Cerita Sebelumnya.. Klik DISINI
Diatas angkot, saya benar-benar tidak tahu kemana angkot akan membawa saya. Berhubung ongkos naik angkot jauh dekat sama saja, 3000 perak (tertulis di angkot), saya putuskan akan berhenti di tempat yang kira-kira menarik untuk dikunjungi. Terus....teruss....angkot berjalan terus... Ada yang menarik, saya perhatikan setiap penumpang yang turun dan membayar pasti diselingi ucapan terima kasih dari penumpang. Terus...terussss....masih belum turun juga. Sampai saya lihat menara masjid yang tinggi menjulang. Wahh.. "Cari masjid dulu dech, hampir waktu shalat Maghrib", pikirku. Terus...terussss...angkot terus berjalan, sambil saya lihat kanan kiri keberadaan masjid itu. Kemudian saya lihat gerbang "Kawasan Wisata Religi Ampel" (seingat saya tulisannya gitu). "Wahh...berarti menara tadi jangan-jangan Masjid Sunan Ampel", pikirku lagi. Teruss...teruss...angkot masih berjalan, dan saya belum memutuskan berhenti. Dijalanan banyak lelaki yang bersarung ria dan perempuan yang membawa mukenah berjalan ramai-ramai menuju masjid. Sampai saya melihat keberadaan masjid yang saya kira adalah Masjid Sunan Ampel akhirnya saya putuskan berhenti. "Kiri bang!!", kataku sambil menyerahkan uang 3000.
Saya-pun berjalan menuju masjid itu. Iseng-iseng bertanya ke lelaki bersarung yang juga sedang menuju ke masjid itu,
"Mas, ini Masjid Sunan Ampel ya ?", tanyaku sambil berjalan mengiringinya.
"Bukan mas. Masjid Sunan Ampel tuh disana", katanya sambil menunjuk ke arah jalan yang tadi di lewati angkot.
"Owh..kirain ini mas", balasku.
"Bukan", katanya sambil berlalu.
Sampai di masjid, saya letakkan tas saya. Handphone dan mp3 saya masukan ke dalam tas. Kancing kemeja saya kancingkan. Celana jeans saya gulung ke lutut. Buang air kecil terus saya ambil wudhu. Kemudian saya ambil tas saya dan masuk ke masjid. Ternyata orang sini ramah-ramah.
"Tasnya taruh di depan mas", kata salah satu dari mereka pelan sambil tersenyum.
"Iya pak", balasku sambil tersenyum.
Iqamah dikumandangkan. Orang-orang berdiri dan bersiap menunaikan shalat Maghrib. Setelah selesai shalat, saya melanjutkan perjalanan saya.
Jalan kaki menyusuri pinggiran jalan sambil menikmati suasana malam.
Kemanapun angin berhembus
Menuntun langkahku
Memahat takdir hidupku disini
-Kemanapun Angin Berhembus.Padi-
Di pinggir jalan berjejeran pedagang kaki lima, dari pedagang aksesoris sampai penjual makanan. Menyeberang jalan, menuju masjid Sunan Ampel. Saya tertarik mencoba satu makanan khas daerah Sunan Ampel (katanya si abang penjual). Gule Lontong Maryam. Tertulis seperti itu di gerobak. Saya pesan satu, dengan teh manis tentunya.
"Mas, pesen satu ya", pintaku ke si abang penjual.
"Iya mas", katanya.
"Pake maryamnya berapa mas?!",kata si abang lagi.
"Maryam itu apaan mas?!", tanyaku.
"Ini lho mas, kayak roti gini", katanya sambil menunjukan lembaran-lembaran roti maryam.
"Owh..satu aja dech mas", balasku.
Mau tahu rasanya ?!!
ANEH!!!
Pertama makan, "hmmm...", sambil mencoba menikmati rasanya. Terus...teruss... "kok aneh ya?!!kek ada butiran-butiran apa gitu?!!", pikirku.
Setelah saya lihat dan perhatikan, ternyata isi dari gule lontong maryam itu, kuah n isi seperti gule umumnya, ditambah lontong, suwiran roti maryam (bikin eneg), dan terakhir (ini yang aneh) KACANG IJO!!!. "Pantesan rasa gulenya jadi aneh banget", pikirku dalam hati. Lalu, saya tanya ke si abang penjual.
"Mas, ini kacang ijo ya ?", tanyaku.
"Iya mas, ini makanan khas Ampel mas", katanya.
"Apa mas ?", tanyaku balik nggak ngeh.
"Makanan khas Ampel. Ampel tuh daerah sini mas", katanya.
"Owh...", gumamku.
"Ini makanan penambah stamina pria lho mas !!", katanya berpromosi.
"Hee..iyalah mas, isinya aja kacang ijo ama daging kambing !!", selorohku.
"Iya mas. Orang arab disini banyak yang suka", katanya lagi.
"Owh..pantesan anaknya banyak-banyak ya mas ?!", kataku setengah bergurau.
"Hahaha..iya kali mas", jawab si abang sambil tertawa.
Selesai makan, saya bersantai sejenak sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Hari itu banyak juga yang wisata ziarah. Saya coba mengorek informasi dari si abang pedagang.
"Mas, masjid Sunan Ampel tuh dimana ya mas ?!", tanyaku.
"Ohh..masnya lurus aja (sambil nunjukin arah), terus kalo ada gerbang yang tulisannya Masjid Sunan Ampel, mas masuk aja!!", jawabnya.
"Lha, itu orang-orang pada mau kemana (sambil nunjuk)", tanyaku lagi yang keheranan melihat orang-orang pake baju muslim ke arah yang berbeda dari yang ditunjuk si abang.
"Ya sama mas, cuma lewat perkampungan gitu. Masuk-masuk gang. Nanti masnya malah bingung kalo lewat situ", jawabnya sambil senyum.
"Owh...Iya dech. Berapa nich mas ?!", tanyaku sambil nunjuk piring bekas makananku.
"Lima ribu lma ratus mas", balasnya.
"Ini mas...Makasih ya", kataku sambil menyerahkan uang pas.
"Iya mas, sama-sama", balasnya lagi.
Kembali saya melanjutkan perjalanan menuju masjid Sunan Ampel. Berhubung waktu shalat Isya hampir tiba, maka saya mempercepat langkah kaki saya. Terus berjalan...terussss... Banyak orang berjualan di sisi kanan kiri gank masuk masjid. Baju-baju muslim, kopiah, kerudung, makanan, aksesoris, dan lain-lain. Akhirnya sampai juga. Saya simpan mp3, handphone saya ke dalam tas. Seorang anak kecil menghampiri saya.
"Mas, plastik mas. Buat naruh sandal di dalem", katanya menawarkan saya kantong kresek.
"Berapaan de ?!", kataku.
"Lima ratusan mas", balasnya.
"Nich...",kataku sambil menyerahkan uang seribuan.
"Buat ade semua dech", lanjutku ketika melihatnya mengambil uang kembalian saya.
"Makasih mas", katanya lagi.
"Iya..", jawabku sambil senyum dan berlalu.
Kumasukan kedalam saku kantong kresek itu, "Siapa tahu nanti bisa di pake..", pikirku.
Setelah mengambil air wudhu, saya memasuki masjid dari pintu samping masjid (pintu depannya lewat mana ya??bener-bener gak tau saya!!). Celingak-celinguk sana sini, ternyata penampilan saya yang paling kucel. Celana jeans yang bawahnya sudah rusak, kemeja gombrong, dan badan yang berkeringat. Lainnya ?!!. Pake baju muslim rapi jali!!!.
Iqamah dikumandangkan, saya berdiri dan menaruh backpack saya di depan saya.
Selesai shalat Isya, iseng-iseng saya berjalan di sekitaran wilayah Sunan Ampel ini. "Sekalian nyari tempat penginapan", pikirku. Terus...terusss... Saya berjalan terus sambil sesekali beristirahat di pinggiran trotoar tempat pedagang kaki lima. Melewati Alfamart, kemudian saya masuk dan membeli sabun mandi dan pasta gigi tentunya. Terus...terusss... Saya berjalan terus sambil melihat-lihat, siapa tahu ada penginapan murah meriah. Ternyata, setelah berjalan sana-sini dan tanya sana sini, rata-rata biaya penginapan paling murah adalah 45 ribu, itupun kebanyakan sudah penuh. "Wahh...alamat tidur dipinggir jalan nich", pikirku dalam hati. Saya terus mencari, dan menemukan warnet 24 jam. "Mendingan tidur di warnet aja apa ya ?? Lagian warnetnya pake bilik gitu", pikirku. Dan kebetulan memang warnetnya berbilik. Dan saya pun memutuskan untuk tidur di warnet.
Tenang gara-gara sudah menemukan tempat untuk tidur, sayapun melanjutkan perjalanan saya mengelilingi daerah wisata ini. Ternyata bukan jarak yang pendek untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Sekitar satu setengah jam berjalan kaki, akhirnya saya kembali lagi ke tempat semula. Masjid Sunan Ampel. Badan terasa lengket oleh keringat. Saya pun memasuki masjid lagi untuk mencari kamar mandi. FYI, biasanya di daerah wisata seperti masjid-masjid Sunan itu ada kamar mandi yang bisa digunakan untuk mandi (bukan sekedar buang air besar atau kecil). Kok tau ?!!. Inget waktu berkunjung ke masjid Sunan Kudus, masjid Sunan Muria, semuanya ada tempat mandinya.
Dan benar saja, memasuki wilayah makam, ternyata ada kamar mandi yang bisa digunakan untuk mandi. Dan kali ini saya benar-benar mandi dengan kondisi normal. Alias pake sabun mandi. Bukan FACIAL FOAM!!!.
Selesai mandi, saya kembali berjalan menyusuri pinggiran trotoar. Perut yang mulai meronta kembali minta diisi. Untung saja dipinggir jalan ada penjual Pentol (sejenis gabungan bakso + cilok yang berukuran besar). Kok tahu namanya pentol ??. Iya, saya tahu dari teman saya. Beli yang ukuran besar 2, dan kecil dua (5000 perak. 4000 buat yang besar, dan 1000 untuk yang kecil). Sambil beristirahat di pinggir jalan (maksud pinggir jalan disini adalah trotoar, dan biasanya di trotoar kan ada tempat duduknya), saya menikmati pentol. Disamping saya, ada pedagang kaki lima yang sedang menjajakan senter, dan korek api gas super gede. Iseng -iseng saya bertanya.
"Mas", sapaku.
"Ehh..iya mas", balasnya.
"Mas, disekitaran sini ada hotel yang murah gak ya ?", tanyaku.
"Wah..saya gak tau juga sih mas", jawabnya dengan logat madura yang khas.
"Tadi saya muter-muterin daerah sini mahal-mahal semua, mas", kataku.
"Owh iya mas. Ada sich yang murah, tapi bukan disini. Jauh. Sekitar lima puluh ribuan", katanya lagi.
"Kalo segitu sich, disini juga sama mas. Lima puluh ribuan. Cuma, lagi penuh semua mas", kataku lagi.
"Owh gitu yah. Saya juga gak paham sich mas", katanya.
"Baru ke Surabaya ya mas ?", tanyanya.
"Iya mas. Baru kali ini. Sendiri lagi. Terus gak ada temen lagi.", jawabku.
"Emang dari mana mas ?", tanyanya lagi.
"Ini dari Semarang mas", jawabku.
"Asli Semarang ?", tanyanya
"Nggak. Aslinya Tegal, kuliah di Semarang mas", jawabku.
"Mas asli Madura ya ?", saya balik bertanya.
"Iya. Tapi udah lama di sini mas", katanya dengan logat kental madura.
"Owh...", gumamku.
Sambil mengobrol, terkadang si abang menawarkan barangannya kepada orang-orang yang lewat.
"Ya...senter bu..senter..bisa dices lho!!", promosinya.
Terkadang ada yang tertarik, kemudian menawar.
"Berapa mas ?", kata Ibu-ibu sambil memegang senternya.
"Tiga puluh ribu aja bu, bisa dices lho", balasnya sambil tetap berpromosi.
"Wah...kemahalan mas", kata si Ibu lagi.
"Ya bisa kurang kok bu.", kata si abang.
"Ahh..gak dech..", lanjut si Ibu sambil berlalu.
"Dua puluh dech bu", si abang masih berusaha.
"Susah ya mas ?!! Udah ada penglarisnya mas ?", tanyaku hati-hati.
"Iya mas. Susah banget. Belum ada penglarisnya juga mas", jawab si abang.
"Yah...nyari duit emang susah ya mas ?!", kataku sotoy.
"Susah..susah banget mas. Nyari duit buat makan sehari-hari aja susah banget mas", kata si abang.
"Ginilah hidup mas. Butuh perjuangan. Yah, masnya sich enak, masa depan terjamin", lanjut si abang.
"Yah, gak tau juga mas. Sekarang mah banyak juga sarjana-sarjana yang nganggur", jawabku.
"Iya, tapi enak. Mereka bisa bermimpi jadi dokter, atau jadi apa lah. Lha, saya ini SD aja gak lulus mas. Mau bermimpi gimana ?", katanya.
Saya cuma bisa bengong sambil dengerin kata-katanya.
"Tapi, yah bukan maksud saya ngajarin masnya atau apa. Tapi kuncinya hidup itu cuma satu mas. Jangan pernah menyerah!!", lanjut si abang lagi.
"Betul mas, saya setuju", kataku sambil tersenyum.
Ada satu lagi calon pembeli yang datang.
"Berapaan nich mas ?", kata Ibu itu sambil mengambil korek gas raksasa.
"Sepuluh ribuan aja bu. Harga pas", kata si abang.
"Gak kemahalan tuh mas", kata si Ibu lagi.
"Waduh. Harga pas tuh bu", kata si abang sambil tersenyum.
"Yawda dech..", balas si Ibu sambil mengambil uang sepuluh ribu dari tasnya.
"Nich mas", lanjut si Ibu sambil menyerahkan duit.
"Makasih bu", kata si abang.
"Lumayan mas. Penglaris", kataku sambil tersenyum.
"Iya mas. Bisa buat makan anak istri", selorohnya.
"Owhh...udah punya anak istri ya mas ?!", tanyaku.
"Iya mas.", jawabnya singkat.
"Biasanya kalo udah nikah mah, bisa lebih hemat ya mas duitnya ?", tanyaku.
"Ya gitu mas. Lebih mikirin anak ma istri sich", katanya lagi.
"Iya yah. Lagian, anak kan emang bawa rejeki yah mas ?!!. Jadi nanti kita kerja jadi semangat gitu", kataku sotoy.
"Iya mas. Kan ada pepatah bilang. Ni bukannya mau ngajarin mas atau gimana ya mas. Cuma berbagi pengalaman hidup aja", kata si abang.
"Iya mas, saya suka kok", jawabku.
"Kan ada pepatah yang bilang. Asta nambah. Perhiasan nambah.", kata si abang.
"Tangan nambah, perhiasan juga nambah. Maksudnya, kalo kita berkeluarga, rejeki juga insyaAllah nambah mas", kata si abang.
"Betul banget tuh mas", jawabku sambil tersenyum.
Beneran dah, jangan pernah melihat SIAPA yang bicara!! Tapi lihatlah APA yang dibicarakannya.
"Sebentar mas. Saya nitip tas saya yah", kataku sambil menyeberang jalan.
"Iya mas", balasnya.
Saya membeli satu bungkus rokok di warung seberang jalan.
"Ni mas. Biar enak ngobrolnya", kataku sambil meletakan rokok.
"Wah, iya mas", katanya.
Kemudian saya mengambil korek gas yang ada di tas saya, dan mengambil satu batang rokok.
"Silakan mas", kataku sambil menyodorkan rokok dan menyulut satu rokok.
"Iya. Makasih mas", balasnya lagi.
"Ni ada kopi mas. Kita joinan aja ya. Tahu joinan gak mas ?!", lanjutnya.
"Hahaha...iya..tahu lah mas", kataku.
"Sebenernya saya itu gak ngerokok lho mas", lanjutku.
"Lho, kok sekarang ngerokok ?!", tanyanya bingung.
"He...anggep aja rokok perdamaian kayak di film-film indian mas", kataku setengah bercanda.
"Hee...Ya ini diminum mas kopinya", tawarnya lagi sambil tersenyum.
"Iya mas. Saya minum ya", kataku meminta ijin.
"Silakan mas", jawabnya halus.
"Jadi nanti masnya tidur dimana nich ?!!", tanyanya.
"Yah..rencana sich di warnet mas. Mau tidur di penginapan duit gak cukup", jawabku sambil tertawa.
"Owh..", gumamnya.
"Kalau tidur disini gimana mas ?!! aman gak yah ?", tanyaku.
"Kalau disini sich hati-hati aja sich mas. Tapi orang-orang disini pada sampe pagi kok", jawabnya.
"Pedagang-pedagang ini mas ?!", kataku sambil melihat sekeliling.
"Iya. Tapi kalau saya sih paling nyampe jam dua belasan", jawabnya.
"Tahu gak mas ?!! Kalo yang pake sepeda motor itu, pulang ke Jombang mas", katanya lagi.
"Yang itu mas ?! Berarti Jombang-Surabaya bolak balik mas ?", tanyaku sambil menunjuk pedagang pentol.
"Iya mas. Yah, itulah perjuangan hidup mas!!", katanya lebih lanjut.
Dalam hati saya berujar, "Wah..bener-bener dah. Saya ditunjukan langsung contoh perjuangan hidup".
"Nih mas kopinya di minum", tawarnya lagi.
"Iya mas", kataku sambil menyeruput kopi.
"Saya sich kalau berteman dengan siapa saja mas. Gak pilih-pilih. Siapa yang mau berteman, ya silakan saja. Yang penting gak ngajakin yang jelek-jelek", katanya lagi.
"Betul mas. Saya juga sebel kalau ada orang yang suka pilih-pilih temen", kataku sambil tersenyum.
Kita terus mengobrol, sampai akhirnya saya pesan satu gelas teh manis dari warung depan.
"Joinan lagi mas", tawarku sambil tersenyum.
"Haha...iya mas", balasnya.
Sampai kira-kira pukul sepuluh malam,
"Mas, saya ikut tiduran disini ya ?!", kataku.
"Oh ya,,silakan aja mas. Nanti kalau saya mau pindah saya bangunin", katanya.
"Makasih mas", kataku lagi.
Saya ambil tas saya, dan menggunakannya sebagai bantal. Pasang headset mp3 dan menyetel pelan lagu kesukaan saya.
The Stars lean down to kiss you
and I Lie awake and miss you
Pour me a heavy dose of atmosphere
Cause I'll dose off safe and soundly
But I'll miss your arms around me
I'd send a postcard to you, dear
Cause I wish you were here
-Vanilla Twilight.Owl City-
Terkadang saya terbangun, dan kemudian terlelap lagi. Sekitar pukul setengah dua belas, saya benar-benar terbangun. Ternyata ada dua orang teman si abang tadi. Biar gak bingung, saya sebut saja si abang pertama itu abang A, yang kedua (pakai peci) abang B, yang ketiga (masih muda, rambut jabrik, tampilan metal) abang C.
Mereka semua tersenyum kepada saya, sambil mengumpulkan kesadaran saya, saya tersenyum balik pada mereka.
Saya tidak pernah tahu, pertemuan saya dengan mereka bakal membawa "sesuatu yang berarti" untuk saya, dan mungkin juga bagi orang lain.....
-bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H