Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Nature

Percayalah, Masih Ada Waktu untuk Membenahi Kerusakan Lingkungan Hidup Kita

9 November 2016   14:48 Diperbarui: 5 Juni 2018   11:36 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran hutan telah menghilangkan ekositem hutan yang hidup di dalamnya (Sumber: Reuters)

Pemanasan global (global warming) selalu menjadi pembahasan penting ketika kita membicarakan masalah lingkungan. Iklim yang berjalan tidak seperti biasanya karena ada pendorongnya. Itulah sebabnya perubahan iklim menjadi pembahasan penting di tingkat dunia. 

Kita masih ingat pada bulan Desember 2007 lalu, pertemuan tingkat tinggi tentang perubahan iklim yang diselenggarakan oleh United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC) di Bali yang menghasilkan Bali Roadmap.Pada pertemuan tingkat tinggi tersebut belum menghasilkan kesepakatan yang berarti untuk dibawa ke pertemuan selanjutnya di Warsawa (Polandia) dan Copenhagen (Denmark) pada tahun 2009.

Ramah Lingkungan

Mengenai lingkungan, mantan Menteri Lingkungan Hidup era Orde Baru (1978-1993), Emil Salim mengatakan,”Lingkungan Hidup tak pernah menjadi agenda utama bangsa Indonesia. Lingkungan hidup hanya menjadi etalase pembangunan selama tiga dekade terakhir. Kini saatnya mengubah sejarah dan haluan bangsa kita!”.

Lagi, pada acara Second South East Asia Water Forum di Nusa Dua Bali, mantan menteri Pekerjaan Umum era Presiden SBY Kirmanto juga mengatakan, “Kondisi lingkungan sekarang sangat memprihatinkan dan jelek. Kondisi daerah tangkapan air di kawasan upper watershed banyak terjadi penggundulan hutan, dan praktek-praktek pengolahan tanah yang tak sesuai dengan kaidah yang betul”. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa lingkungan negeri kita dalam keadaan memprihatinkan.  

Menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997, lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 

Di dalamnya mengandung ekosistem yang merupakan tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Untuk menciptakan lingkungan hidup yang berkualitas memerlukan  3 (tiga) komponen utama, yaitu 1) terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati, 2) terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup manusiawi dan 3)  terpenuhinya kebebasan untuk memilih.  

Jika salah satu komponen tersebut tidak ada maka lingkungan hidup kita sedang mengalami kerusakan, di mana terjadi proses deteriorasiatau penurunan mutu (kemunduran) lingkungan. Deteriorasi lingkungan ini ditandai dengan hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem. Kita memahami bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh 2 faktor penting yaitu alam dan manusia. 

Namun, faktor manusia yang tidak ramah lingkungan merupakan penyebab besar dari kerusakan lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.

Banyak masalah lingkungan yang sedang dihadapi di Indonesia saat ini seperti penebangan hutan secara liar atau pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan; asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen atau tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam (suaka margasatwa); perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah tanpa pemisahan atau pengolahan; hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara. 

Masalah-masalah tersebut membutuhkan perhatian serius dari semua kalangan. Butuh aksi nyata untuk menciptakan lingkungan  yang berdaya guna bagi kehidupan manusia.

Kita menyadari bahwa lingkungan hidup yang kita tempati sebagian besar sudah mengalami pencemaran. Mengapa? Hal ini  dapat ditunjukkan dengan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang terdiri atas 3 (tiga)  indikator utama yaitu Indeks Kualitas Udara (IKU), Indeks Kualitas Air (IKA), dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL). 

Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar menyatakan bahwa  IKU sebesar 84,96 yang berarti kondisinya sangat baik, IKA sebesar 53,10 menunjukan kondisinya sangat kurang. Sedangkan IKTL sebesar 58,55 berarti kondisinya kurang.

Selanjutnya, sebagai acuan bahwa Environmental Performance Index (EPI) yang dirilis secara periodik oleh Yale University, Amerika Serikat edisi 2012 menunjukan bahwa Indonesia masuk kelompok “biasa-biasa saja” (Modest Performers) dan menduduki urutan ke-74. 

Kondisi ini masih kalah dari negara tetangga yang masuk dalam kelompok “Strong Performers”, seperti Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina. Beberapa parameter, serta perkiraan kualitas lingkungan Indonesia di masa depan berdasarkan analisis Yale University dapat digambarkan sebagai berikut.

Analisa Yale University tentang Lingkungan Indonesia (Sumber: gunadarma.ac.id)
Analisa Yale University tentang Lingkungan Indonesia (Sumber: gunadarma.ac.id)
Dari grafik di atas menunjukan bahwa  prediksi lingkungan Indonesia  disajikan pada kolom “Pilot Trend Result”. Analisa menunjukan  bahwa Indonesia akan membaik pada aspek kesehatan lingkungan, namun bisa memburuk untuk indikator vitalitas ekosistem (Ecosystem Vitality). 

Yang menggembirakan bahwa hanya parameter pertanian yang diperkirakan membaik. Sedangkan, 6 (enam) parameter ekosistem lainnya diramalkan akan tetap mengkhawatirkan seperti udara, keanekaragaman hayati dan habitat, perubahan iklim, perikanan, kehutanan dan sumber air. 

Perlakuan manusia yang tidak ramah lingkungan bisa menyebabkan banyak bencana. Negeri ini mungkin sudah kenyang dengan bencana dan sepertinya sudah terbiasa mengalaminya. Bencana kerap terjadi dari ujung pulau Sumatera hingga Papua. 

Sebagai catatan, pada periode tahun 2006-2007, tercatat telah terjadi 840 kejadian bencana, dengan menelan korban 7.303 jiwa meninggal dunia dan 1.140 dinyatakan hilang, sedikitnya 3 juta orang menjadi pengungsi dan 750.000 unit rumah rusak atau terendam banjir. Apalagi, baru-baru ini bencana banjir dan longsor telah menimpa saudara-saudara kita di Kabupaten/Kota Bandung dan  Kabupaten Garut Jawa Barat. 

Banjir bandang di Kampung Patrol, Desa Nanjung Mekar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Rabu (13/9/2016) (Sumber: disini)
Banjir bandang di Kampung Patrol, Desa Nanjung Mekar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Rabu (13/9/2016) (Sumber: disini)
Kita tidak perlu menyalahkan kondisi alam. Karena apa yang terjadi di alam sesungguhnya adalah perlakuan kita yang kurang bersahabat. Bencana alam memang memberikan kerugian besar bagi kita. 

Oleh sebab itu, kita perlu kesadaran untuk memperlakukan lingkungan sebaik-baiknya. Jika, lingkungan kita dipergunakan tidak sebagaimana mestinya atau tidak sesuai dengan tata guna lahan yang disarankan maka bencana banjir atau longsor akan mengintai kita kapan saja. Berikut salah satu video yang menunjukkan bencana tanah longsor yang terjadi di Dusun Jemblung, di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah berada di sebuah lembah kecil, dengan perbukitan di belakangnya.

[Video] Amatir Detik-Detik Tanah Longsor Timbun Ratusan Rumah di Banjarnegara (Sumber: VIVAnewsChannel)

Menjaga Hutan

Hal terpenting agar lingkungan hidup yang kita tinggali tetap bersahabat dengan kita adalah perlunya menjaga kelestarian hutan. Banyak musibah yang kita alami berpuluh-puluh tahun lamanya karena kita mengesampingkan fungsi hutan yang ada. Indonesia sesungguhnya kaya akan hutan. Berdasarkan data yang diperoleh, Indonesia mempunyai hutan tropis dunia sebesar 10 persen. 

Lebih mengagumkan, sekitar 12% keadaan hutan di Indonesia merupakan bagian dari jumlah binatang yang tergolong jenis mamalia, 16% persen merupakan bagian dari spesies amphibi dan binatang sejenis reptil dan 25% dari bagian spesies sejenis burung dan sekitar 1.519 merupakan bagian dari spesies burung. Sisanya merupakan endemik yang hanya dapat ditemui di daerah tersebut.

Namun, kebanggaan tersebut sepertinya hilang begitu saja. Karena ratusan tumbuhan dan hewan Indonesia yang langka dalam kondisi  terancam punah. Menurut catatan Interational Union Conservation of Nature(IUCN)Redlist, sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127 tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi yaitu status Critically Endangered (Kritis), serta 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk kategori Endangered(bahaya/terancam), serta  557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus Vulnerable.  

Kebakaran hutan telah menghilangkan ekositem hutan yang hidup di dalamnya (Sumber: Reuters)
Kebakaran hutan telah menghilangkan ekositem hutan yang hidup di dalamnya (Sumber: Reuters)
Semakin kritisnya kondisi hutan juga disebabkan karena semakin dibukanya konversi hutan secara terus-menerus seperti alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Di tambah lagi, rendahnya produktifitas perkebunan kelapa sawit Indonesia merangsang pembukaan lahan baru. 

Sebagai contoh, studi Climate Policy Initiative (CPI) tahun 2015 menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah lebih rendah 13% dari angka rata-rata nasional dan 23% dibandingkan dengan Malaysia. Tingginya permintaan dunia akan Crude Palm Oil (CPO) mendorong pembukaan lahan lebih banyak lagi di provinsi yang memiliki 10% dari total hutan Indonesia.

Yang mengerikan adalah konversi kawasan-kawasan hutan terus dilakukan untuk perkebunan swasta skala besar, pertambangan, dan kebutuhan industri. Menurut Alamendah.org menyatakan bahwa laju deforestasi (penebangan liar) mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Padahal, hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian flora dan fauna.

Konversi hutan juga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan para investor. Munculnya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) memberikan keleluasaan dan keistimewaan kepada pemodal (private sector) untuk memperoleh manfaat dari bumi Indonesia di antaranya Hak Guna Usaha (HGU) yang mencapai 95 tahun, keringanan berbagai bentuk pajak, hingga terbebas dari nasionalisasi. 

Undang-undang tersebut memberikan ruang gerak investor  untuk pemanfaatan lahan perkebunan kelapa sawit. Lebih menguntungkan  adalah keluarnya kebijakan pemerintah berupa program kredit khusus guna mendukung revitalisasi perkebunan dengan menjanjikan kredit modal usaha dengan bunga hanya 10 persen bagi para investor.

Pengusaha diberi keuntungan bukan hanya aspek permodalan, tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa pengusaha perkebunan kelapa sawit diberi keleluasaan menguasai areal hingga 100.000 hektar di satu wilayah provinsi atau kabupaten. 

Padahal, sebelumnya swasta hanya hanya memiliki kebun seluas 20.000 hektar (merujuk pada SK Menteri Pertanian Nomor 357 Tahun 2002). Kebijakan tentang luasan perkebunan kelapa sawit inilah yang merangsang perambahan hutan lebih banyak lagi.  

Kesalahan besar adalah tidak adanya kebijakan jeda tebang (moratorium logging) yang menimpa hutan kita. Celakanya, Pemerintah justru mempercayakan pengelolaan hutan Indonesia pada mekanisme pasar global melalui proposal REDD-I (Reduce Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia). Akibatnya, kondisi hutan diacak-acak sesuai dengan pangsa pasar yang ada. 

Kondisi ini menunjukan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia tergadaikan atas sumber daya hutan, sekaligus menapikan kepentingan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan terhadap ekosistem hutan. Masyarakat di sekitar hutanlah yang akan menanggung akibatnya kala musim penghujan tiba. Bencana banjir dan tanah longsor tidak bisa terhindarkan lagi.  

Diguyur hujan deras, sebuah tebing di Gunung Kidul Yogyakarta Longsor (Sumber: disini)
Diguyur hujan deras, sebuah tebing di Gunung Kidul Yogyakarta Longsor (Sumber: disini)
Kerusakan hutan di Indonesia memang dalam kondisi mengharukan. Menurut State of the World’s Forests2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO) menunjukan bahwa angka kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. 

Akibatnya, dari 133 juta ha luas hutan Indonesia, hanya 23 persen saja yang masih berupa hutan primer dan terbebas dari kerusakan. Sisanya 77 persen sudah mengalami konversi atau penebangan liar. Berikut, contoh foto yang menunjukan kondisi hutan di beberapa provinsi di Indonesia.

Kondisi hutan Indonesia yang semakin mengharukan (Sumber: Greenpeace/mongabay.co.id/blog.ac.id)
Kondisi hutan Indonesia yang semakin mengharukan (Sumber: Greenpeace/mongabay.co.id/blog.ac.id)
Bahkan, jika dipantau dari udara, kerusakan hutan Kalimantan yang disebabkan karena konversi hutan menjadi tambang batubara sangat jelas terlihat. Kita bisa melihat penampakan danau beracun dan kerusakan bentang alam yang akan bertahan selama ratusan tahun. Kerusakan lingkungan yang terjadi karena perlakuan tidak ramah lingkungan berdampak kepada masyarakat. Ingin lebih jelas, yuk kita lihat videonya.

Hutan Kalimantan (Sumber:Liu Purnomo/Greenpeace Indonesia)

 Kondisi lingkungan yang tidak bersahabat juga memberikan pengaruh terhadap sektor pertanian. Gagal panen karena banjir atau cuaca yang tidak bersahabat mengakibatkan kerugian pada petani. Banyak faktor yang menentukan kegagalan pertanian. Kita berharap banyak bahwa praktek pertanian bisa memberikan keuntungan yang berlimpah. 

Tentunya, praktek pertanian yang ramah lingkungan. Oleh sebab itu, praktek-praktek indigenus (asli) merupakan praktek pertanian masa depan yang ramah lingkungan jika dan hanya jika memenuhi tiga prasyarat, yaitu: 1) Motif produksinya adalah subsisten; 2) Tekanan penduduk rendah; dan 3) Kelimpahan sumberdaya (resources endowment) tinggi. Jika salah satu prasyarat tidak ada maka akan bergeser ke arah praktek pertanian yang tidak ramah lingkungan.

Perlakuan manusia yang tidak ramah lingkungan juga berakibat terhadap kandungan sumber air minum. Berkurangnya kondisi hutan yang ada menyebabkan berkurangnya kandungan air dalam tanah. Apalagi, minimnya kebiasaan menanam pohon pada masyarakat membuat kurangnya kandungan resapan air. 

Oleh sebab itu, masyarakat hendaknya menanami pepohonan setiap jengkal tanah yang ada. Pembuatan lubang Biopori juga ikut andil dalam menambah jumlah ressapan air dalam tanah. Ditambah lagi dengan pembuatan sumur-sumur resapan yang berfungsi untuk persediaan air kala musim kemarau tiba. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir kondisi resapan air Indonesia tahun 2014, sebagai berikut:

Kondisi daerah resapan air menurut Provinsi di seluruh Indonesia (Sumber: www.bps.go.id)
Kondisi daerah resapan air menurut Provinsi di seluruh Indonesia (Sumber: www.bps.go.id)
Dari tabel di atas menunjukan bahwa jumlah sumur resapan tiga tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Banten. Jumlah resapan air karena keberadan lubang biopori tiga tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Banten. 

Sedangkan, kondisi tanah yang ad ataman atau berumput tiga tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Barat, Papua Barat dan Papua. Jika dirata-ratakan seluruh Indonesia maka kandungan sumur resapan sebesar 1,05 persen, lubang biopori, 0.83 persen dan taman/tanah berumput sebesar 25,47 persen.

Salah satu kebiasaan buruk masyarakat yang tidak ramah lingkungan adalah membuang sampah sembarangan. Berbagai jenis sampah, baik rumah tangga atau industri dibuang begitu saja ke aliran sungai. Akibatnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami kerusakan yang  meliputi aspek biofisik atau kualitas air. 

Perlu diketahui bahwa Indonesia memiliki sedikitnya 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai. Dari 5,5 ribu sungai utama panjang totalnya mencapai 94.573 km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai 1.512.466 km2.

Masyarakat perlu menyadari bahwa sungai bukan hanya mempunyai fungsi hidrologis tetapi juga mempunyai peran dalam menjaga keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata dan lainnya. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan hendaknya masyarakat peduli guna pelestarian lingkungan DAS. 

Karena kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) mengakibatkan kondisi kuantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan kemarau,   penurunan cadangan air serta tingginya laju sendimentasi dan erosi dan  terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.

Limbah domestik mencemari sungai (Sumber: di sini)
Limbah domestik mencemari sungai (Sumber: di sini)
Saya memahami bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat berguna bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, beberapa DAS di Indonesia mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah untuk pemulihan kualitas air, yakni:
  • Sungai Ciliwung; Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta dengan DAS seluas 97.151 ha;
  • Sungai Cisadane; Provinsi Jawa Barat dan Banten dengan DAS seluas 151.283 ha;
  • Sungai Citanduy; Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan DAS seluas 69.554 ha;
  • Sungai Bengawan Solo; Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan DAS seluas 1.779.070 ha.
  • Sungai Progo; Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dengan DAS seluas 18.097 ha;
  • Sungai Kampar; Provinsi Sumatera Barat dan Riau dengan DAS seluas 2.516.882 ha;
  • Sungai Batanghari; Provinsi Sumatera Barat dan Jambi dengan DAS seluas 4.426.004 ha;
  • Sungai Musi; Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan dengan DAS seluas 5.812.303 ha;
  • Sungai Barito; Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan dengan DAS seluas 6.396.011 ha;
  • Sungai Mamasa (Saddang); Provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan dengan DAS seluas 846.898 ha;

Sedangkan, sungai strategis nasional lainnya yang tidak kalah mendapatkan perhatian serius pemerintah adalah:

  • Sungai Citarum; Provinsi Jawa Barat dengan DAS seluas 562.958 ha;
  • Sungai Siak; Provinsi Riau dengan DAS seluas 1.061.577 ha;
  • Sungai Brantas; Provinsi Jawa Timur dengan Daerah Aliran Sungai seluas 1.553.235 ha;

Kerusakan lingkungan DAS juga menjadi perhatian dunia. Salah satunya adalah kondisi Sungai Citarum yang merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat mencapai lebih dari 300 km.  Pada bulan Agustus 2010, situs huffingtonpost.com (Amerika Serikat) menganugerahi Sungai Citarum sebagai salah satu dari 9 (Sembilan) sungai paling tercemar di dunia. 

Bahkan, pemerintah Indonesia pada tahun 2009 menyatakan bahwa Sungai Citarum termasuk salah satu di antara 13 sungai dengan tingkat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) tertinggi di Indonesia.

Hal ini dikarenakan Sungai Citarum mengandung kadar polutan jauh melebihi ambang aman bagi manusia dan lingkungan, seperti: 1) kadar timbal 1.000 kali lebih lebih tinggi dari standar air minum U.S. Enviromental Protection Agency (USEPA) atau Badan Pelindungan Lingkungan Amerika; 2) konsentrasi mangan 4 (empat) kali lipat lebih tinggi dibanding ambang aman; 3) konsentrasi aluminium mencapai 97 ppb (ambang aman adalah 32 ppb);  dan 4) kandungan besi yang mencapai 194 ppb (ambang aman adalah 66 ppb). Bahkan, Wakil Gubernur (Wagub) Dedy Mizwar pernah melakukan pengamatan langsung kondisi Sungai Citarum yang airnya menghitam. Kita bisa melihat videonya berikut ini.

[PARAH] Mata Kamera - Investigasi Pencemaran Sungai Citarum - April 2016 (Sumber: Mahfudz Sabana)

Kerusakan kondisi DAS bukan hanya terjadi di Jawa Barat. Di pulau Kalimantan juga menjadi DAS dengan tingkat polutan tertinggi di dunia. Tak tanggung-tanggung, pulau Kalimantan dianugerahi sebagai salah satu dari “Top Ten Toxic Threats in 2013” karena kandungan merkuri dan kadmium yang tinggi akibat proses penambangan yang marak terjadi. 

The United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) memperkirakan sedikitnya 1.000 ton merkuri dilepaskan setiap tahunnya. Sebuah kenyataan yang menyulut perhatian kita bersama.

Kerusakan lingkungan juga terjadi pada daerah pesisir pantai. Jika kita berkunjung ke kawasan wisata seperti pulau Bali, maka kita akan melihat bangunan hotel atau villa yang bersentuhan langsung dengan pantai. Memang sangat menguntungkan untuk menarik minat wisatawan. Tetapi, di sisi lain ada akibat yang harus ditanggung bersama yaitu kerusakan pesisir pantai. 

Penataan pantai yang tidak semestinya menyebabkan terjadinya abrasi. Banyaknya pembangunan yang terjadi di pesisir pantai terjadi akibat dikeluarkannya Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUWP-PPK) yang disahkah pada tanggal 26 Juni 2007.

Undang-undang UUWP tersebut  menjadi landas kebijakan untuk memprivatisasi wilayah perairan, pesisir (termasuk kolam air) dan pulau-pulau kecil melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Penguasaan wilayah perairan, pesisir  dan pulau-pulau kecil dengan masa penguasaan selama 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk 20 tahun berikutnya. 

Bahkan, dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan efek  pengamanan garis pantai di seluruh Indonesia masih belum terwadahi secara maksimal.

Pengamanan garis pantai yang tidak komprehensif berakibat terjadinya kerusakan garis pantai yang mencapai 20 persen dari total 95.000 km garis pantai di sepanjang wilayah Indonesia. 

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Dr Moch Amron, di Kementerian PU tanggal 30 September 2010 melaporkan bahwa kerusakan garis pantai di Indonesia senada dengan apa yang terjadi mencapai 20 persen. Ditambah lagi dengan ekosistem mangrove (hutan bakau) terus mengalami penyempitan, hingga menyisakan kurang dari 1,9 juta hektar sepanjang pesisir Indonesia.

Luas Pulau Batam yang mencapai 41.500 hektare, hingga awal 2015 luasnya tinggal 1.743 hektare. Luas tersebut juga dipastikan terus menyusut hingga September 2015 pengaruh abrasi laut karena luas mangrove Batam turun drastis (Sumber: di sini)
Luas Pulau Batam yang mencapai 41.500 hektare, hingga awal 2015 luasnya tinggal 1.743 hektare. Luas tersebut juga dipastikan terus menyusut hingga September 2015 pengaruh abrasi laut karena luas mangrove Batam turun drastis (Sumber: di sini)
Sebagai informasi, pulau Bali yang merupakan surga wisata dunia juga menyisakan sisi kelam mengenai kondisi pesisir pantai. Kuantitas  mangrove yang terus menyusut membutuhkan perhatian serius dari Pemrintah. Bahkan, aktifis lingkungan Wayan “Gendo” Suardana memberikan pernyataan bahwa kondisi mangrove di pulau Bali dalam kondisi yang tidak diharapkan atau terancam. 

Akibat dari rusaknya garis pantai ini dapat berpengaruh pada terhadap sektor pariwisata, transportasi laut, keberadaan lahan produktif dan keanekaragaman hayati. Untuk lebih jelasnya, kita bisa melihat tayangan video berikut ini.

Hutan Mangrove Makin Terancam - Seputar Bali - Bali TV (Sumber: balitvnews)

Tindakan Ramah Lingkungan Masih Ada

Kepedulian terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Dan, pemahaman tentang arti penting lingkungan sudah  didengungkan sejak era Orde Baru.  Apalagi, sosialisasi lingkungan di kawassan pendidikan sangatlah penting. Pada tahun 1979 di bawah koordinasi Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Meneg PPLH) dibentuklah Pusat Studi Lingkungan (PSL) di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, di mana pendidikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mulai dikembangkan.

 Untuk lebih meneguhkan komitmen pemerintah di sektor lingkungan, pada tahun 1996 dilakukan kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Kemen LH), yang diperbaharui tahun 2005 dan 2010 untuk mengembangkan program pendidikan lingkungan hidup pada jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui program Adiwiyata. 

Program ini bertujuan mewujudkan warga sekolah yang bertanggung jawab dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui tata kelola sekolah yang baik untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Hasilnya,  partisipasi sekolah sejak tahun 2006-2011 saja mencapai 1.351 sekolah dari 251.415 sekolah (SD, SMP, SMA, SMK) Se‐Indonesia.

Mewujudkan lingkungan yang bersahabat dengan kita juga perlu kontribusi nyata. Hidup bersih merupakan salah satu tindakan yang ramah lingkungan.  Merujuk pada UU Nomor 18 Tahun 2008 yang mengamanatkan bahwa upaya pengelolaan sampah dan sanitasi merupakan problem yang harus ditangani oleh seluruh pihak secara bersama-sama, baik perorangan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga (termasuk Pemerintah dan Pemerintah Daerah), maupun dunia usaha. 

Senada dengan regulasi tersebut muncul Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang pada intinya memberikan landasan yang lebih kuat bagi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dari berbagai aspek antara lain legal formal, manajemen, teknis operasional, pembiayaan, kelembagaan, dan sumber daya manusia.

Dengan adanya peraturan-perturan di atas, maka di era Presiden SBY melahirkan sebuah gerakan nasional yang peduli lingkungan yang dinamakan Gerakan Indonesia Bersih. Gerakan nasional tersebut melibatkan 15 (lima belas) Kementerian dan Lembaga. 

Adapun, kegiatan yang  dilakukan meliputi: 1) Peningkatan partisipasi masyarakat melalui kampanye dan edukasi; 2) Penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah dan sanitasi; 3) Operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan sampah dan sanitasi; 4) Pengembangan peraturan dan penegakan hukum; dan 5) Pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pengelolaan sampah dan sanitasi.

Azas desentralisasi menimbulkan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing Kepala Daerah berbeda-beda sesuai dengan kepentingan daerahnya. Tindakan  diskresi Kepala Daerah tersebut kadangkala menimbulkan polemik bagi masyarakat. Kita memahami bahwa kebijakan daerah yang ada tidak sepenuhnya berpihak pada kaum berduit. 

Menurut Suzanti Sitorus, Direktur Climate Policy Initiative Indonesia, beberapa peluang dapat dimanfaatkan agar daerah tidak terjerumus ke dalam persoalan lingkungan yang lebih buruk. Hal ini dilakukan agar kebijakan yang ada bisa memberikan nilai positif bagi masyarakat.

Adapun, peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan tersebut adalah 1) komitmen pemimpin daerah yang tinggi menjadi kunci untuk membuka partisipasi pihak-pihak yang ingin membantu perbaikan dan pelestarian lingkungan; 2) tuntutan akan keberlanjutan (sustainability) dalam rantai pasok kelapa sawit oleh perusahaan pembeli dan pengguna CPO, pemerintah Indonesia dan negara-negara pengimpor, merupakan peluang bagi pemerintah daerah, industri dan petani untuk memperbaiki praktik-praktik pertanian agar penggunaan lahan yang ada dapat lebih optimal dan pada saat yang sama menjaga wilayah bernilai konservasi tinggi dari ekspansi pertanian; 3) kegelisahan yang disampaikan oleh masyarakat terkait pembagian manfaat dari keberadaan industri sawit sebetulnya merupakan pengingat bahwa peningkatan produktivitas pertanian harus diikuti dengan pengembangan industri hilir berlokasi di daerah yang sama.

Kondisi pesisir pantai yang semakin terancam juga menggerakan masyarakat untuk berbuat sebisanya. Dikeluarkannya Program Rantai Emas(Rehabilitasi Pantai Entaskan Masyarakat Setempat) yang merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH) untuk mengatasi dampak dari kerusakan pantai yang sebagian besar diderita oleh masyarakat pesisir, yang berupa kemiskinan, kesehatan lingkungan, pendidikan dan keterbatasan fasilitas lainnya. 

Program Rantai Emas tersebut dicanangkan oleh Menteri Lingkungan Hidup (LH) pada tahun 2011 lalu. Program tersebut diadakan di Kampung Garapan, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten di mana pengembangan kegiatan dilaksanakan melalui kerja sama dengan SIKIB (Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu) dan PT. HINO sebagai bagian dari Corporate Social Responsibilty (CSR). Hal yang dilakukan dalam program ini adalah pembentukan kelompok masyarakat melalui  pembibitan dan penanaman mangrove (hutan bakau) serta kelompok transplantasi terumbu karang.  

Bertambahnya jumlah penduduk juga berdampak pada bertambahnya jumlah hunian. Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan maka pembangunan dikembangkan ke arah pembangunan yang berwawasan lingkungan. 

Dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan, maka pengelolaan sumber daya yang ada dilakukan sebaik mungkin dengan model pembangunan yang berkesinambungan serta peningkatan terhadap mutu hidup masyarakat. Sasaran pembangunan yang dilakukan pun mempunyai arah yang jelas yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim menyatakan bahwa untuk menciptakn pembangunan yang ramah lingkungan hendaknya dilakukan perubahan pola pembangunan. 

Pola pembanguan konvensional yang diterapkan selama 1950-2000 perlu diubah menjadi pembangunan berkelanjutan. Hal ini menunjukan bahwa pola pembangunan yang dilakukan berpikir untuk jangka panjang, bukan hanya untuk saat sekarang saja.

Pengubahan pola pembangunan berkelanjutan yang harus dilakukan mencakup:

  • Proses pembangunan satu jalur (single track) “ekonomi saja” menjadi banyak jalur (multi track) “ekonomi, sosial dan lingkungan;
  • Pengutamaan sasaran jangka pendek menjadi pencapaian sasaran jangka panjang melalui keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan;
  • Perlakuan “ekonomi sebagai kendala utama” menjadi “ekologi sebagai kendala utama”;
  • Dari pola pembangunan konvensional mengejar kenaikan pendapatan materi, melalui usaha privat individual menjadi pola pembangunan keberlanjutan mengejar keseimbangan equilibrium materi ekonomi, kehidupan sosial dan alam (Tri Hita Karana) melalui kesetaraan kerja antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat madani;
  • Memprioritaskan maksimalisasi kesejahteraan pribadi menjadi maksimalisasi keadilan social melalui penguatamaan pemberantasan kemiskinan.

Itulah sebabnya, konsep Tri Hita Karana masih dipegang teguh oleh masyarakat kita khususnya yang ada di pulau Bali. Sebab, keharmonisan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manusia dan alam merupakan awal dari terjaganya lingkungan hidup kita. 

Jika kita lalai, maka kerusakan lingkungan hidup adalah awal petaka dari segala bencana yang terjadi. Namun, Tuhan Maha Mengetahui. Percayalah, kita masih diberi kesempatan untuk berbuat baik demi menata kembali kerusakan lingkungan hidup kita. Mari bergandengan tangan menjaga tanah kita, Indonesia.   

 

Referensi:

Alamendah.org | Alamendah.org (2) | Alamendah.org (3)

Badan Pusat Statistik | Budi Hermana

Kementrian Lingkungan Hidup RI | Kementrian Lingkungan Hidup RI (2) | Kementrian Lingkungan Hidup RI (3)

Koran Sindo | dw.com/id | Wikipedia | kata-bijak.web.id

Munggoro, Wahyu Dani & Armansyah, Andy. 2008. Menjadi Enviromentalis Itu Gampang!: Sebuah Panduan Bagi Pemula.Jakarta, Walhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun