'Heh.. loe tu loh! kok santai banget seh! Caritau dong! Klo suamimu sebulan ga peduli, ga mau ngomong, selalu menghindar, dan ga pengen main sama eloe, ya pasti dia punya cewek lain di luar sana! Loe sih terlalu percaya. Udah percaya, baek lagi ma dia! Didiemin, diketusin... tetep aja baik ma dia. Trus ga caritau lagi, teeteeep aja positif.Â
Pufff.... kok ya malah didoain, disapa, dimasakin, dipeluk, dicium. Wong dia loh nyakitin, kok masih aja baik sama dia! Heh! Jadi cewek tu sadarrr!'Ini adalah teman ketiga yang melontarkan kata-kata ketus menukik setelah seorang ibu membagikan kisah yang ia alami di rumah tangganya lebih dari 30 hari.Â
Kejadian ini kerap berulang, bahkan sempet tembus rekor; didiemin, diacuhin selama 6 bulan. Jadi sebenernya 30 hari mah... kecilllll!, iya ga? Tapi kok ya tetep sedih ya digituin? Hati tetap sakit, imun tubuh pun auto menurun, hingga migrain dan lemas.
Mmm, ibu itu hanya diam. Ia tak mengelak uraian ketus temannya, tapi ia pun enggan untuk setuju. Ia memang membutuhkan teman untuk berbagi perasaannya, berbagi pikirannya, berbagi unek-unek di hatinya agar tetap waras, tapi di sisi lain, kata-kata yang mengadili suaminya (pasti punya cewek lain di luar sana) atau yang mengadili dirinya sendiri (yang dianggap caritau siapa cewek pelakor itu) terasa terlalu tajam dan terasa bukan sebagai respon, sikap, atau sebuah solusi yang baik.
'Gue tau Katolik ga bisa cerai. Tapi loe juga harus sayang dirimu sendiri!' seperti seorang marketing, temannya getol menawarkan pendapatnya. Â Ibu itu diam, di depan temannya, ia serasa begitu lemah. Ciut.Â
Tapi bukan itu yang ada di benaknya. Di saat itulah, nuraninya berbisik,'are you sure pendapat temanmu baik? Legakah hatimu? Atau justru berdenyut dengan ritme ga karuan? Jika tak ada kelegaan di hatimu, berhentilah.Â
Carilah jawaban dalam senyap dan dalam doamu. Â Baliklah, bicaralah lagi pada Tuhanmu. Ia mendengarmu. Carilah Salomomu yang bijaksana. Ibu itu tersenyum tipis, ia pun mengiyakan hati nuraninya dan pamit dari teman dan cafe yang tertata indah dengan nuansa hijaunya.
Kisah ini berawal dari akhir Juli 2023 dan berpuncak di awal September 2023. Pembangunan rumah sudah hampir selesai, namun ya... namanya saja sebuah proyek bersama, pasti ada saja pendapat yang berbeda; ukuran, bentuk, budget, letak tanaman, dan banyak lagi. Masalah dan argumen, yang sedikit-sedikit ini, lama-lama membukit dan duoaarrrr! MELEDAKK!Â
Kata-kata kasar keluar. Sang suami teriak 'goblok' berulang kali seperti setan kepanasan, tak terbendung dengan mata menyala, sementara istrinya yang biasanya hanya diam, ikut sesak, menyala, dan meledak dikata-katain 'goblok', dan akhirnya terlontar dari mulutnya kata 'TAI!'Â
Suami pun mendengus! dan mulailah tidak adasepatah kata pun keluar dari mulutnya, tak ada senyuman, tak ada tatapan harmonis, tak ada badan untuk didekap. Hubungan mulai berjarak, merenggang, pait!Â
Jika istri di rumah, suami pun keluar entah kemana. tapi jika istri kerja, suami balik pulang dan melakukan banyak hal di rumah. Seperti ada rute 'X' yang tak terlihat, namun terasa. Renggang dan paittttt!
Dari sisi manusiawi, marah haruslah dilawan dengan marah. Ga ngomong pun harus dibalas dengan ga ngomong. Disakiti haruslah dibalas dengan menyakiti! Itu baru adil!
Bersambung ya.. Istri: Saat HUbungan Merenggang (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H