"Eh, iya nih Bang, anak aye, maen di mana ye?" menjawab Sari Janto cepat dengan tatapan tertuju pada gang dimana biasa Eka dan Rudie bermain dengan teman lainnya.
"Mungkin di belakang rumah Pak Daha, Mpok!"
"Ah gak mungkin anak aye main sejauh ntu!"
"Bisa jadi, Mpok!" sahut Pairun, "kan lagi ada pertunjukan topeng monyet Mpok. Pak Daha pan besok kau nyunatin anaknya, jadi sekarang dia nyewa topeng monyet, Mpok!"
"Bisa jadi ya, Bang!" jawab Sari Janto sambil terus melangkah pelan keujung kelokan.
"Lagi apa, Bang?" tahu-tahu Sari Janto bertanya. "Sepertinya serius amat, lagi ngeraut pancing, Bang?!"
"Eh, iya Mpok!" Pairun menjawab. "Biasalah Mpok. Iseng-iseng aja, dari pada bengong, mendingan mancing, Mpok!"
Sambil sunggingkan senyum, Sari menganggukan wajah, dengan maksud pamit permisi untuk terus mencari kedua anaknya. Berpikir, apa salahnya menuju apa yang dikatakan Pairun yaitu kerumah Pak Daha yang mau hajatan, mungkin saja benar apa yang diktakanna, Eka dan Rudie sedang berada di sana.
Beberapa langkah, Sari Janto terbayang akan senyuman Pairun ketika menyapa dirinya. Dipikir, ganteng juga Pairun dengan kumis dan bawuk yang menghiasi wajah menambah kegagahan tubuhnya yang memang sudah atletis. Warna kulit yang hitam, pertanda Pemuda itu giat bekerja dan mempunyai tubuh yang kuat. "Tapi kenapa sampai sekarang, Pairun belum juga mempunyai pasangan," batin Sari Janto menggelitik. "Bujang lapuk dong."
CINTA MEMANG TUMBUH BERAWAL DARI PANDANGAN LALU JATUH KE DALAM HATI HINGGA MUNCUL BENIH-BENIH CINTA.
Mungkin itu yang dirasakan Sari Janto terhadap pemuda lapuk yang baru saja menegurnya. Ada rasa manis dan suka di dalam hatinya. Namun di sisi yang lain, berpikir dua kali, "Mana mungkin seorang janda dengan dua orang anak, dicintai oleh bujangan meskipun sudah tua!"