Tidak terhitung jumlahnya air mata jatuh membasahi pipiku.  Kata orang, wajahku seperti artis cantik India, Preity Zinta. Makin cantik saat menangis. Cocok sekali dengan namaku, Zinta Prita Mayasari. Tapi, aku bukan menangis bahagia. Melainkan, menangisi  kepergian orang yang paling aku sayangi.
Kecantikanku tak mampu menahan kedua kakiku yang lunglai tak berdaya. Aku bersimpuh di hadapan tubuh yang kini terbujur kaku. Kain warna hijau yang bertuliskan "Laailahailallah, Muhammadarrosulullah" memaksaku untuk membuka tirai wajahnya yang sayu, pucat dan diam membisu. Dan, tiap kali membuka kain yang menutup wajahnya yang cantik, saat itu juga air mataku tak tertahankan membasahi pipi.
"Ibuuu, mengapa engkau tega meninggalkan aku" suaraku hampir terdengar seisi ruangan di mana banyak pelayat berdesak-desakkan memenuhi bagian depan rumahku.
Aku tertunduk lesu kembali menatap wajahnya yang tertutup kain hijau. Sepertinya tidak mau beranjak dari tempat itu. Dan, sepertinya air mata sudah habis untuk menandingi kesedihanku.
"Zinta, yang sabar ya. Hentikan tangismu itu. Biarlah ibumu pulang ke rumah-NYA dengan damai" kata ibu yang duduk di sampingku.
Wajahnya cantik dan tak berbeda dengan orang yang terkujur di depanku. Erna, ibu muda cantik yang merupakan adik ibuku berusaha untuk menenangkan kesedihanku. Dia menghiburku agar kesedihanku jangan berlarut-larut.
"Zinta, percayalah tangisanmu tak mampu membawa ibumu hidup kembali. Relakan beliau kembali ke jalan yang indah. Do'akanlah beliau agar tenang di sisi-NYA" sambung seorang bapak muda yang berkusmis tipis menyambung pembicaraan kami. Dia adalah Pak Sandi, istri dari ibu Erna yang tiada lain adalah pamanku.
Aku masih menahan air mata dan berkali-kali mengusapnya untuk menghilangkan karut marut pikiranku. Membayangkan kembali hidup seperti anak yatim piatu setelah ayah hilang tanpa bekas 3 tahun lalu, sejak aku kelas 2 SMA.
Perawakan ayah yang tinggi dan ganteng telah menghancurkan keceriaanku. Selama ini aku berusaha tegar hidup tanpa kasih sayang ayah. begitu pun ibu. Sosok ibu yang selalu tegar dan berusaha tersenyum kapan pun di depanku, anak semata wayang. Ibu yang selalu berdiri depan pintu menunggu kedatangan ayah. Ibu mulai melupakan keberadaan ayah tetapi tidak dendam atas kehilangannya. Ibu selalu mendoakan ayah.
Kini, aku harus kehilangan orang yang paling saya sayangi. Orang yang selalu mengisi ruang hatiku. Memberikan semangat saat aku mau ujian sekolah. Memberikan motivasi agar aku menjadi orang yang berguna. Dan, selalu mendorongku suatu saat nanti bisa bertemu ayah jika Allah Berkehendak.
"Percayalah Zinta. Allah SWT sayang kita. Suatu saat kita akan dipertemukan. Kapan? Ya, kapan-kapan. Selama jiwa dan darah kita masih bergerak" kata ibu yang selalu aku balas dengan anggukan kepala pelan. Aku masih melihat kegelisahan di muka ibu setiap ibu teringat ayah.