"Jangan sampai ada lagi yang namanya gizi buruk. Tidak ada anak yang sepantasnya kekurangan gizi buruk di negara berpendapatan menengah seperti sekarang ini" (Presiden Jokowi, 2017)
Masalah gizi buruk masih menjadi isu nasional. Presiden Jokowi "wanti-wanti" agar Indonesia tidak  mengalami isu kekurangan gizi. Dengan kata lain, anak Indonesia dalam kondisi sehat karena mendapatkan Asupan Nutrisi Seimbang.
Kandungan nutrisi yang cukup berpengaruh terhadap kesehatan anak bangsa, seperti keberhasilan dalam penanganan stunting. Apalagi, Bali bikin kejutan karena bisa menurunkan jumlah stunting yang signifikan.
Asupan nutrisi seimbang pada balita menjadi perhatian Pemerintah. Apalagi, balita adalah cikal bakal generasi bangsa yang akan memegang estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Jika melihat laporan Global Nutrition Report tahun 2018, jumlah balita di dunia lebih dari 150 juta jiwa. Kesehatan balita menjadi perhatian bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Nutrisi yang cukup bertolak dari konsumsi keragaman pangan. Sayang, konsumsi pangan penduduk Indonesia masih didominasi oleh padi-padian. Konsumsi bahan pangan hewani, sayur dan buah masih rendah.
Bahkan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa lebih dari 95% penduduk usia 5 tahun ke atas kurang konsumsi sayur dan buah. Ini yang menyebabkan asupan nutrisi seimbang menjadi isu nasional. Â Â
Dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Gerakan Nasional (Gernas) Percepatan Perbaikan Gizi. Sebagai upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat. Melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi, untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat. Â
Laporan Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa dua kondisi gizi masyarakat Indonesia yang didominasi oleh penyakit anemia ibu hamil yang mendekati 50%. Disusul dengan  kondisi stunting lebih dari 30%. Kondisi tersebut membutuhkan perhatian bersama. Oleh sebab itu, diperlukan asupan nutrisi seimbang seperti protein. Protein rendah apabila Angka Kecukupan Gizi (AKG) kurang dari 100% dan protein cukup apabila AKG lebih dari atau sama dengan 100%.Â
Dengan percepatan perbaikan gizi, setiap daerah menciptakan kondisi masyarakat dengan nutrisi cukup. Oleh sebab itu, Pemantauan Status Gizi (PSG) dilakukan secara kontinyu. Salah satu Pemerintah Daerah yang melakukannya adalah Pemerintah Propinsi Bali. Beberapa kabupaten/kota dipantau status gizinya.
Hasilnya, menurut laman media online jarrak.id berdasarkan data PSG, Dinas Kesehatan Propinsi Bali tahun 2015-2017 menyatakan Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Bangli, Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng dalam status akut kronis. Kabupaten Badung dan Tabanan dengan status  akut. Sedangkan, Kota Denpasar dan Kabupaten Klungkung dengan status bebas.
Menarik, Kepala Dinkes Propinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya mengatakan bahwa  masalah gizi buruk bukan karena faktor ekonomi, tetapi kurangnya pemahaman keluarga akan asupan nutrisi seimbang terhadap anak. Terutama ibu yang setiap hari bersentuhan dengan balita. Sama halnya apa yang dijelaskan dalam E-Journal Pustaka Kesehatan, pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan perilaku ibu dalam menyediakan makanan untuk anaknya.
Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik dapat menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat untuk mendukung perkembangan balita. Bahkan, ibunya sendiri juga harus mendapatkan asupan nutrisi yang cukup. Bapak dr. Iwan Helwari dari Kemenkes RI menyatakan  diperlukan asupan nutrisi seimbang (orang dewasa), dimana kandungan karbohidrat dan protein (hewani dan nabati) sebesar sepertiga. Sedangkan, kandungan sayuran dan buah sebesar 2 per tiga.
WASPADA STUNTING
Seiring dengan isu gizi buruk, maka stunting menjadi perhatian pemerintah. Apa yang dimaksud dengan Stunting? Kemenkes RI menyatakan bahwa Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Bapak dr. Iwan Helwari dari Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa berdasarkan WHO, persentase penyebab kondisi badan hanya sepersepuluh karena keturunan. Sisanya, dikarenakan lingkungan (makanan, gisi, air bersih dan lain-lain). Jika, badan pendek dan intelegensia menurun maka akan terjadi kasus stunting.
Beliau juga menyatakan bahwa indikator stunting adalah kondisi badan pendek yang tidak berkembang (fungsi kognitif dan organ) yang menyebabkan tubuh tidak berkembang secara sempurna. Oleh sebab itu, kurangnya asupan nutrisi seimbang membuat badan menjadi pendek dan intelegensia menurun, yang berakibat menjadi stunting. Itulah salah satu gejala stunting.
Bagaimana mencegah stunting? Berikut, hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting: 1) Selama hamil makanlah makanan yang beranekaragam; 2) Pada usia nol sampai enam bulan, pemberian ASI untuk memenuhi semua jenis nutrisi yang di butuhkan bayi.
Selain itu ASI juga mampu melindungi bayi dari berbagai macam infeksi seperti diare, pneumonia, dan infeksi telinga; 3) Timbang berat badan bayi rutin sebulan sekali; 4) Pemberian ASI hingga usia 2 tahun; dan 5) Memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) secara bertahap pada usia 6 bulan untuk memberikan nutrisi tambahan selain ASI dan melatih kemampuan otot oromotor (otot-otot di mulut) dan kemampuan motorik.
Untuk mencegah terjadinya stunting maka harus memahami faktor penyebab. Jurnal Agromedicine  Juni 2018 menyatakan faktor yang menjadi penyebab stunting adalah: 1) Praktek pengasuhan yang kurang baik dan kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi (sebelum, masa kehamilan, dan setelah melahirkan); 2) Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Ante Natal Care) selama masa kehamilan) dan Post Natal Care; 3) Kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi; dan 4) Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
PREVALENSI STUNTINGÂ
Menurut kbbi.web.id bahwa Prevalesi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.  Masalah stunting juga diulas dalam E-Jurnal Medika Juli 2017, menurut data WHO  terdapat 178 juta balita mengalami stunting. Afrika dan Asia (termasuk di dalamnya Indonesia) menjadi dua benua dengan persentase balita stunting tertinggi di dunia yaitu  40% dan 36%.
Sedangkan, kondisi stunting Indonesia sesuai hasil Pantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 menyatakan bahwa prevalensi stunting nasional sebesar 29,6%. Dua tahun kemudian, prevalesi stunting balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 40,3% dan terendah adalah Bali 19,1%. Â Â
Perlu diketahui bahwa sejak tahun 2007-2018, prevalensi stunting balita nasional  cenderung turun. Berdasarkan Riskedas tahun yang sama, prevalensi stunting balita bisa digambarkan pada grafik berikut:
Stunting menggerus dana Produk Domestik Bruto (PDB) kurang lebih Rp 260-390 triliun setiap tahunnya. Bisa menjadi dana Bantuan Langsung Tunai bagi 100 juta penduduk Indonesia selama setahun. Â
Oleh sebab itu, Pemerintah melakukan program penanganan stunting. Warta Kesmas  edisi 02 tahun 2018, memberitakan Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan acara Stunting Summit bertema "Bersama Cegah Stunting" tanggal 28 Maret 2018 di Jakarta.
Hasilnya, penanganan stunting harus melibatkan multisektor, seperti: Kementerian/Lembaga (K/L) teknis dan satu Kementerian Koordinator. Bekerja sama dengan para pemangku kepentingan pembangunan, seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok masyarakat madani, organisasi profesi dan akademisi, mitra pembangunan, serta media massa.
Kementerian Kesehatan RI mencanangkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dengan fokus pada 3 (tiga) kegiatan yaitu: meningkatkan aktifitas fisik, konsumsi sayur dan buah, serta deteksi dini penyakit.
Sedangkan, dalam penanganan stunting dikenal istilah 5 pilar, yakni: Pilar 1: Komitmen dan Visi Pemimpin Tertinggi Negara; Pilar 2: Kampanye Nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik, dan akuntabilitas; Pilar 3: Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan Masyarakat; Pilar 4: Mendorong Kebijakan Nutritional Food Security; dan Pilar 5: Pemantauan dan Evaluasi.
PENURUNAN PREVALENSI
Hal terpenting untuk menurunkan prevalensi stunting adalah memberikan asupan nutrisi seimbang. Menurut dr. Erica Lidya Yanti, asupan nutrisi seimbang dengan memberikan protein balita di atas 6 bulan.
Diperoleh dari nabati (kacang-kacangan, umbi-umbian, biji-bijian, dan sayuran). Sedangkan, dari hewani (daging sapi, ayam, ikan, telur, dan susu). Untuk balita usia 6-12 bulan mengonsumsi protein harian sebanyak 1,2 g/kg berat badan. Dan, balita usia 1-3 tahun mengonsumsi protein harian sebesar 1,05 g/kg berat badan.
Demi ketersediaan pangan sehat, Dinas Kesehatan Propinsi Bali bersinergi dengan intansi terkait lintas sektor seperti: BPOM, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan lain sebagainya.
Pada tanggal 30 Juli 2019, Dinas Kesehatan Provinsi Bali menggelar diseminasi surveilans gizi. Dihadiri Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes RI, Ir. Doddy Izwardy, MA., Ketua TP PKK Propinsi Bali Ni Putu Putri Suastini Koster, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya, MPPM, dan sejumlah undangan lainnya (Balipost.com).Â
Prevalensi stunting beberapa kabupaten/kota di Bali (Sumber: Nusabali.com/diolah)
Khusus Pemkab Gianyar, menampilkan prevalensi stunting sejak tahun 2013 hingga tahun 2019. Hal ini dikarenakan, Pemkab Gianyar mengalami kemajuan signifikan dalam menurunkan prevalensi stunting.
Menurut Kepala Dinkes Gianyar Ida Ayu Cahyani Widyawati menyatakan bahwa upaya Pemkab Gianyar relatif berhasil dalam menurunkan jumlah stunting.  Hal yang dilakukan Pemkab Gianyar untuk menurunkan prevalensi stunting adalah asupan gizi dan pencegahan infeksi.
Terakhir, dr. Iwan Helwari menyatakan bahwa keberhasilan Bali menurunkan prevalensi stunting karena terjadinya sinergitas OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam penanganan stunting. Kemenkes RI menentukan 30% keberhasilan, sedangkan 70% adalah usaha dari Bali sendiri. Anda bisa melihat video wawancara saya dengan dr. Iwan Helwari (di Hotel Aston Denpasar, 12 September 2019) lalu:
Penurunan Prevalensi Stunting di Bali /dokpri
Sumber Tulisan:
Farah Okky Aridiyah, dkk, berjudul "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas)". E-Jurnal Pustaka Kesehatan Volume 3 Nomor 1 bulan Januari 2015.
Muhammad Syairozi Hidayat, dkk. (2017). Â "Prevalensi Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesma Sidemen Karangasem". Â E-Jurnal Medika Volume 6 Nomor 7 bulan Juli 2017, http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum.
Sutarto, dkk. (2018). "Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya". Â Jurnal Agromedicine Volume 5 Nomor 1 bulan Juni 2018.Â
Majalah Warta Kesmas Edisi 02 tahun 2018 yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI
Bali Citizen
Bali Post
Jarakk.id
Katadata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H