Mohon tunggu...
Andika Chandra Prasetyo
Andika Chandra Prasetyo Mohon Tunggu... -

Adaptive, nerd, dreamer, imaginative, kind, adventurous

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Stupid Backpacking : Goin' Where The Wind Blows #3

28 September 2010   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:54 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sambil meneguk air kopi yang tersisa, saya menawari mereka berdua (abang B dan C) rokok.
"Rokok mas!!?", tawarku sambil menyulut satu rokok.
"Oh iya mas", kata abang B sambil mengambil satu rokok kemudian menyulutnya.
"Masnya musafir ya??!!", tanyanya.
"Hehh...", kataku gak ngeh.
"Musafir", katanya lagi.
"Owh..iya..orang yang pergi-pergi ya ?!!", jawabku.
"Iya.", katanya lagi.
Kemudian kita ngobrol, sambil sesekali si abang B dan C menawarkan barang dagangannya yang berupa bunga-bunga plastik yang potnya diberi cahaya lampu yang banyak dijual di pasar-pasar malam. Ada beberapa Ibu-ibu yang tertarik dan membeli. Sementara itu, si abang A terlihat mau merapikan dagangannya.
"Masnya tidur dimana ?", tanya si abang B.
"Ni rencana sich mau tidur di warnet mas", jawabku.
"Owh...tidur di mushalla terminal aja mas", katanya.
"Terminal ?!! Emang disini ada terminal ya ?", balasku.
"Ada. Terminal yang buat bis-bis wisata", jawabnya.
"Owh...yang disitu ya. Saya liat tadi", kataku sambil menunjuk arah terminal.
"Iya bener", katanya lagi.
"Ikut kita aja mas. Saya juga tidur disitu kok", sambung si abang C.
"Wah...boleh juga tuh. Tapi gak papa kan ya ?!", tanyaku lagi.
"Ya gak papa mas. Disitu emang tempatnya musafir-musafir. Banyak kok yang tidur disitu", kata si abang B.
"Iya mas. Ikut temen saya aja. Dia orang situ kok", kata si abang A.
"Iya dech. Daripada tidur di warnet.", kataku sambil tersenyum.
"Ya udah, ni kita mau kesitu mas. Ayo, sekarang aja", kata si abang B sambil membereskan dagangannya.
"Ya", kataku sambil menggendong tas ransel saya.
Selesai beres-beres, saya pamitan sama abang A.
"Mas, saya pergi dulu. Makasih banget ya mas.", kataku sambil menjabat tangannya erat.
"Iya mas. Sama-sama", katanya sambil menerima jabatan tangan saya erat dan tersenyum.
Saya pun pergi mengikuti si abang B dan C yang berasal dari Madura juga. Tapi sebelumnya, mengembalikan gelas kopi di warung seberang jalan.

Sambil berjalan menuju terminal, kita mengobrol.
"Mas dari mana ??", tanya si abang C.
"Ni dari Semarang mas. Kuliah disana, tapi aslinya Tegal", jawabku panjang.
"Owh...baru kali ini ke Surabaya mas ?", tanya si abang B.
"Iya...baru kali ini nich", jawabku sambil tersenyum.
"Kalo musafir-musafir emang banyak yang tidurnya disitu mas", ulangnya.
"Iya ya mas ?!! Gak tau saya", balasku.
"Tapi bukannya musafir itu biasanya makannya dari ngambil sisa-sisa makanan orang ya mas ?? Ngorek-ngorek sampah gitu !?", tanya si abang C.
"Hah...masa sich mas ?!! Saya malah gak tahu tuh", kataku kaget.
"Iya mas, banyak kok yang nyari sisa-sisa makanan di situ", kata si abang B.
"Owh...", gumamku pelan sambil termenung.
Satu lagi kenyataan hidup yang saya ketahui.

Kita mengobrol terus sambil jalan. Sampai di terminal.
"Nanti masnya tidur disana aja mas, di mushalla terminal", kata abang B sambil menunjuk mushalla.
"Iya mas...", kataku.
Kemudian kita ke mushalla, dan benar saja. Ternyata ada dua orang yang sedang mengais-ngais sampah, berusaha mencari sisa-sisa makanan.
Deggg... Saya benar-benar terkejut. Ternyata benar apa kata si abang B. Tapi si abang B dan C terlihat biasa-biasa saja, sepertinya hal-hal seperti itu sering sekali mereka lihat.
"Ehh... Ternyata pintu mushallanya dibuka mas !!?. Padahal biasanya ditutup lho", kata si abang B.

Kemudian saya masuk mushala, sambil mencari stopkontak tempat mencharge hp saya. Karena stop kontak di dalam mushala mati, saya kemudian meminta tolong abang B dan C.

“Mas, bisa ikut nge-ces gak ?! disini colokannya gak bisa”, tanyaku ke mereka.
“Owh, bisa mas. Tapi di tempat saya jualan mas”, kata si abang B.
“Ya gak papa mas. Dimana ?!”, balasku
“Ayo mas”, kata si abang B
Saya pun mengikuti mereka berdua ke tempat mereka berjualan .
“Ces di sini mas”, kata si abang B sambil meminta hp ku.

Kita lanjutkan obrolan kita disini. Sementara itu abang C pergi ke mushalla untuk shalat.
Setelah ngobrol saya pun berpamitan untuk tidur.
“Mas… saya tidur dulu yah.. Udah capek..”, kataku.
“Owh…iya mas..lha ini, hp-nya ??”, balas si abang B.
“Mmmmm..tinggal dulu aja mas. Besok aja saya ambil”, kataku.
Saking percaya kalau mereka adalah orang baik, saya sama sekali tidak menaruh curiga sekalipun kepada mereka.
“Ya udah,,saya tidur dulu mas..mariii”, kataku lagi.
“Iya mas…silakan”, balasnya
Sayapun menuju mushalla tempat saya akan terlelap nanti. Berpapasan dengan abang C, saya tersenyum sambil bilang “Tidur dulu mas….ngantuk nich…”
“Owh iya…silakan mas”, katanya.

Di dalam mushala, sebelum tidur, saya sempatkan menulis kisah perjalanan saya ini di buku catatan saya.
Lagi asik menulis, tiba-tiba datang pria tua berpakaian lusuh di depan mushala.

“Pak…”, sapa saya sambil tersenyum
“Di dalam aja pak tidurnya.. Diluar dingin”, kataku lagi.
“Gak papa. Saya cuma pengen istirahat. Capek bapak.”, balasnya.
“Owh… emang dari mana pak”, tanya saya basa-basi.
“Saya ini dari Cirebon nak. Jalan kaki 7 bulanan ngunjungin masjid-masjid sunan”, balasnya.
“Hahh… jalan kaki pak ?!”, tanya saya sambil menegakkan badan.
“Iya”, katanya lagi.
“Wah….gimana ceritanya tuh pak ?!”, tanyaku tertarik sambil meletakan buku catatan dan bolpoint ke dalam tas.
Sayapun keluar dan berjabat tangan dengan bapak itu.
“Saya Dika, pak”, kata saya.
Saya baru sadar sekarang, kalau saya belum tahu namanya. Karena dia gak bilang apa-apa sewaktu saya jabat dan sebutkan nama saya.
“Ceritain dong pak, perjalanan-perjalanan bapak !?”, pintaku.
“Ya saya jalan kaki aja dek, dari Cirebon”, jawabnya singkat.
“Masjid-masjid yang udah dikunjungin mana aja pak ?!”, tanyaku lagi.
“Banyak dah… Masjid Kubah Emas di Depok sudah pernah. Masjid Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, semua masjid Sunan sudah semua. Terakhir masjid di bangkalan madura.”, jawabnya.
“Itu semua jalan kaki pak ?”, tanya saya masih tak percaya.
“Iya… Lihat kaki saya.”, katanya sambil menunjukan kakinya.
Saya lihat kakinya hitam legam, tapi sepertinya keras. Otot-otonya terlihat menonjol keluar. Banyak “kapal” di telapaknya.
“Wah… masjid yang bagus menurut bapak dimana ?”, tanya saya lagi.
“Di Bangkalan Madura. Itu yang paling bagus”, katanya.
“Wah… saya lapar nich.. belum makan dari kemarin”, lanjut si bapak lagi.
“Mmmm…mau saya beliin pak ?!”, tanya saya hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
“Alhamdulillah. Kalo gak ngerepotin dek”, kata si bapak.
“Gak papa pak. Sebentar ya pak”, kata saya sambil berlari menuju warung terdekat.

Saya bungkuskan nasi rames dengan telor dan sebungkus teh manis hangat.

“Ini pak. Maaf, seadanya.”, kata saya.
“Gak papa dek. Ni juga alhamdulillah banget. Makasih ya dek”, kata si bapak lagi.
“Iya pak.. silakan makan pak”, kataku.
“Saya makan ya dek..”, katanya.
Sambil makan bapak itu bercerita,
“Saya itu udah capek. Pengen banget pulang. Tapi belum ada duitnya. Kangen saya sama anak saya.”, kata si bapak.
“Owh…. Cirebon ya pak ?! Emang berapa pak, biaya ke sana ?!, tanyaku.
“Iya… Biayanya sich 45 rebu. Saya baru punya 25 rebu”, kata si bapak lagi.
“Owh… anak bapak sekarang dimana ?”, tanyaku lagi.
“Ada yang masih kecil, ada yang udah nikah.. Kangen saya sama mereka. Soalnya kemarin-kemarin itu saya mimpi yang gak enak tentang mereka. Jadi takut mereka kenapa-kenapa”, lanjut si bapak bercerita.
“Mmmm… emangnya bapak ngelakuin perjalanan kayak gini itu tujuannya apa pak awalnya ?!”, tanyaku penasaran.
“Ya buat anak-anak saya. Saya kepengen anak-anak saya sukses, gak ada yang hidup susah kayak saya. Jadi saya pergi ke makam-makam sunan buat ngedoaian mereka juga.”, jawab si bapak.

Mendengar jawaban si bapak, saya terharu. Ternyata kasih sayang orang tua itu benar-benar luar biasa. Demi kesuksesan anak-anaknya (yang gak tau, apakah anak-anaknya bakalan tetep inget orang tua mereka atau tidak), bapak ini rela berjalan kaki selama 7 bulanan mengunjungi masjid-masjid dan makam-makam sunan untuk berdoa.

“Mmmm…semoga do’a nya terkabul ya pak…”, kataku.
“Terus, rencananya bapak mau pulang kapan ?!”, tanyaku
“Yah…kalau bisa sich secepatnya dek.. Perasaan saya udah gak enak”, jawab si bapak.
“Adek ini anak orang kaya yah ?!”, tanya si bapak.
“Hah ?!! Aku ?! Gak pak!! Biasa aja kok!! Kalo kaya mah saya tidur di hotel kali pak!!”, jawabku sambil setengah tertawa.
“Gak!! Soalnya keliatan dari auranya.. Aura orang kaya!!”, kata si bapak
Saya hanya bisa tersenyum mendengarnya.
“Kalau jadi orang kaya, jangan lupa sama orang kecil dek!! Biasanya orang kalau udah diatas suka lupa ama yang di bawah.”, kata si bapak menasihati.
“Iya pak”, jawabku.
“Adek ini masih kuliah atau udah kerja ?”, tanya si bapak
“Saya masih kuliah pak. Kebetulan sebentar lagi mau ujian skripsi.”, jawabku.
“Kalau mau ujian itu do’a dulu dek. Kalo bisa, puasa senin-kamis.”, kata si bapak menasihati lagi.
“Iya pak”, jwabku
“Baca do’a gini dek.”, kata si bapak.
“Sebentar pak, saya ambil buku dulu”, kataku sambil masuk ke dalam mushala mengambil buku catatan dan bolpoint.
“Gimana pak do’anya ?!”, tanyaku.
“”, kata si bapak mengeja pelan-pelan.
“Itu doa dibaca kapan pak ?!!”, tanyaku.
“Yang satu dibaca habis shalat Isya dan satunya dibaca habis shalat shubuh sebelum ujian. Dibaca 1000 kali dek.”, katanya.
“Hah…1000 kali pak ?!”, tanyaku kaget.
“Iya…kan gampang. Pendek kok!!”, kata si bapak.
“Hehe… Iya dech pak”, jawabku tersenyum.
“Sebentar dek… saya mau cuci tangan dulu ya”, kata si bapak setelah selesai makan.
Waktu si bapak pergi, saya berpikir, “Aduh…bantu gak yah ??!! Pengen bantu, tapi duit saya juga tipis. Gimana yah ?!!”

Tapi kemudian saya masuk ke dalam mushala dan mengambil beberapa lembar uang dari dompet saya di dalam tas.
Kemudian bapak itu kembali.
“Oh ya nak.. Kalau tidur di dalam aja. Hati-hati, disini ada homo”, kata si bapak.
“Hah!!! Masa pak ?!!”, tanyaku setengah tak percaya.
“Iya… ni anak-anak kecil kalo tengah malem gitu sering di isepin kon***nya ama si homo”, kata si bapak sambil menunjuk anak-anak kecil yang tidur di luar mushala.
“Pokoknya orangnya itu yang matanya buta satu, terus rambutnya putih. Biasanya disini. Owh itu orangnya!!!”, lanjut si bapak sambil menunjukan si homo dengan menggunakan kepalanya.
“Owh…. Serem banget!! Emang disini banyak homo ya pak ?!”, tanyaku.
“Wah…di Surabaya tuh hati-hati dek!!! Di semua kota yang pernah saya kunjungin, Surabaya itu yang paling banyak homonya. Kalau gak percaya, saya bisa ngajak adek ke ***** (nama tempat, dan saya lupa :P) . Disitu banyak banget homo. Dan semuanya bebas mesra-mesraan.”, kata si bapak.
“MMmmmm..gak dech pak. Makasih..”, balasku.
“Palingan bentar lagi tuh homo ngisepin kon***nya anak-anak kecil itu. Biasanya kalo udah sepi.”, kata si bapak.
“Anjrit!! Serem banget”, pikirku.
Ada anak kecil yang menggeliat, kemudian terbangun.
“Dek,,,tidurnya di dalam aja sana”, kata si bapak menyuruh anak kecil itu.
Tapi anak kecil itu cuma diem aja, sambil ngegelengin kepalanya kemudian melanjutkan tidurnya.
“Wah…. Bahaya juga yah pak disini !!?”, kataku
“Iya dek.. yah, hati-hati aja.”, kata si bapak.
“Ya udah dech pak… Saya tidur dulu ya.. Besok harus bangun pagi-pagi soalnya.”, kataku.
“Iya dek..tidur di dalem aja”, kata si bapak.
“Mmmm… Ini pak, semoga bisa bantu bapak pulang..”, kataku sambil menyelipkan uang ke tangannya sambil berjabat tangan.
“Alhamdulillah..Alhamdulillah Ya Rabbal Alamin.. Makasih banget dek”, kata si bapak mengucap syukur.
“Saya juga makasih pak. Makasih buat ceritanya ya pak”, kataku sambil tersenyum dan masuk ke dalam mushalla.

Malam itu saya benar-benar merasa bahagia. Saya merasa semua yang saya lalui saat ini adalah keajaiban. Benar-benar ajaib.
Teringat si homo yang ada di samping mushala, saya menutup pintu mushala rapat-rapat.
Saya mencoba tidur beralaskan tas ransel saya, menutup mata saya dengan kupluk.
Tak lama, saya sedikit tersadar, tepat ketika itu, saya sedang menghadap tembok mushala yang terbuat dari kaca. Terlihat dari dalam, si homo yang sepertinya sedang melihat ke arah dalam mushala dan sepertinya tadi saya sempat bertatap-tatapan mata dengannya. Dan itu benar-benar menyeramkan. Mata yang kiri buta, hanya terlihat putihnya saja. Bener-bener dah!!! Tidur dengan perasaan was-was takut digerayang homo yang ada disamping saya hanya dibatasi tembok kaca saja!!! Edan!!!
Saya langsung menutup mata saya menggunakan kupluk, tapi penasaran juga dengan kata si bapak. Siapa tahu si homo itu nanti ngisepin kon*** anak-anak kecil itu. Makanya, terkadang saya menengok ke samping sambil memicingkan mata saya melihat, siapa tahu si homo sedang beraksi. Tapi, akhirnya saya tak melihatnya, gara-gara tertidur juga.

Next : Stupid Backpacking : Goin' Where The Wind Blows #4

nb : Maaf kalo ada kata2 yang vulgar, saya cuma bercerita apa adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun