Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terima Kasih Ibu Kartini!

14 Maret 2017   13:08 Diperbarui: 14 Maret 2017   13:16 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para juara Jegeg Bagus Cilik Kota Denpasar tahun 2017 (Sumber: dokumen pribadi)

“Hawa tercipta di dunia, Untuk menemani sang Adam, Begitu juga dirimu, Tercipta tuk temani aku …”

Sepotong bait dari lagu yang didendangkan oleh musikus kondang Indonesia Ahmad Dani sangat familiar para penikmat musik. Lagu yang berisi tentang keberadaan sosok wanita yaitu Hawa yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk menemani rasa kesepiannya Nabi Adam As. Dan, lagu tersebut juga sangat pas untuk menunjukan rasa cinta seorang pria terhadap wanita bahwa kehadirannya benar-benar untuk melengkapi sang dirinya.

Wanita memang makhluk yang fenomenal, romantis dan tiada habis untuk diungkapkan dalam kata-kata, puisi, lagu dan lain-lain. Karena, Tuhan Yang Maha Esa memang menciptakan wanita adalah keindahan. Mereka adalah sosok yang lemah, yang tercipta dari tulang rusuk pria yang bengkok. Oleh sebab itu, perlu sentuhan, perkataan, dan komunikasi yang lemah lembut agar bisa masuk di hati. Dengan kata lain, berbicara keras atau membentak kepada wanita bukanlah cara terbaik untuk mendidik, tetapi pembicaraan heart to heart akan memberikan hasil maksimal.      

Kartini, Sosok yang Terjajah

Namun, pernahkan kita pahami bahwa nasib kaum wanita sungguh menyedihkan pada jaman dahulu. Masa sebelum “Raden Ajeng (RA) Kartini” dari Jepara Jawa Tengah menggelorakan tentang semangat Emansipasi Wanita. Di mana, perlunya kesetaraan gender antara pria dan wanita dalam melakukan apapun. Kegelisahan Kartini yang melihat kaum wanita yang ada di sekelilingnya menjadi jajahan para pria. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain sebagai Konco wingking (teman di belakang) yaitu: kasur, dapur, sumur. Kondisi ini menujukan bahwa derajat wanita tidak berharga sama sekali.

Perasaan gelisah tersebut dibuat dalam tulisan yang akhirnya mendunia dan memberikan inspirasi bagi wanita Indonesia, “Habis Gelap Terbitlah terang”. Kaum wanita yang terkungkung selama berabad-abad, kini bisa melakukan apapun layaknya seperti pria. Itulah sebabnya, setiap tanggal 21 April yang merupakan tanggal kelahiran RA Kartini diperingati sebagai “Hari Kartini”. Peringatan tersebut menunjukan bahwa derajat kaum wanita tidak berbeda dengan kaum pria. Kaum wanita bisa berkontribusi di bidang apapun sesuai dengan minat dan kemampuannya.      

Kemeriahan peringatan Hari Kartini bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Anak negeri yang berada di belahan dunia juga tidak mau kalah untuk memperingati sang tokoh Emansipasi Wanita tersebut seperti peringatan Hari Kartini yang akan diadakan di Museum Seitingen-Oberflacht, Landkreis Tuttlingen, negara bagian Baden-Württemberg, Jerman pada tanggal 29 April 2017 nanti. Lalu, apa yang menarik dari setiap peringatan Hari Kartini? Hari Kartini adalah saat dimana kaum wanita mampu menunjukan kodrat sejatinya. Kontribusi besar yang diberikan oleh RA Kartini mampu membuat kaum wanita setara dengan kaum pria. Namun, di Hari Kartini kaum wanita mampu menunjukan jati diri atau feminismedengan memakai kebaya atau pakaian tradisional.

Kita akan melihat para wanita dan pria memakai pakaian tradisional daerah masing-masing saat peringatan Hari Kartini. Ada 3 hal mendasar yang perlu dipahami dengan memakai pakaian tradisional tersebut, yaitu: 1) Rasa perhormatan atau terima kasih yang luar biasa kepada sosok RA Kartini yang telah merubah nasib kaum wanita mampu sederajat dengan kaum pria; 2) Rasa kebanggaan terhadap budaya daerah (kearifan lokal/local wisdom) dalam ranah Bhinneka Tunggal Ika; 3) Kaum pria mendukung sepenuhnya bahwa kaum wanita bisa lebih tinggi dari kaum pria tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita.   

Kartini Masa Kini

Kini, kaum RA Kartini bisa bernafas lega karena mereka bisa menggali potensi yang dimilikinya. Bahkan, sudah banyak wanita yang telah menjadi petinggi negeri ini seperti Presiden, Menteri, pejabat teras BUMN dan lain-lain. Gaya pakaian kaum wanita pun semakin modis mengikuti gaya terkini yang sedang digandrungi anak muda atau artis tenar. Namun, sangat disayangkan bahwa kebebasan kaum wanita dan pria dalam hal berpakaian kadangkala mengalami kebablasan. Banyak wanita yang lebih nyaman berpakaian seksi dan mini. Bukan hanya itu, mereka berselfie atau wefie ria untuk diupload di sosial media (sosmed) untuk mendongkrak rating atau like.

Mereka yang mengumbar aurat tidak menyadari bahwa kapan saja bisa menjadi korban kejahatan. Seandainya, kaum wanita menyadari bahwa tubuh yang mereka miliki adalah aurat maka mereka tidak mudah untuk mempertontonkan ke ranah publik. Mungkin, jika RA Kartini masih hidup hingga sekarang akan menangis melihat fenomena ini. Kita sudah sering mendengar dan melihat aksi kejahatan yang berawal dari pose “syur“ wanita. Jadi, kaum wanita hendaknya menyadari betul bahwa berpakaian yang sewajarnya adalah jauh lebih baik. Bahkan, dengan memakai pakaian tradisional khas daerah yang ada di seluruh Nusantara maka timbul rasa Berbeda-beda tetapi satu jua.  

Sekarang, masihkan kaum wanita mau memakai pakaian tradisional? Saya jawab, ya. Silahkan anda berkunjung ke pulau Bali. Kaum wanita memakai pakaian tradisional merupakan sebuah kebiasaan atau adat istiadat dalam sebuah upacara keagamaan. Berbagai acara yang bernuansa kedaerahan pun sering diadakan secara rutin. Kaum wanita dengan memakai kebaya (endek) khas Bali memberikan kesan cantik dan elegan. Di bawah ini merupakan pakaian tradisional yang dipakai dari rombongan pemuda-pemudi (Sekaa Teruna-teruni) untuk menghadiri sebuah upacara keagamaan (Omed-omedan).         

Kaum wanita berpakaian tradisional untuk menghadiri upacara keagamaan (Sumber: dokumen pribadi)
Kaum wanita berpakaian tradisional untuk menghadiri upacara keagamaan (Sumber: dokumen pribadi)
Tidak berbeda jauh dengan tampilan pakaian tradisional dari Sekaa Teruna-teruni diatas, gambar di bawah juga menunjukan kaum wanita dan pria memakai pakaian tradional untuk mementaskan sebuah cerita khas Bali. Mereka tidak merasa canggung sedikitpun untuk mengenakan pakaian tradisional agar dikenal masyarakat. Lihat tampilan kaum wanitanya, memberikan kesan cantik dan modis, bukan?

Baik wanita maupun pria tampil elegan dengan pakaian tradisonalnya untuk mementaskan sebuah cerita tradisional (Sumber: dokumen pribadi)
Baik wanita maupun pria tampil elegan dengan pakaian tradisonalnya untuk mementaskan sebuah cerita tradisional (Sumber: dokumen pribadi)
Berbalut pakaian tradisional, baik wanita maupun pria bukan berarti ketinggalan mode. Tetapi, menunjukan jiwa nasionalisme demi memajukan budaya daerah ke pentas dunia. Bukan hanya itu, wanita dan pria justru kelihatan lebih anggun. Apalagi, dengan riasan yang cocok membuat wanita dan pria lebih menawan. Anda bisa melihat foto di bawah ini, di mana pria dan wanita berpakaian tradisional untuk mementaskan sebuah tarian kolosal mengenai Gebug Seraya khas Karangasem Bali. Pakaian yang melekat menggambarkan tentang batik dan bawahannya merupakan kain endek yang merupakan kain identitas masyarakat Bali.     

Penari pria dan wanita memakai pakaian tradisional untuk mementaskan cerita Gebuk Seraya khas Karangasem Bali (Sumber: dokumen pribadi)
Penari pria dan wanita memakai pakaian tradisional untuk mementaskan cerita Gebuk Seraya khas Karangasem Bali (Sumber: dokumen pribadi)
Memakai pakaian tradisional memang diajarkan sejak dini. Bukan hanya pada wanita, tetapi pada pria pun budaya memakai pakaian tradisional hendaknya menjadi sebuah kebiasaan. Di bawah ini, merupakan contoh anak pria dengan usia 7 tahun yang memakai pakaian tradisional untuk menghadiri sebuah pentas seni di kawasan SOS Children Village di Selemadeg Tabanan Bali. Memakai pakaian tradisional justru semakin memberikan identitas daerahnya. Jadi, siapa yang akan mengenalkan pakaian tradisional ke pentas dunia kalau bukan kita sebagai anak bangsa.  

Seorang anak kecil asuhan SOS Children Village Tabanan Bali memakai pakaian tradisional (Sumber : dokumen pribadi)
Seorang anak kecil asuhan SOS Children Village Tabanan Bali memakai pakaian tradisional (Sumber : dokumen pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun