Judul artikel ini saya ambil dari bagian di salah satu buku yang akhir-akhir ini sedang saya baca. Buku tersebut berjudul The Power Of Language , di mana buku ini merupakan buku pengembangan diri yang penulisnya ialah Shin Do Hyun dan Yoon Na Ru.Â
Iya benar, buku ini ditulis oleh penulis dari Korea Selatan. Dimana negara tersebut adalah negara impian yang ingin sekali saya kunjungi selain dari Kota Mekkah.Â
Buku ini berisi tentang bagaimana cara kita supaya bisa lebih cakap dalam berbahasa dan berkomunikasi melalui kisah klasik Barat dan Timur untuk menarik perhatian banyak orang.Â
Tapi jangan salah, saya membaca buku ini bukan bermaksud untuk bisa menarik seseorang supaya tertarik kepada saya, tetapi saya ingin lebih memahami dan belajar lagi bagaimana sikap yang tepat ketika menghadapi suatu kondisi di kehidupan saya yang less sociable ini.
Saya membaca buku ini dikarenakan saya pikir cocok dan akan memberikan sedikit solusi akan apa yang sedang saya alami sekarang. Sejak lulus sekolah saya merasa lebih kurang berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar saya, lebih tepatnya orang-orang baru di sekitar saya. Ada rasa asing yang membuat saya kaget baik pada lingkungan maupun orang-orang disekitar saya, atau biasanya disebut dengan shock culture.Â
Saya juga membuat artikel ini bukan karena ingin mereview buku yang saya baca ini, dan merekomendasikan kepada kalian untuk membelinya, bukan ya. Tapi saya ingin men-sharing apa yang saya take it from the book to my life.
Jujur saya belum membaca buku ini secara keseluruhan, sejauh ini kira-kira seperempat halaman dari buku ini sudah saya baca. Namun ada bagian di dalam buku ini yang cukup menarik perhatian saya.Â
Bagian ini mengenai bagaimana itu sudut pandang. Biasanya kita mendengar kata sudut pandang ini ada di dalam sebuah kisah atau cerita. Para penulis biasanya menempatkan atau memposisikan dirinya di dalam cerita tersebut.Â
Namun Di buku ini penulis mengajak saya sebagai pembaca untuk bisa menempatkan sudut pandang diri saya sendiri di dalam kehidupan saya.Â
Penulis menyebutkan bahwa mengubah sudut pandang itu adalah sebuah keharusan, karena dunia hadir sesuai dengan sudut pandang, sesuai dengan apa yang kita lihat, meskipun dunia sendiri bersifat objektif, tetapi kita melihatnya secara subjektif.
Martin Buber (1965) seorang filsuf dan teolog Yahudi Austria mengatakan , "Tidak ada yang bisa menunjukkan dunia dengan cara lain selain cara dunia mengungkapkan dirinya sendiri kepada kita.Â
Karena itulah kita harus kembali kepada sudut pandang kita. Tak mungkin jika tidak ada pandangan tentang dunia ,dan bahkan jika itu mungkin itu adalah sesuatu yang tidak diinginkan".Â
Memang kata-kata di buku ini cukup berat untuk dipahami secara singkat, mungkin dikarenakan buku ini berhubungan dengan ajaran filsafat dari beberapa filsuf di berbagai negara dengan agama yang berbeda juga. Namun kutipan tersebut bermaksud bahwa tidak mungkin kita memandang dunia tanpa memiliki sudut pandang atau perspektif sendiri.
Lalu apa yang saya take from this part, sebelumnya saya tidak pernah berpikir mengenai sudut pandang diri saya terhadap kehidupan atau dunia yang saat ini saya jalani, tidak pernah terpikirkan mengenai pandangan saya tentang dunia sedikit pun.Â
Bahkan saya tidak yakin apakah ada atau tidaknya pandangan tersebut dari diri saya tentang dunia. Karena saya pikir saya hanya menjalaninya dengan seiring waktu, tanpa memahami hal tersebut.Â
Dan mungkin itu juga yang membuat saya sulit untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar saya. Yaitu karena tidak adanya sudut pandang atau perspektif terhadap apa yang sedang saya hadapi.
Saya selalu menyamaratakan segalanya, selalu diam tenang seperti merasa baik-baik saja padahal pikiran di kepala selalu berkecamuk , hanya selalu untuk berusaha memahami dan memahami lagi, sulit untuk mempercayai.Â
Padahal jika saya menanamkan perspektif ini kepada diri saya tentang bagaimana melihat seseorang atau suatu kondisi mungkin saya bisa menjadi seseorang yang berbeda. Karena ternyata sudut pandang dapat mengubah seseorang.
Begitu pula kehidupan, saya selalu berpikir dan merasa kehidupan yang saya jalani ini dipenuhi kekacauan, ketidakberuntungan dan kesedihan padahal jika saya menempatkan perspektif sebaliknya. Dunia yang saya tempati dan kehidupan yang saya jalani hari ini mungkin adalah kebahagiaan dan berkah.
Lalu bagaimana pandangan saya tentang dunia selama ini ? Apakah saya hanya menempatkan kesedihan di kehidupan saya? Dan apakah semuanya bisa di perbaiki dan dimulai dari awal lagi? I don't know, tetapi saya akan terus berusaha untuk mencari celah mana yang harus saya perbaiki. Karena jika saya ingin mengubah sudut pandang awal, saya harus mengubah posisi saya terlebih dahulu. Sehingga pada akhirnya saya bisa menetapkan sudut pandang diri saya secara tepat di dunia saya saat ini.
Lalu apa sudut pandangmu tentang duniamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H