Mohon tunggu...
Cataleya Arojali
Cataleya Arojali Mohon Tunggu... Buruh -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

GoJurig

17 Juni 2016   02:43 Diperbarui: 17 Juni 2016   03:19 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bedug magrib hampir tiba. Seharusnya aku bersiap untuk berangkat ke masjid, tapi tiba-tiba perutku terasa ada yang harus aku buang dan kulupakan. Dengan cepat langkah aku menuju tempat pembuangan terakhir tidak jauh dari rumah, maklum tinggal di kampung yang mana tempat buang hajat di luar rumah.

"Mau kemana, bentar lagi magrib!" tanya Ibuku.

"Bentar, mau buang hajat dulu!" jawabku cepat sambil berlari tak memperdulikan lagi kata-kata Ibuku.

Empang yang sedikit airnya dan berawarna hijau itu adalah tempat pembuangan terakhirku. Di sisinya ada kamar kecil seukuran badan dan tingginya setengah badan yang biasa di sebut oleh warga setempat "Helicopter" yang sebenarnya adalah "Jamban". Aku pun tertawa ketika baru pertama kali mendengar istilah jamban adalah Helicopter. 

Baru saja menongkrong, tiba-tiba aku mendengar suara seperti Kentut. Persis kentut, hanya saja nadanya agak panjang dan melengking berawal keras dan berakhir pelan. Aku menoleh berkeliling, tapi tak ada orang. 

Aku tak perdulikan suara kentut itu, kembali aku fokus pada hajatku. Tapi tak berapa lama, suara kentut itu kembali terdengar. Hanya saja suaranya agak sedikit menjauh dari yang pertama. 

Bulu tengkukku tiba-tiba berdiri menggerayang seolah-olah ada yang mengusap bahuku. Sontak aku pun bersegera untuk menuntaskan hajat dan kembali naik untuk pulang dengan membawa sedikit kali yaa...

Setelah selesai solat magrib, aku menceritakan prihal tadi kepada Ibuku. Tampak serius Ibu mendengar ceritaku. Setelah selesai mendengar ceritaku, sontak dia tertawa sambil berkata, "Lagian loe magrib-magrib berak, tuh kata orang tua dulu, memang ada setan kentutnya." 

"Setan Kentut!!" sentakku.

"Ya," kata Ibuku lagi. "Dulu zaman dulu, ada Jawara yang mati dibunuh dengan usus memburai bekas sabetan senjata tajam. Sewaktu hidupnya, jawara itu suka kentut. Karena ada rekannya yang gak suka di kentutin, akhirnya terjadilah pertengkaran di antara mereka yang berakhir dengan kematian jawara yang suka kentut itu!" Terang Ibuku bercerita panjang yang membuat aku takan lagi buang hajat di petang hari..

Bahkan di siang hari pun aku tak berani setelah mendengar cerita itu. Cukup sekali saja aku ditemuin seperti itu.

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun