Sebelum Hari Raya Idul Fitri 2017 yang lalu, saya menyempatkan diri untuk mudik ke kampung halaman kedua bersama istri. Kampung halaman kedua yang berarti pulang ke kampung istriku di Kota Ngawi Jawa Timur. Tempat di mana saya berencanan akan menghabiskan masa tuanya. Insya Allah, jika Yang Maha Kuasa Menghendaki.
Banyak cara untuk melakukan pulang kampung alias mudik. Baik lewat jalur darat, laut maupun udara. Kali ini, saya melakukan ritual mudiknya melalui jalur darat. Bukan dengan numpang angkutan umum atau bus, tetapi dengan mengendarai sepeda motor. Berdua bersama mantan pacar (istri) untuk menempuh Denpasar-Ngawi yang jaraknya kurang lebih 700 km. Sementara, Â anak semata wayang saya sudah duluan pulang kampung dengan angkutan umum (bus).
Meski sudah beberapa kali saya mengukur jalan Denpasar-Ngawi, tetapi kondisi jalanan yang banyak berlubang, kondisi hujan dan suasana malam hari menjadi semakin horor dalam bayangan saya. Karena di jalur tersebut, saya sudah beberapa kali mengalami pecah ban (bocor) di malam hari. Pernah, saya harus mendorong sepeda motor puluhan kilometer dengan kondisi jalan berliku dan naik turun. Subahanallah, rasanya ingin menangis saja. Ditambah lagi, tulang-tulang rasanya seperti mau patah saja. Badan bagai melakukan terapi sauna, bercucuran keringat di malam hari. Di jalanan yang sepi dan malam hari. Duh gusti, ampunilah hamba. Kota Madiun, Jombang, Probolinggo, Pasuruan, Negara dan Tabanan (Bali) pernah menjadi saksi bisu. Alamakkk ...
Namun, di balik kesempitan yang luar biasa selalu saja ada pelajaran dan pengalaman menarik yang bisa dipetik. Karena, hal yang selalu saya lakukan tersebut adalah demi bertemu keluarga dan menghemat ongkos. Kata pepatah ddari guru Bahasa Indonesia saya waktu di SD dulu, "hemat pangkal kaya". Makanya, saya lakukan demi menempuh perjalanan Denpasar-Ngawi seperti sedang jalan-jalan saja. Jangan kaget, jika setiap kilometer jalan yang saya lalui menjadi akrab dengan saya. "Habis ini, sampai sini ... habis itu nyampai situ". Itulah kalimat yang selalu saya katakan pada mantan pacar agar perjalanan tidak membosankan.
Anyer-Panarukan
Yang menarik dari setiap melakukan perjalanan darat adalah jalur lintasan yang selalu menjadi kenang-kenangan sejak jaman Hindia Belanda. Ya, di  perbatasan Panarukan-Situbondo Jawa Timur kini telah dibangun monumen atau penanda batas akhir jalan legenda, Jalan Anyer-Panarukan atau yang disebut Jalan Daendels.  Jalan raya yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Jalan Pantura (Pantai Utara Jawa) membentang dari Anyer (Banten) -- Serang -- Tangerang -- Jakarta -- Bogor -- Sukabumi -- Cianjur -- Bandung -- Sumedang -- Cirebon -- Brebes -- Tegal -- Pemalang -- Pekalongan -- Kendal -- Semarang -- Demak -- Kudus -- Rembang  - Tuban -- Gresik -- Surabaya -- Sidoarjo -- Pasuruan -- Probolinggo - Panarukan.
Belajar dari sejarah bahwa jalan Anyer-Panarukan merupakan peninggalan mahakarya seorang Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang memerintah di pulau Jawa sejak tahun 1808-1811. Dan, saya merasakan takjub saat menatap monumen 1000km Anyer-Panarukan tersebut. Pikiran saya melayang jauh, tentang proses pembuatan jalan dan kekejaman Daendels yang memperkerjakan pribumi tanpa kenal ampun. Konon, hampir 12.000 nyawa pribumi yang dipekerjakan secara kerja rodi untuk membuat jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1000km mengalami siksaan dan meninggal sia-sia.
Disebut Jalan Pos dikarenakan jalan Anyer-Panarukan dahulu pada tiap-tiap 4,5 kilometer didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat untuk memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa.
Daendels bertekad untuk memperkuat pulau Jawa dengan membangun jalan agar bisa memobilisasi pasukannya dengan baik. Sayangnya, Daendels terkenal kejam dan bengis kepada pribumi guna merampungkan program yang ambisius tersebut. Itulah sebabnya, Jalan Anyer-Panarukan bisa diselesaikan hanya dalam waktu 1 tahun dan selesai pada tahun 1808 juga. Fantastis!