Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah. Tetapi setelah mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu, yang tetap di tempatnya.
Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya, “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawab perempuan itu, “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Dari bacaan Daniel dan Yohanes, saya membayangkan bagaimana kondisi masyarakat yang tidak begitu berbeda, dahulu dan di masa sekarang. Sangat mungkin, kita dihukum bukan karena kesalahan kita, melainkan karena fitnahan orang lain. Atau kita memang salah, tapi seakan sudah tak ada ampun lagi dari masyarakat sekitar, tak ada peluang untuk memperbaiki diri karena menurut mereka kita sudah begitu hina dan kotor.
Kedua bacaan ini, menampilkan dua sosok yang bijaksana dalam menyelesaikan masalah: Daniel dan Yesus. Daniel memisahkan pemfitnah, ia tanya di waktu yang berbeda, kemudian mencocokkan jawabannya. Sedang Yesus, Ia mempersilahkan masyarakat penghukum untuk mengecek diri sendiri sebelum menghukum orang lain. Sudahkan kita seperti Daniel dan Yesus sebelum men-judge orang lain? Sudah pantaskah kita men-judge orang lain? Apakah hukuman benar-benar bisa mengubah seseorang menjadi lebih baik?
Untuk pertanyaan terakhir, well.. tergantung pada keadaan, bukan? Itulah sebabnya, kita dicontohkan sosok Daniel yang bijaksana, kan? Bijak menyikapi tindakan orang lain yang ga bisa kita kontrol. Bijak pula menilai sesuatu perlu hukuman atau tidak, yakinkah dengan hukuman semuanya akan menjadi lebih baik? Dan jika memang hukuman diperlukan, hukuman seperti apa yang pantas?
Saya memiliki satu anak remaja. Tahun ini, adalah tahun pertamanya sekolah di luar lingkungan kami. Teman-temannya begitu beragam. Di caturwulan pertama, kami begitu kaget dengan perubahan yang terjadi. Chat anak saya penuh kata kotor dan kasar. Ia juga sering hangout sama temennya sepulang sekolah. Ia juga mulai pacaran di awal sekolah.
Kami begitu kuatir. Hingga waktu itu, kami putuskan untuk bicara 6 mata. Dan karena suami pulang larut, jadi kami bangunkan dia tengah malam, untuk bicara dan menegur. Semua itu bagi anak saya anak hukuman. Dua orang dewasa seakan bersekutu menegur satu anak. Kami sedih, saya menangis, tapi pasti saat itu anak saya lebih sedih dan menangis dalam hatinya. Kekuatiran kami membuat kami menghukumnya secara orraly.
Akhir ceritanya adalah hubungan kami menjauh, anak kami ga mau ngomong apapun sama saya (biasanya dia curchat) karena menganggap saya ga bisa dipercaya karena menceritakan yang dia alami ke suami saya, dan minggu berikutnya ia minta pindah sekolah ke luar kota, yang jauh dari kami. Gelas sudah retak, dan susah untuk kembali seperti semula.
Akhirnya kami sepakat, mengubah cara kami dekat dan mengasihi anak kami. Bukan dengan hukuman.
Bacaan hari ini sungguh menguatkan saya. Bagaimana dengan Saudara yang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H