliau jabarkan menunjukkan bahwa Yahudi bukan sekedar entitas tunggal suatu bangsa yang mendiami suatu wilayah tertentu di dunia. 

Mereka sudah sejak lama membaur dengan bangsa-bangsa lain yang menjadi mereka sebagai bangsa yang multi-entitas. Sebut saja Yahudi Arab misalnya. Mereka sudah terbiasa di lingkungan yang heterogen dan bergaul serta bersosialisasi dengan suku atau bangsa yang berbeda.

Di masa-masa kejayaan Utsmaniyah (yang berpusat di wilayah yang ditempati negara Turki), menurut narasumber, kondisi di Timur Tengah cenderung lebih damai. Utsmaniyah menaungi wilayah yang sangat luas dengan berbagai entitas di dalamnya.

Gesekan-gesekan seperti yang terjadi sekarang justru tidak banyak terjadi. Nasionalisme lah yang memecah belah mereka sehingga setiap 'bangsa' mulai menegaskan entitasnya masing-masing.

Ibaratnya hanya ada hitam dan putih, jika bukan bagian dari bangsa mereka maka entitas lain tersebut adalah musuh. Terutama setelah runtuhnya Utsmaniyah dan negara-negara barat yang membagi-bagi teritori di Timur Tengah untuk mereka kuasai. 

Warga Muslim memilih untuk sholat di luar Masjid AL-Aqsha sebagai bentuk protes terhadap pemasangan detektor logam; Foto: Abdullah Nakamura Satoshi
Warga Muslim memilih untuk sholat di luar Masjid AL-Aqsha sebagai bentuk protes terhadap pemasangan detektor logam; Foto: Abdullah Nakamura Satoshi
Sejak mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1948, yang merupakan hadiah dari Inggris atas keprihatinan terhadap bangsa Yahudi yang tertindas, pasukan militer Israel memiliki tugas utama untuk mempertahankan Israel dari serangan negara-negara Arab di sekitarnya. 

Narasumber pernah bertugas pada tahun 1960an sebagai pasukan militer dan menjaga wilayah Israel yang berbatasan dengan Yordania. Coba saja kita bayangkan bagaimana sebuah negara kecil yang baru terbentuk harus berjaga-jaga untuk mempertahankan wilayahnya yang dikepung negara-negara Arab yang tidak mengakui keberadaan negara mereka. 

Tahun 1967, terjadilah "perang 6 hari" yang melibatkan Israel yang berhadapan dengan koalisi negara-negara Arab. Perang ini membuat Israel berhasil menduduki beberapa wilayah musuh, yaitu Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan.

Pasca perang ini, Israel merasa kekuatannya tidak kalah dengan negara-negara lain. Hal ini membuat perubahan yang sangat signifikan pada strategi politik dan militer Israel. Awalnya mereka hanya melakukan strategi bertahan, pasca perang ini mereka mengubah strategi menjadi menyerang. 

Perubahan peta Israel sebelum dan sesudah Perang 6 hari. Sumber gambar: news.bbc.co.uk
Perubahan peta Israel sebelum dan sesudah Perang 6 hari. Sumber gambar: news.bbc.co.uk
Prof. Shlaim mengatakan berulang-ulang bahwa beliau menyayangkan adanya perubahan pada strategi militer Israel setelah tahun 1967. Di mana belakangan strategi menyerang lebih mendominasi dibanding bertahan.

Dari pendapat beliau, dan secara terang-terangan beliau mengakui bahwa posisi beliau dalam konflik ini adalah berseberangan dengan sikap dari pemerintah Israel. Fakta yang ada memang menunjukkan para akademisi masih berbeda pendapat terkait politik Israel. 

Fakta memang menunjukkan bahwasanya pasca 1967, teritori Israel terus diperluas dengan mencaplok tanah Palestina yang terus terjadi hingga 50 tahun di tahun ini. Itulah mengapa "50 tahun" menjadi topik dari kuliah umum ini. 

Narasumber mengatakan, selama 50 tahun tersebut, tidak ada upaya yang serius dari komunitas internasional untuk menghentikan "penjajahan" tersebut. Beliau berpendapat, penyelesaian konflik di sana harus melibatkan pihak ketiga. Beliau nampaknya masih berharap Amerika Serikat bisa menjadi kunci penyelesaian konflik. 

Namun, dengan naiknya Donald Trump sebagai presiden, beliau menjadi pesimis perdamaian itu akan bisa dicapai dalam waktu dekat. Beliau meyakini bahwa perdamaian untuk kedua negara tadi hanya dapat dicapai dengan menjadi Israel dan Palestina yang berada di bawah satu bendera (satu negara) dengan kesamaan hak untuk semuanya. 

Tidak banyak informasi yang bisa penulis sampaikan pada tulisan ini. Namun penulis sangat berharap tulisan ini bisa bermanfaat untuk melihat dari sudut pandang lain mengenai konflik Israel-Palestina. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun