Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Revolusi Mental, Sebuah Literasi untuk Pengguna Sosial Media

16 Agustus 2017   10:47 Diperbarui: 17 Agustus 2017   00:39 1829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jaman semakin berubah, kini koneksi antar manusia yang melintasi benua terjadi dalam sentuhan jari (touchscreen) dan terasa tanpa batas (borderless) ketika mengakses dunia digital  (internet). Berkembangnya dunia internet membawa perubahan signifikan terhadap kondisi bangsa di dunia.  Di Indonesia, penggunaan jaringan  internet berkembang pesat. Pada tahun 2015 saja dengan jumlah penduduk kurang lebih 255,5 juta jiwa menunjukan bahwa pengguna aktif internet sebanyak 88,1 juta jiwa. Sedangkan, sebanyak 79,0 jiwa aktif di sosial media (sosmed). Menarik, koneksi internet yang ada justru menunjukan jumlah melebihi jumlah penduduk yaitu sebanyak 318,5 juta koneksi perangkat mobile. Jadi, setiap penduduk Indonesia rerata mempunyai 1-2 perangkat gadget. Dan, sebanyak 67 juta jiwa penduduk Indonesia mendapatkan predikat aktif dalam menggunakan sosial media.  

(Sumber: wearesocialsg)
(Sumber: wearesocialsg)
Infografis di atas menggambarkan Indonesia merupakan salah satu negara dipenuhi dengan penduduk  yang tergila-gila dengan sosial media. Perlu diketahui bahwa Sosial Media (Sosmed) adalah media yang memungkinkan penggunanya dapat dengan mudah membuat sebuah konten (multimedia) menggunakan teknologi web 2.0 (user generated content) dan menyebarkannya secara online seperti: Facebook, Instagram, Twitter, Tumblr, Path, dan Youtube. Aktivitas sosial media mencapai 79,72 persen, tertinggi di Asia (Global Web Index Survey, 2015).

Melonjaknya pengguna sosial media menunjukkan bahwa manusia dan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagai teman sejati.  Gejala tersebut sebagai Sociomateriality. Menurut Wanda J. Orlikowski  (2012) yang dipaparkan oleh  Henry Subiakto (Staf Ahli Menkominfo RI dan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga) pada sebuah diskusi publik tentang Bijak Bermedia Sosial di Yogyakarta 27 Mei 2016 menyatakan bahwa Sociomateriality merupakan manusia  dan teknologi komunikasi itu sudah menyatu, saling berinteraksi. Manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan termasuk ICT, terjadi mind change (Susan Grenfields, 2015). Ada generasi digital native, dan generasi digital immigrant, mereka sering berbeda dalam cara berpikir dan budayanya.

(Sumber: Henry Subiakto)
(Sumber: Henry Subiakto)
 

Cyber Crime

Sayang, sosial media justru memberi peluang timbulnya kejahatan dunia maya.  Apalagi, pemahaman tentang Literasi Media terhadap masyarakat khususnya pengguna sosial media masih rendah. Sebagai informasi bahwa Literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkonsumsikan isi pesan media. Hal ini perlu dipahami agar tidak terjebak atau menjadi pelaku kejahatan dunia maya. Banyak tindak kejahatan yang ada di sosial media, di antaranya:

  • Cyber Gambling (Perjudian);
  • Cyber Terrorism (Terorisme);
  • Cyber Fraud (Penipuan online);
  • Cyber Sex (Pornografi);
  • Cyber Narcotism (Narkotika);
  • Cyber Blackmail (Pemerasan);
  • Cyber Threatening (Pengancaman;
  • Cyber Aspersion (Pencemaran nama baik melalui internet), dan lain-lain.  

Perlunya pemahaman pengguna sosial media tentang cyber crime  bisa mencegah perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).  Ada beberapa pasal UU ITE bisa menjerat siapapun yang melakukan kejahatan, di antaranya:  

  1. Pasal 27 (illegal content); sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau  membuat  dapat diaksesnya IE dan atau DE yang memiliki muatan:

           a. melanggar kesusilaan;

           b. perjudian;

           c. penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;

           d. pemerasan dan/atau pengancaman

      2. Pasal 28 (illegal content) menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan  kerugian.

      3. menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian/permusuhan berdasarkan SARA.  Ancaman Pidana: Penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 M  (Pasal 45 ayat (1) dan (2))

      4. Pasal 29 (illegal content) dengan sengaja dan tanpa hak mengirinkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau  menakut-nakuti secara pribadi.  Ancaman: pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal 2 M  (Pasal 45 ayat   (3))

 

Status atau konten yang telah diunggah dalam sosial media bisa berdampak negatif kepada penggunanya. Oleh sebab itu, peribahasa "Jarimu Harimaumu" berlaku bagi semua pengguna sosial media. Apalagi, status berbau SARA, provokatif atau HOAX akan menimbulkan keresahan masyarakat. Dan, dampak negative dari sosial media begitu nyata terjadi di   Indonesia.

Masih ingatkah anda dengan Kasus Florence Sihombing yang menyita perhatian publik khususnya Yogyakarta. Kasus tersebut bermula ketika Florence Sihombing mengunggah status di Path yang berisi makian atau ungkapan marahnya dan menjelek-jelekkan warga Yogyakarta pada Agustus tahun 2014 lalu. Banyak tanggapan dari pengguna status sosial media tersebut. Bahkan, capture screen postingan Florence Sihombing juga disebarkan melalui Twitter dan broadcast BlackBerry Messenger.

(Sumber: Merdeka/Path.com)
(Sumber: Merdeka/Path.com)
Selanjutnya, Florence Sihombing dilaporkan oleh berbagai kelompok masyarakat Yogyakarta ke Polda DIY, dan berlanjut dengan rangkaian sidang beberapa bulan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Akhirnya, dalam sidang putusan terakhir, mahasiswi Program Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dari Medan, Sumatera Utara dijatuhi hukuman dua bulan penjara, masa percobaan enam bulan serta denda Rp 10 juta subsidersatu bulan penjara oleh majelis hakim. Sebuah kenyataan pahit dari sosial media.  

(Foto: VOA/Nurhadi).
(Foto: VOA/Nurhadi).
Lagi, kasus tawuran yang dipicu karena status di sosial media pernah terjadi di Papua.  Tawuran pelajar terjadi di Jalan Nangka D justru melibatkan 3 sekolah yakni SMK N 1 Aimas, SMA N 2 Aimas dan SMA YPK Bethel Aimas. Karena status di Facebook yang diduga dari salah satu pelajar SMKN 1 Aimas  mengandung unsur tantangan tawuran yang berisi tentang unggahan foto Kepsek SMA N 2 Aimas mengakibatkan puluhan siswa SMA N 2 Aimas menanggapinya dan menyambut tantangan itu. Puluhan siswa SMA N 2 Aimas yang tidak terima karena foto Kepseknya diunggah disertai tantangan tawuran kemudian menghubungi puluhan siswa SMA YPK Bethel Aimas untuk membantu melakukan tawuran.

Revolusi Mental untuk Ketahanan Keluarga

Dua contoh kejadian  nyata yang timbul karena status di sosial media di atas secara tidak langsung telah memberikan dampak buruk terhadap keluarga. Setidaknya, nama baik keluarga dipertaruhkan yang menimbulkan terkucilnya keluarga pelaku di mata masyarakat. Akhirnya, hubungan keluarga pelaku dengan masyarakat sekitar juga renggang. Bukan hanya itu, berakhirnya pelaku ke jeruji penjara juga menghambat kelanjutan pendidikan. Padahal, pendidikan yang baik di masa depan merupakan idaman keluarga.  

Belajar banyak dari kasus kurang bijak penggunaan sosial media, maka perlu adanya gerakan Revolusi Mental dalam Sosial Media.  Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pun melakukan Gerakan Nasional Revolusi Mental sesuai dengan Intruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2015). Perlu diketahui bahwa Revolusi Mental adalah gerakan nasional untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap-sikap, nilai-nilai dan perilaku Bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian. Revolusi Mental sering disebut Gerakan Hidup Baru Bangsa Indonesia. Dan, Revolusi Mental bertumpu pada 3 nilai-nilai dasar yaitu: 1. Integritas, 2. Etos kerja dan 3. Gotong royong.

Mengapa bangsa Indonesia perlu Revolusi Mental? Salah satu alasan Bangsa Indonesia membutuhkan Revolusi Mental adalah bangsa Indonesia sudah terlalu lama praktek-praktek dalam berbangsa dan bernegara dilakukuan dengan cara-cara tidak jujur, tidak memegang etika dan moral, tidak bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan dan tidak dipercaya. Dengan kata lain, kita kehilangan nilai-nilai integritas. Dalam pemakaian media digital khususnya sosial media pun demikian. Perlu adanya literasi media yang memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang dampak positif dan negatif tentang penggunaan media sosial. Semua elemen masyarakat dan stakeholders juga harus peduli tentang pemanfaatan media digital.

(Sumber: dokumen pribadi)
(Sumber: dokumen pribadi)
Betapa pentingnya Literasi Media agar pengguna gadget bijak dalam menggunakan sosial media menjadi ampuh untuk membina ketahanan keluarga. Keluarga yang berkualitas bagi bangsa seperti yang tertuang dalam UU No. 52 Tahun 2009 Pasal 48 ayat (1) yang berbunyi, "Kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga: a. Peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak; b. Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga".

Kita menyadari bahwa Ketahanan Keluarga bisa diakibatkan dari tindak kejahatan yang ditimbulkan dari pelanggaran dunia maya. Oleh sebab itu, sebagai tindakan "preventif", maka Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah kejahatan dunia maya (Cyber Crime). Peraturan perundang-undangan yang ada, seperti:  

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
  • UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
  • UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  • UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
  • UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang;
  • UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme; dan
  • UU  No. 11 Tahun 2011 tentang ITE.

Ketahanan keluarga merupakan salah satu modal besar untuk membangun  bangsa karena generasi bangsa yang berkualitas lahir di dalamnya. Menjaga ketahanan keluarga merupakan tugas bersama. Di era digital yang berkembang pesat, pemahaman tentang Literasi Media dalam wadah Revolusi Mental kepada generasi bangsa khususnya pengguna sosial media merupakan sebuah keniscayaan. Ketika peribahasa "Jarimu Harimaumu" sangatlah ampuh berdampak kepada ketahanan keluarga, maka bijak dalam menggunakan sosial media adalah cara terbaik untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat. Di mana, dampak positif tersebut mampu membangkitkan integritas, etos kerja dan gotong royong. Oleh sebab itu, bijak dalam sosial media merupakan implementasi kerja nyata dari Revolusi Mental.   Dirgahayu RI ke-72, Kerja Sama Membangun Bangsa.

Referensi:

Buku "Panduan Umum Gerakan Nasional Revolusi Mental" oleh Kementian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tahun 2017.

Paparan "Bermedia Sosial Secara Cerdas, Kreatif dan Produktif" oleh: Prof. Dr. Henry Subiakto (Staf Ahli Menkominfo RI dan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga).

Paparan "Kebijakan Penanggulangan  Kejahatan di Dunia Cyber" oleh Ismail Cawidu (Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang disampaikan dalam acara Sosialisasi Bijak Bermedia Sosialdi Yogyakarta, 27 Mei 2016.

Merdeka 

VOA Indonesia 

Radar Sorong 

Share di akun Sosial Media (Sosmed)

Facebook

Twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun