Mohon tunggu...
Catarina Asthi Dwi Jayanti
Catarina Asthi Dwi Jayanti Mohon Tunggu... Psikolog - Clinical Psychologist | Community Enthusiast

Long Life Learner | Senang mengobrol, bernyanyi, memasak, dan jalan-jalan | Sedang berusaha untuk konsisten meninggalkan jejak melalui tulisan | Temukan saya di Instagram @catarinaa90

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Akhirnya ke DCF 2019

8 Agustus 2019   21:13 Diperbarui: 8 Agustus 2019   21:25 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal dari kehabisan kursi dari salah satu provider perjalanan yang harganya sangat oke di kantong, akhirnya kami memutuskan untuk merencanakan trip Dieng Culture Festival 2019 ini sendiri. 

Dimulai dari membeli tiket DCF dan bus di Traveloka, hingga mencari info-info penginapan yang masih available serta oke di kantong via info-info yang berseliweran di Instagram. Pesona Dieng Culture Festival 2019 ini agaknya akan mengundang khalayak ramai di umur 1 dekadenya melebihi tahun-tahun sebelumnya, ditambah dengan pesona es di datarannya yang telah lebih dahulu diperbincangkan warga net beberapa minggu ini.

Kamis malam itu dimulailah perjalanan kami menuju negeri di atas awan, dengan menaiki bus Pahala Kencana dari pool nya di Bekasi Timur. Bus yang berangkat sekitar pukul 7 malam itu pun tiba di Terminal Mendolo Wonosobo pukul 5 pagi. 

Beberapa driver elf mulai menghampiri penumpang-penumpang yang turun dari bus serta menawarkan jasa nya untuk membawa orang-orang tersebut sampai ke tujuan. Kami memilih untuk beristirahat sejenak dan menikmati situasi terminal tersebut sembari berpikir dengan kendaraan apa kami akan menuju ke Dieng. 

Dinginnya Wonosobo pagi itu memaksa kami untuk mengeluarkan pakaian hangat yang kami bawa atau beli sebelumnya. Beberapa pedagang pun menghampiri kami untuk menawarkan dagangannya yang tentunya menggoda kami untuk mencobanya dan bahkan membelinya.

Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami menuju Dieng dengan menggunakan Bus tiga perempat yang banyak tampak di sana. Dengan membayar 20 ribu perorang dan menempuh perjalanan indah berkelok nan dingin selama sejam, kami pun akhirnya sampai ke landmark pertama bertuliskan DIENG. Tak lupa kami mengabadikan moment tersebut dengan lensa-lensa yang kami bawa, sebelum tempat tersebut ramai oleh khalayak.

Landmark Dieng
Landmark Dieng

Sebelum check-in homestay pada pukul 9 pagi kami pun memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di Kedai Mie Ongklok yang tampak paling ramai disana. Dinginnya udara Dieng membuat makanan yang kami pesan dengan segera menjadi dingin, tapi hal ini tidak menyurutkan niat kita untuk tetap mengisi bilik-bilik lambung kami yang telah lapar ini. 

Setelah merasa badan sedikit hangat, kami pun memutuskan untuk menukarkan tiket DCF kami dengan merchandise dan ID Card DCF, sebagai tanda keikutsertaan legal kami pada acara tersebut. 

Antrian yang cukup lama pun, cukup mampu membuat kami bosan dan memutuskan untuk berswafoto. Setelah mendapatkan perlengkapan tempur kami, tak lupa kami abadikan moment tersebut sembari berjalan menuju homestay kami yang ternyata berjarak 1,7 Km dari lokasi acara.

Merchandise DCF 2019
Merchandise DCF 2019

Setelah berjalan sekitar hampir setengah jam, tanda-tanda Homestay Dieng Cool kami pun mulai terlihat. Ya, kami pada akhirnya hanya memesan 2 kamar untuk 2 hari. 

Tapi surprisingly, kami mendapat 2 bed dalam kamar dan dipersilahkan menggunakan 1 bed di ruang tengah rumah tersebut. Feels like home beneran ini karena mikirnya kita terpisah tembok-tembok kamar dan sulit untuk berkomunikasi sepanjang jeda acara. Disini kami tidak tinggal di Homestay Dieng Cool tapi di rumah warga yang bersebelahan dengan Homestay tersebut.

Setelah beristirahat dan makan siang, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke venue acara nanti malam. Udara dingin dan jalan berliku serta naik turun cukup membuat nafas kami menjadi pendek. Disana kami mencoba untuk mensurvey beberapa tempat di sekitar venue acara. 

Tenda warna-warni milik para backpacker cukup mampu membuat kami ingin sekedar mengabadikannya. Band-band lokal pun mulai mempertunjukan kemampuan bermusiknya di panggung-panggung kecil. Kami pun ikut mencoba permainan UNO STACKO besar, ya walaupun kalah, ini tetap jadi hiburan kami dan sebagai penghangat tubuh kami kala itu.

Camp Ground Area DCF 2019
Camp Ground Area DCF 2019

Tepat pukul 7 malam, gate dibuka, kami pun dengan segera mencari tempat yang oke untuk menikmati musik jazz itu. Penampilan 3 host dan band lokal asal Jogjakarta menjadi pembuka hangat sebelum band kawakan Gugun and the Blues Shelter serta Is ex-vocalist Payung Teduh menambah kehangatan panggung Jazz DCF 2019 malam itu. 

Namun, kabar tidak menyenangkan datang malam itu, beberapa daerah mengalami gempa yang tentunya sesaat membuat cemas perasaan beberapa orang disana tentang keluarganya. 

Hari pertama Dieng Culture Festival 2019 pun ditutup dengan dinginnya udara Dieng yang mencapai 11c serta band yang membawakan Instrument Jazz. Bagaimana cara pulang ke Homestay nya? Yang kami ingat adalah Dingin hanyalah sugesti, begitu kata Host acara tadi. Tapi sugesti tak berlaku ketika perut lapar kan?.

Pagi harinya, disaat masih gelap kami pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan kami dengan motor sewaan menuju Bukit Sikunir. Jangan ditanya ya dinginnya seperti apa, yang pasti pagi itu suhu yang tampak di layar handphone kami antara 7-8c. Lumayan dingin, tapi yang kembali perlu diingat ialah Dingin hanyalah sugesti. Dengan berpakaian lengkap dan tebal kami pun bersiap menembus gelapnya malam.

Perjalanan dengan motor sekitar 20 menit menuntun kita menuju kerumunan orang yang biasa disebut Sunrise Hunter. Jajanan gorengan yang tampak telah membuka lapaknya sejak dini hari dan perjalanan menanjak titik awal untuk ke bukit Sikunir membuat peluh kami mulai jatuh dan cukup membuat tubuh menjadi hangat. 

Medan berdebu dan ramainya orang yang mengeluh akan sulitnya mendapat spot foto yang bagus saat di puncak, menurunkan semangat sedari awal. Matahari yang ditunggu pun sudah keluar dari persinggahan malamnya ketika kami sampai di puncak, namun hal tersebut tidak menurunkan semangat kami untuk mengabadikan moment tersebut.

Bukit Sikunir
Bukit Sikunir

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami pun memutuskan untuk mengisi lambung kami yang mulai mengaum. Nasi goreng dingin, teh hangat yang dingin, dan soto dingin menjadi pilihan menu sarapan kami, tak lupa tempe kemul dan pisang goreng pun menggoda ingin dicicipi oleh mulut-mulut lapar kami.

Setelah sarapan, kami pun kembali menaiki kendaraan kami menuju tempat wisata selanjutnya. Lingkungan perbukitan tampak mulai terlihat karena sang matahari sudah kembali ketempatnya. Di perjalanan pun kami menemukan spot foto yang membuat kami berhenti dan memarkirkan kendaraan kami untuk mengabadikan tempat tersebut.

Sesampainya di Kawah Sikidang, kami pun disambut oleh wewangian sulfur atau belerang yang semerbak, yang pada awalnya kami kira bau septic tank. Asap yang keluar dari kawah membuat kami semakin kreatif dalam mengabadikannya dengan kamera-kamera kami.

Kawah Sikidang
Kawah Sikidang

Perjalanan pun dilanjutkan, namun kami harus kembali sesaat untuk mengembalikan helm yang kami gunakan diam-diam yang merupakan milik salah satu guest penginapan kami. Kemudian kami memacu kendaraan kami kembali menuju Telaga Warna, sayangnya dingin dan lelahnya aku saat itu membuat aku memilih untuk mencari cemilan penghangat tubuh dan mendengarkan keluh kesah orang yang duduk bergantian di sebelah ku. Ya, eventhough I was using my earphones, I could still listen to their conversation haha.

Kami pun akhirnya kembali ke homestay untuk makan siang dan beristirahat sebelum kembali ke venue Jazz selanjutnya. Perdebatan karena kelelahan akan padatnya kegiatan hari ini membuat diri ini terbesit untuk memperpanjang peminjaman motor kami, tapi harga yang tidak sesuai akhirnya mengurungkan niat kami. Sore hari nya kami kembali ke Kedai Mie Ongklok dan berbelanja beberapa oleh-oleh yang sudah kita niatkan akan beli sebelumnya. 

Melihat kemacetan sebelum acara sejenak membuat kami bersyukur, untung saja tidak memperpanjang peminjaman motor. Kembali ke Homestay untuk bersiap, blackout menyambut kami sesaat sebelum kami berangkat dan sejenak membuat resah mengenai acara nanti, walaupun begitu kami tetap kembali berjalan kaki menuju kesana.

Sesampainya disana, kami merasa agak telat karena gate telah dibuka beberapa menit yang lalu. Malam itu merupakan malam puncak acara, sehingga penonton yang datang pun lebih banyak dari malam sebelumnya. 

Hal tersebut membuat kami sulit mendapatkan tempat yang oke untuk menikmati acara. Berbekal dengan niat, salah seorang teman pun berinisiatif menggelar terpal yang disediakan panitia acara dan akhirnya kami pun mendapat tempat yang sedikit oke untuk malam itu.

Penampilan malam itu kembali dibuka oleh 3 Host kemarin dan band lokal asal Jogjakarta yang cukup membuat kami merasa hangat di malam itu karena kami selalu tertawa mendengar lelucon mereka dan juga ikut bernyanyi bersama vokalis band tersebut bersama-sama. 

Penampilan selanjutnya pun bisa dibilang membantu kami dalam menumbuhkan jiwa nasionalis kami, karena mengingatkan kami kembali akan lagu-lagu daerah dan kebangsaan yang mulai tidak kami nyanyikan selepas lulus dari bangku sekolah.

Layar di handphone kami menunjukan bahwa saat itu suhu telah mencapai 10c, namun lagi-lagi kami dibuat terpesona akan hadirnya secret guest star malam itu. Penyanyi wanita yang berambut panjang dengan suaranya yang lembut membuat heboh para penonton yang datang malam itu. 

Isyana bersama dengan pemusik yang mengiringinya membawakan beberapa lagu lama dan baru miliknya serta lagu Disney yang beberapa minggu ini sering dinyanyikan oleh orang-orang disekitarku. Dengan pesonanya Isyana mampu membuat kami semua terlena dan lupa akan dinginnya malam itu.

DCF 2019
DCF 2019

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, host pun meminta kami untuk mempersiapkan lampion yang telah diberikan sebelumnya dan bersama-sama menyalakan serta menerbangkan lampion tersebut ke langit. 

Beberapa tampak mengatupkan tangan, berdoa dan berharap pintanya akan dikabulkan seiring dengan terbangnya lampion menuju langit. Langit Dieng yang penuh bintang pun kembali dipenuhi oleh lampion yang terbang di tahun ini.

Penerbangan Lampion DCF 2019
Penerbangan Lampion DCF 2019

Beberapa telah menerbangkan lampion mereka, beberapa gagal menerbangkannya dan meninggalkan sampah yang segera dibersihkan oleh tim Dieng Bersih (They are the real Hero for us). Musisi pun kembali menyanyikan lagu-lagu yang membuat tubuh ingin bergerak. Suasana DCF pun tampak seperti DWP dengan musik gegap gempita dengan lampu sorot warna-warni di tempat yang gelap. 

Terlepas dari hal itu, ada syukur yang terucap dalam hati, yang seringkali sulit untuk diucapkan terlebih ditunjukkan. Bersyukur bahwa kami mampu sampai sejauh ini, bersyukur kami masih dapat bersama orang-orang terbaik dan tentunya bersyukur masih diberikan kehidupan sampai saat ini.

Lampion
Lampion

Setelah acara selesai, kami pun kembali ke Homestay. Beruntung kami tidak menggunakan motor, karena jalanan padat dengan kendaraan dan orang-orang berjalan pulang. Dieng tidak lagu mampu menunjukan sejuknya, polusi dari kendaraan bermotor dan banyaknya manusia membuat sang es takut untuk muncul.

Pagi harinya pun kami bersiap kembali ke tempat acara, yang berlokasi di Arjuna Temple. Dengan semangat pagi hari kami pun menuju ke tempat tersebut, namun disayangkan lagi-lagi kami tidak mendapat tempat yang oke untuk menyaksikan Ruwatan Gimbal tersebut. 

Dan yang paling membuat kami sebal dan ingin segera kembali ke homestay ialah sorakan dari para penonton  yang terkesan lebih seperti berada di konser daripada ruwatan. Kami pun memutuskan untuk keluar dari acara tersebut, mencari makanan dan oleh-oleh serta check out dari penginapan.

Kemacetan Dieng saat itu membuat kami hampir panik, karena tidak ada ojek yang mau disewa ataupun kendaraan yang dapat membawa kami ke terminal Dieng. 

Akhirnya kami pun memutuskan untuk berjalan kaki membawa tentengan yang tidak kalah berat dengan tas ransel yang kami bawa dari rumah. 1,7 km tidak berarti apa-apa karena setelah berjalan sejauh itu, tetap saja tidak ada kendaraan umum yang dapat kami naiki menuju ke Terminal Wonosobo. Akhirnya setelah mencoba berkali-kali meminta tumpangan pada sopir truck dan sopir pick up, saya dan seorang teman, mendapatkan tumpangan dari seorang sopir pick up pengangkut tabung gas. 

Sepanjang jalan, kami menikmati indahnya perbukitan dan cerita dari bapak sopir mengenai Dieng dan sekitarnya, bagaimana Dieng menjadi seperti sekarang ini. Tak terasa, kami sampai di pertigaan dimana bapak sopir harus menurunkan kami dan melanjutkan perjalanannya ke Kebumen. 

Kami pun melanjutkan perjalanan kami menggunaka bus tiga perempat dan turun di Terminal Mendolo Wonosobo. Bagaimana dengan teman-teman yang lain? Akhirnya mereka mendapatkan bus tiga perempat di Dieng dan sampai di terminal tepat waktu.

Jam menunjukkan pukul 4 sore, bus Pahala Kencana pun kembali membawa kami menuju ke realita hidup kami. Dengan mengucapakan kata perpisahan, kami pun kembali menggunakan berbagai moda transportasi untuk sampai di rumah kami masing-masing dan mendapat kabar yang tidak menyenangkan bahwa Blackout telah terjadi semalam hingga saat itu. Beruntungnya hal tersebut tidak mengurang kegembiraan kami, yeah lagi-lagi kami beruntung.

Semoga kami dapat kembali lagi ke Dieng, Negeri di atas awan, dilain kesempatan dan semoga ini menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan, begitu kata SO7.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun