Nia mengantar saya masuk ke sebuah ladang tak jauh dari pantai. Terpisah cukup jauh dari rumah-rumah di perkampungan, di bawah pohon-pohon kelapa berdiri sebuah rumah sangat sederhana. Inilah rumah Nada dan Ria. Di halaman rumahnya menumpuk barang-barang hasil memulung mereka. Saya dapati seorang Bapak sedang membersihkan botol plastik dan seorang ibu yang sedang menggendong bayi. Saya lantas memperkenalkan diri dan menceritakan pertemuan kami di pantai kemarin. Mereka adalah orang tua Nada dan Ria. Sembari menunggu anak-anak itu yang katanya hanya pergi ke ladang sebelah, kami pun memgobrol. Tak lama kemudian terdengar anak-anak itu memanggil nama saya sambil berlari mendekat, "Kaaak, Kak Wisna, kenapa tadi tidak datang. Kami lama menunggu," sambil menenteng kantong plastik berisi buah asam yang mereka dapat dari pohon asam liar yang tumbuh di ladang sebelah. Nantinya mereka akan jual di warung.
[caption id="attachment_347211" align="aligncenter" width="600" caption="Berfoto bersama anak anak Pantai Seger"]
Sebenarnya saya masih sangat menikmati mengobrol bersama mereka. Namun sayang, saya sudah harus check out dari hotel tempat saya menginap. Setelah membagi alat tulis dan sedikit uang jajan, saya bersiap pergi. Iseng saya bertanya, "Kalo 100 di bagi 4, berapa?" 5 detik berlalu. 10 detik, 20 detik, 1 menit. Tak ada yang berhasil menjawab. Perasaan sedih, kecewa, marah, campur aduk pokoknya, membuat saya mengurungkan niat untuk pergi. Bagaimana bisa, pertanyaan yang biasanya dengan mudah dijawab anak anak lebih muda dari usia mereka tak bisa mereka jawab. Ada Nia yang sudah kelas I SMP dan Nada yang kelas VI SD.
Saya menunggu menit ke menit dan mereka terlihat sedang berpikir, menghitung tapi tak juga tau jawabannya. Saya pun kemudian memberi pertanyaan lain, "Kalo 100 di bagi 2 berapa?" Nia menjawab cepat, "50, Kak." Saya pun melanjutkan dengan pertanyaan, "50 dibagi 2 lagi, berapa hasilnya?" tiga dari mereka berempat menjawab benar dengan serempak. Akhirnya saya kembali ke pertanyaan awal, "Nah, sekarang sudah tau dong jawabannya kalo 100 di bagi 4 dapat berapa." Masih saja saya dibuat lemas karena yang berhasil menjawab pertama adalah Agus, anak yang paling kecil.
Kelas I SMP, tidak bisa menjawab hitungan 100 di bagi 4. Siapa yang salah? Apakah mereka yang salah karena waktu mereka untuk bermain dan belajar terpaksa digunakan untuk membantu mencari nafkah? Apakah ini salah orang tua mereka yang terlalu sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehingga tak punya waktu untuk mengajari mereka? Atau justru guru-guru, sekolah mereka yang tak punya standar kelayakan untuk naik ke kelas berikutnya? Atau pemerintah yang pejabat-pejabatnya tidak cukup peka dan memilih untuk membiarkan kondisi seperti ini tetap terjadi di depan mata mereka tanpa berbuat sesuatu.
Entahlah. Yang jelas situasi itu membuat saya ingin segera kembali dan ingin menghabiskan beberapa waktu, belajar bersama anak-anak itu. Dengan berat hati saya pun berpamitan. Saat itulah, bapaknya Nada mengucapkan sesuatu yang mengejutkan saya. "Dik, tolonglah carikan kami sponsor supaya anak-anak kami tetap bisa bersekolah dan tidak berakhir menjadi pemulung seperti kami, orang tuanya. Bantulah kami kalau ada kesempatan, kembali ke sini dan ajari mereka karena mereka senang bersama adik." Dengan perasaan haru saya hanya bisa tersenyum dan menjawab, "Semoga saya bisa mengusahakannya ya, Pak. Saya juga ingin bisa segera kembali bertemu mereka. Bila waktunya tiba, semoga saat itu saya sudah bertemu dermawan-dermawan yang bersedia membantu mereka. Yang sabar ya, Pak."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H