Karya : Martin Siregar
Lima tahun yang lalu Bagubija jumpa dengan Tigor anak Tanjung Balai yang melarikan diri ke batas negara Indonesia – Malasyaia Timur. Di Sabidaor tempat domisili Bagubija. Tigor menggerakan nelayan tepi pantai tuk bakar 3 pukat harimau sindikasi cukong Medan dengan Malasyia mengeksplotasi hasil laut. Pukat harimau alat rakus tangkap ikan yang membuat nelayan tidak bisa lagi mendapat ikan dari lautan. Seluruh gerombolan yang terlibat pada kasus kriminal tersebut sudah dihajar pihak keamanan. Sedangkan Tigor melarikan diri tinggal 2 bulan di rumah Bagubija. Sesekali ikut kerja di perusahaan percetakan milik Bagubija. Jadi otomatis kedekatan solidaritas hubungan mereka terjalin kuat. Dan, sampai sekarang komunikasi masih berlangsung dengan baik. Dari Sabidaor Tigor berpindah pindah tempat dalam persembunyiannya ke Jogya, Bandung, Bukit tinggi, hingga akhirnya menetap di Tanjung Balai.
Tigor sudah hidup aman tenteram dan tidak lagi diusik polisi. Kasusnya telah dipeti es kan. Menjadi petani mangga dan terong belanda di Tanjung Balai adalah kegiatan setiap hari sambil menanti kelahiran anak pertama. Tapi, Tigor tetap jalin kontak jaringan mafia penyeludupan yang terpaksa harus sangat hati hati. Sejak 10 tahun ini polisi memperbaiki citra dirinya menggulung seluruh sindikasi penyeledupan di pantai bebas Tanjung Balai.
Dari rekan Om Pastor Hermano Putra di Italia, Bagubija ingin membeli mesin cetak terbaru. Mesin cetak yang di produksi sangat terbatas. Tidak diperjualbelikan untuk umum dan tidak boleh masuk legal ke Indonesia. Oleh sebab itu, mesin cetak yang diimpikan Bagubija terpaksa masuk illegal melalui pelabuhan Tanjung Balai. Atas saran Tigor jaringan mafia penyeludupan akan mengawal mesin cetak harus sampai langsung ke tangan Bagubija. Untuk itu, Bagubija harus datang sendiri menjumpai Tigor ke Tanjung Balai. Sebuah perjalanan penuh petualangan yang sangat menyenangkan. Bagubija belum pernah menginjakan kaki di Medan, apalagi Tangjung Balai.
Tanggal 12 mei 2010 Bagubija sampai di airport Polonia pesawat terakhir jam setengah sebelas malam. Langsung booking hotel terdekat melewati jembatan sungai Deli jalan Mongonsidi. Besok paginya sarapan lotong rendang di jalan Sei Batang Serangan dekat Pringgan. Sengaja Bagubija menikmati jalan kaki pagi sekalian merenggangkan otot otot kaku terlalu lama duduk di pesawat tadi malam. Lontong habis disantap, merokok baca koran minum kopi menanti waktu tepat pulang ke hotel. Mendadak mata Bagubija terkejut terbelalak melihat sebuah becak dekat warung lotong tempat duduknya.
“Aneh unik sosok dan tingkah laku tukang becak yang satu ini”. Kebetulan aku belum pernah naik becak Medan. Dan, aku sudah capek malas jalan kaki kembali ke hotel. Lebih baik aku nikmati perjalanan naik becak yang antik ini. Bergelora hati Bagubija melihat becak sekaligus tertarik melihat gaya tukang becaknya. Diatas becak tak henti hentinya Bagubija mengamati sosok si tukang becak. Seandainya sandal jepit ini mahluk hidup, pasti dia sedih meraung raung kesakitan di paksa tukang becak mendayung becak. Bagubija prihatin melihat sandal jepit yang sudah lama sengsara.
“Nama bapak siapa ??” : Bagubija membuka dialog diatas becak. “Kasmin…Pak” : Bang Kasmin menjawab hormat. “Nampaknya bapak bukan orang sini ?” Bang Kasmin mendengar dialek bahasa yang aneh. Dua senyawa kimia yang harmonis terjalin selama Bagubija diatas becak. Dengan ringan sederhana Bang Kasmin menerangkan kondisi kota Medan secara sepintas. Yang punya ganja orang Aceh, tapi rakyat Aceh tetap miskin. Yang kaya justru preman Medan menjual ganja dengan harga mahal ke seluruh dunia internasional lewat jaringan mafia penjualan ganja. Dari sejak dahulu kala ganja Aceh adalah ganja terbaik termahal di seluruh dunia.”Oooo….Begitu ya…” Memang preman Medan terkenal dimana mana. Mulai dari preman kelas kambing di terminal bus antar kota Indonesia, maupun preman kelas kakap mafia hukum ratusan milyard di pusat negara --- preman Medan memang disegani --- . Mendengar keterangan Bagubija, Bang Kasmin tertawa:”Hua…ha….ha… Tapi bapak jangan takut. Saya bukan preman. Bagubija pun ikut tertawa mendengar Bang Kasmin.
Bang Kasmin tak tahu bahwa hati Bagubij teriris pedih melihat sandal jepit buruk yang tersiksa mendayung becak. Tak mampu Bagubija melarang matanya melihat kepedihan sandal jepit itu. “Aduh !!! sudah terseok seok sandal jepit ini. Kasihan…”: Hampir saja kalimat ini terlontar dari mulut Bagubija.
“Pak kita bisa singgah sebentar di mini market ini, Bagubija menunjuk mini market di depan mereka. “Bisa…bisa Pak” : Bang Kasmin bersemangat berusaha memberi pelayanan terbaik tuk sewanya. Bagubija masuk cukup lama berada di mini market, tapi Bang Kasmin tetap senang dan tidak mengeluh.
Bagubija merasa senang menerima informasi utuh tentang keberadaan Bang Kasmin dan keluarganya. Termasuk sekilas info soal politik budaya Sumatera Utara beserta 6 Sub Suku Batak. Perjalanan yang sangat berkesan dihati Bagubija. Sampai ditujuan, Bang Kasmin diminta ikut turun minum kopi makan kue seadanya dikamar Bagubija. Tak berapa lama kemudian, “Ini… Bang Kasmin, Ada sandal, celana pendek Bang Kasmin, baju tidur tuk Kak Butet, sabun cuci bungkus besar, kain sarung sepasang piring gelas yang cantik mahal. Bang Kasmin sangat terkejut, tertunduk tunduk tersentuh hatinya pamit setelah menerima amplop sebesar 1 juta rupiah.
Bang Kasmin dan Kak Butet pusing tujuh keliling, malamnya tak bisa tidur memeluk amplop uang sambil menangis terharu. “Jiwa Pak Bagubija diselimuti oleh malaikat kudus baik hati…Uh…uh..uh..Kak Butet tak mampu menerima pemberian besar yang tak disangka sangka.
Dua hari lagi Bang Kasmin diajak Bagubija jumpai Tigor di Tanjung Balai.
MARTIN SIREGAR penggiat tulis menulis unkonvensionil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H