Jodoh memang di tangan Tuhan, namun harus diiringi dengan ikhtiar, kata-kata itu selalu didengar oleh Pairun, sebagai lelaki berteman sepi, lebih-lebih dimalam hari.
"Tuhan, pintaku padamu. Jika jodohku di atas langit turunkanlah, jika di dalam bumi keluarkanlah, jika jauh dekatkanlah dan jika dekat sampaikanlah, hingga aku mendapatkan pendampingku."Â
Itulah bait doa yang selalu dipanjatkan Pairun dikala hatinya sedang gundah kulana prihal jodohnya.
Sementara itu sebelah kiri dua rumah dari tempat tinggal Pairun, Wanita dengan mimik wajah kelaki-lakian dan berambut trondol alias pendek, sudah dua tahun hidup menjanda tampa ada status alias Janda Bodong, janda tampa surat cerai itu selalu tak perduli dengan kesendiriannya. Ia merasa happy membawa dirinya dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Bekerja sebagai insyinyur pertanian membuatnya bersyukur karena hidup tercukupi meskipun tampa suami.
Eka, gadis kecil anak pertama, selalu menghibur sang bunda. Begitupun dengan Rudie bocah lelaki yang selalu menjadi tumpuan sang bunda, anak kedua dari wanita itu, bernama Sari Janto.
Bekerja sebagai konsultasi di bidang pertanian bagi para petani, sudah cukup untuk membiayai hidup kedua anaknya. Sari Janto wanita yang tegar dan tidak mengeluh, apalagi permasalahan cinta. Cinta hanyalah bumbu kehidupan yang diberikan Tuhan.
"Ibu, Eka mau main dulu yah!" berkata anak pertama sambil menggenggam uang jajan.
"Aku juga, Bu!" sahut Rudie anak kedua Sari Janto, dengan riangnya ia jingkrak-jingkrakan mengikuti kakaknya.
Sore menjelang senja Sari Janto keluar untuk mencari Eka dan Rudie yang sedang bermain tidak jauh dari rumah. Dengan berjalan tersungut-sungut, melintas di depan rumah Pairun yang kebetulan lagi duduk sambil meraut bambu pancing, maklum Pairun suka mancing untuk mengisi kesepiannya.
"Duh, main di mana tuh anak?!" gumam Sari Janto sedikit keras hingga terdengar Pairun.
"Cari anaknya, Mpok?" tanya Pirun sambil terus meraut ujung batang hingga mengecil.
"Eh, iya nih Bang, anak aye, maen di mana ye?" menjawab Sari Janto cepat dengan tatapan tertuju pada gang dimana biasa Eka dan Rudie bermain dengan teman lainnya.
"Mungkin di belakang rumah Pak Daha, Mpok!"
"Ah gak mungkin anak aye main sejauh ntu!"
"Bisa jadi, Mpok!" sahut Pairun, "kan lagi ada pertunjukan topeng monyet Mpok. Pak Daha pan besok kau nyunatin anaknya, jadi sekarang dia nyewa topeng monyet, Mpok!"
"Bisa jadi ya, Bang!" jawab Sari Janto sambil terus melangkah pelan keujung kelokan.
"Lagi apa, Bang?" tahu-tahu Sari Janto bertanya. "Sepertinya serius amat, lagi ngeraut pancing, Bang?!"
"Eh, iya Mpok!" Pairun menjawab. "Biasalah Mpok. Iseng-iseng aja, dari pada bengong, mendingan mancing, Mpok!"
Sambil sunggingkan senyum, Sari menganggukan wajah, dengan maksud pamit permisi untuk terus mencari kedua anaknya. Berpikir, apa salahnya menuju apa yang dikatakan Pairun yaitu kerumah Pak Daha yang mau hajatan, mungkin saja benar apa yang diktakanna, Eka dan Rudie sedang berada di sana.
Beberapa langkah, Sari Janto terbayang akan senyuman Pairun ketika menyapa dirinya. Dipikir, ganteng juga Pairun dengan kumis dan bawuk yang menghiasi wajah menambah kegagahan tubuhnya yang memang sudah atletis. Warna kulit yang hitam, pertanda Pemuda itu giat bekerja dan mempunyai tubuh yang kuat. "Tapi kenapa sampai sekarang, Pairun belum juga mempunyai pasangan," batin Sari Janto menggelitik. "Bujang lapuk dong."
CINTA MEMANG TUMBUH BERAWAL DARI PANDANGAN LALU JATUH KE DALAM HATI HINGGA MUNCUL BENIH-BENIH CINTA.
Mungkin itu yang dirasakan Sari Janto terhadap pemuda lapuk yang baru saja menegurnya. Ada rasa manis dan suka di dalam hatinya. Namun di sisi yang lain, berpikir dua kali, "Mana mungkin seorang janda dengan dua orang anak, dicintai oleh bujangan meskipun sudah tua!"
BRUUK ...
Alangkah terkejutnya Sari Janto. Tubuhnya menabrak gerobak yang sedang berhenti di depan rumah. "Adaw ..." pekiknya sabil mengelus bahu. "Sialan!" desisnya pelan, menahan malu sambil tengak-tengok takut ada orang yang melihatnya.
Dari kejauhan, seseorang sedang senyam-senyum sendiri sambil menatapnya. Rupanya orang itu melihat Sari bahunya menabrak gerobak, membuat orang itu mesam-mesem. Sari Janto jadi malu yang sangat. Wajahnya yang garang berubah memerah, sambil menunduk, ia terus berjalan.
Sekira dua sepuluh meter lagi, tikungan menuju rumah Pak Daha terlihat. Lamat-lamat terrdengar suara gendang yang ditabuh oleh tukang topeng monyet. Begitu pula suara riuh tertawa anak-anak begitu riang. Setelah sampai ketikungan, benar saja anak-anak berkerumun menyaksikan tingkah laku monyet bertopeng. Sari Janto sempat tertegun untuk melihat kelucuan sang monyet, tapi ia harus focus mencari kedua anaknya, Eka dan Rudie.
"Duh, ada di mana tuh anak?!" gumam Sari Janto memasang mata tajam berkeliling.
Tak terlihat batang hidung kedua anaknya. Sari Janto mencoba mendekati salah satu anak laki-laki yang ia kenal dan sering bermain dengan Rudie.
"Tong, loe lihat Rudie sama kakaknya?" Sari bertanya. Anak itu tak langsung menjawab, bahkan tak memperdulikan, ia kembali menatap topeng monyet.
"Ye nih anak ditanya!" eh loe lihat gak, Rudie sama Eka!" bentak Sari dengan nada keras. Anak laki itu pun jadi gelagapan dibentak seperti itu.
"Tadi sih emang nonton," akhirnya anak itu menjawab, "tapi tau kemana lagi. Sepertinya kesana!" Sambil menunjuk ke arah warung Bang Purnomo.Â
Sari Janto pun bergegas ke warung Purnomo. Ada seorang lelaki yang sedangmembelai anak perempuan dan di sampingnya anak lelaki yang mirip dengan Eka dan Rudie.
"Itu kayak Eka sama Rudie?!" batin Sari. "Tapi siapanyah lelaki itu!" Hatinya penuh tanda tanya. Pandangannya ditajamkan untuk melihat anak kecil yang berada di samping lelaki itu yang mirip dengan Eka dan Rudie. Ternyata benar kedua anak itu adalah Eka dan Rudie.
"Eka ...!"
"Rudie ...!
Teriak Sari Janto keras. Kedua anak itu pun menengok. Ternyata memang benar mereka adalah Eka dan Rudie. Begitupun dengan lelaki yang berada di tengah mereka, ia pun turut menoleh ke arah Sari Janto.
Alangkah terkejutnya Sari Janto, ternyata lelaki yang bersama kedua anaknya adalah Wijaya, mantan suaminya. Dibilang mantan juga bukan, karena surat cerai tidak diberikan.
"Eh busyet loe Bang, berani benar nampakin wajah loe di depan gue. Segala ngejajanin anak gue lagi." sentak Sari Janto setengah keras.
Wijaya hanya mesem berat ketika melihat wajah Sari Janto sang mantan istri itu penuh emosi ketika melihat wajahnya. Namun Wijaya membalas dengan senyuman sambil berkata, "Aku kesini hanya ingin melihat anakku. Dan aku memberikan uang jajan untuk mereka, karena hak mereka, aku sebagai ayahnya."
"Eh, dengar ya Bang. Aye masih sanggup ngempanin Eka sama Rudie. Mendingan Bang urus aja bini abang yang baru."
Sari Janto mendekat, lalu meraih lengan Eka dan Rudie lalu menariknya.
"Ayo pulang," sentaknya sambil tegopoh-gopoh menuntun kedua anaknya. Sedangkan Eka enggan untuk pulang karena acara topeng monyet masih berjalan. Namun tangan sang Bunda begitu keras menggenggam. Demikian Rudie, ia hanya bisa melengos kebelakang kearah dimana anak-anak sebayanya masih tertawa riang menyaksikan topeng monyet.
***
"Nah kan, benar kan ada di sana!" sapa Pairun ketika Sari Janto berpapasan kembali melewati rumahnya yang semi permanen.
"Eh iya Bang," jawab Sari. Sempat melirik bawuk Pairun yang lebat rapi. Simpatik pun timbul.
Begitupun dengan Pairun, ada terlintas rasa suka dengan berdasarkan cinta. Hatinya memang dilema, berkata; "Tidak ada rotan, akar pun jadi. Yang terpenting ia bisa berumah tangga.
KEKUATAN CINTA MENGALAHKAN DAN MEMBUTAKAN SEMUA.
Waktupun berlalu. Mereka akhirnya memadu kasih. Dan langsung naik kepelaminan meskipun secara sederhana.
Â
Tamat
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H