Aku garuk-garuk kepala, bingung deengan wanita ini. Jika aku suruh turun paksa, aku gak tega lihatnya. "Sial," rutukku sekali lagi.
Mobilku sudah terpenuhi oleh penumpang yang akan menuju Salabenda. Tidak seberapa banyak, tapi lumayan serit bisa nambah-nambahin setoran.Â
Aku bertanya lagi, "Jadi, Mbak mau kemana?"
Dia menjawab, "Gak tahu, seterah Abang aja, meskipun turun, aku gak punya ongkos Bang, untuk meneruskan perjalanan.
"Kena dah!!!" batinku
Aku pun menyerahkan beberapa uang dan kuberikan kepadanya untuk ongkos. Tapi dia menolak lalu berkata,
"Bang, kalau boleh, aku untuk sementara tinggal di rumah Abang. Biar pun aku balik ke kontrakan di jakarta, gak akan Bang. Soalnya aku lari dari kontrakan dengan meninggalkan uang keterlambatan selama dua bulan."
Aku diam, sambil kujalankan mobilku perlahan dan melirik kekiri untuk mencari penumpang lainnya. Jika wanita ini aku bawa pulang, bagaimana dengan perasaan istriku. Apakah istriku mau menerimanya?.
Satu rit lumayan ramai penumpang hingga sampai ke Salabenda. Aku berhenti sejenak di warung rokok untuk menawarkan minuman. Dia tampak haus, lalu aku tawarkan makan, ia mengangguk dan kami pun makan di warteg.Â
Sambil makan aku berpikir, apakah harus aku bawa pulang dulu kerumah untuk memperkenalkan dengan istriku. Tapi bagaimana dengan cemohoan orang lain, jika melihat aku membawa wanita hamil yang tampa suami. "Ah, sungguh apes hari ini!"
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah pepatah yang tepat untukku. Sudah narik sepi penumpang, pulang gak bawa uang, malah membawa orang hamil. Mau tidak mau, akhirnya aku pun menghantarkan pulang ke rumahku dan memperkenalkan dengan istriku.