Sebelum bergabung dengan NKRI, Jogja merupakan sebuah kerajaan makmur yang berdiri sendiri. Demi kemerdekaan bangsa Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX lebih memilih untuk bergabung dengan NKRI. Beliau mau mengikuti aturan negara (konstitusi), padahal beliau sendiri adalah seorang raja. Ini adalah sebuah kerendahan hati yang luar biasa sebagai pemimpin profetik. Â Dan, karakter tersebut benar-benar ditiru oleh generasi penerusnya, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sosok yang selalu mengusung pepatah Jawa "Sepi ing pamrih rame ing gawe". Â
Sultan Jogja jarang mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dalam pertarungan politik tanah air. Beliau tidak mau memperkeruh suasana. Rakyat Jogja mengerti  bahwa "sabdo pandito ratu", perintah raja akan dilakukan sesegera mungkin (sendiko dawuh). Ini adalah sebuah karakter Sultan Jogja yang mengandung kharismatik sebagai pemimpin profetik. Terpenting, karakter pemimpin profetik adalah "mboten kemrungsung" (tidak ngoyo) untuk mengejar jabatan yang lebih tinggi.Â
Sri Sultan pernah diberi kesempatan untuk bertarung dalam kompetisi menjadi seorang Presiden Indonesia. Namun, beliau "narimo ing pandum" untuk tetap menjadi Gubernur Jogja. Sebuah karakter pemimpin yang sangat berbeda bagai bumi dan langit dengan para pemimpin bangsa saat ini yang mayoritas bernafsu untuk menjadi "orang penting" dengan gelontoran dana politik yang berujung dengan kasus korupsi (abuse the power).
Bakpia Pathok, kuliner yang dibuat dengan kelembutan tangan-tangan ibu yang membesarkan anaknya demi generasi bangsa ini. Meski lembut, rasanya sungguh menggoyang lidah setiap penikmat kuliner Bakpia Pathok ini. Sri Sultan adalah sosok yang lembut bersikap tetapi betapa kuat di hati rakyatnya. "Bekerja dalam diam" (Working in the Silence) adalah predikat karakter yang perlu saya lekatkan pada diri beliau. Bekerjalah dengan hati tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain, bukan aksi yang menimbulkan tebar pesona. Sebuah karakter yang harus dipegang oleh pemimpin bangsa Indonesia.
Buku Jendela Dunia
Jaman telah berubah. Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kian berkembang. Informasi tentang dunia seakan tiada batas (borderless) dalam sentuhan jari. Â Bahkan, ada stigma yang menyatakan bahwa "jika ingin dapatkan informasi, ketik saja mbah Google semua beres". Â Memang benar, bahwa Mbah Google bisa memberi informasi apapun yang kita inginkan. Tetapi perlu diingat bahwa info yang kita dapatkan tidak seakurat dengan buku yang nama penulisnya ditulis dengan jelas, kecuali kalau kita sudah mengenalnya lebih dahulu.Â
Kita tidak mengetahui bahwa analisa yang terdapat dalam sebuah laman atau website berbau fakta atau hoax (bohong). Inilah yang perlu kita dalami lebih jauh karena info yang bernuansa hoaxkian marak akhir-akhir ini. Apalagi, jika berita hoaxbernuansa politik maka perlu adanya tindakan "saring" berita tersebut. Â
Berbeda dengan buku yang jelas penulisnya membuat kita yakin untuk membacanya. Apalagi, jika penulisnya sudah menjadi penulis legenda atau sering menulis dalam jurnal baik nasional maupun internasional. Â Maka, saya akan senang untuk membacanya. Itulah sebabnya, bukan hanya mengajak ke sentra pembuatan Bakpia Pathok, sahabat saya yang notabene seorang penulis dan konsultan dunia sosial media (sosmed) juga mengajak ke sebuah sentra penjualan buku yang berada di kawasan Malioboro dan jalan raya Solo.
Penting, hanya di Jogja saya melihat langsung bagaimana seorang doktor membeli buku untuk bahan bacaan demi mencerdaskan bangsa. Beliau benar-benar menjadi Jogja menjadi Indonesia,seorang dosen yang memberikan inspirasi buat mahasiswanya. Tidak salah rasanya jika saya masih sering berkunjung ke perpustakaan Provinsi Bali di mana saya tinggal.