Masih ingatkah kita pada acara Master Chef yang pernah tayang di salah satu stasiun TV swasta negeri ini?. Sebuah acara reality show yang bertujuan untuk mencari calon Master Chef (Masternya Koki) setiap season tayangan berlangsung. Kurang lebih 30 peserta ditantang untuk menghadirkan jenis masakan yang berbeda setiap episodenya.
Selanjutnya, keragaman hasil masakan yang dibuat oleh para peserta akan dinilai secara berurutan oleh tiga juri yang bertindak bak kepala koki dan pengawas secara bergantian. Setiap juri akan memberikan apresiasi terbaik, sanjungan maupun hinaan kepada setiap tampilan masakan peserta tersebut. Setiap episode berlangsung biasanya akan selalu berkurang pesertanya (tereleminasi), yang akhirnya akan menampilkan sang jawara  Master Chef.
Ketika pesertanya masih banyak, kita juga akan melihat berbagai macam hasil masakan yang dibuat oleh para peserta. Namun, semakin berkurang peserta, maka semakin berkurang pula keragaman masakan yang ditampilkan. Bahkan, saat acara Grand Final akan menghadirkan 4 jenis masakan dari 2 peserta yang ada untuk setiap sesinya hingga menghadirkan sang jawara.
SKK Migas, Sang Kepala Koki
Acara tersebut memberikan gambaran bagai kondisi dalam dunia migas (minyak dan gas bumi). Ya, saat para investor (kontraktor) migas banyak yang menanamkan modalnya untuk melakukan eksplorasi maka kemungkinan besar akan semakin banyak produksi migas yang dihasilkan. Tetapi, jika investor migas semakin berkurang maka produksi migas pun mengalami penurunan.
SKK Migas yang bertindak bak Kepala Koki selalu berusaha untuk mengatur para koki (investor migas) agar menghasilkan migas yang beragam atau bertambah banyak. SKK Migas juga mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan bagi negara dan investor itu sendiri. Â Â
Perlu diketahui, produksi migas akan mengalami masa tertatih-tatih untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri jika investor enggan menanamkan modalnya untuk melakukan usaha eksplorasi mencari cadangan migas baru. Karena, pemenuhan produksi migas yang dimiliki akan berdampak besar terhadap kelangsungan hidup negeri. Â Â
Pemerintah juga menyadari bahwa hasil dari penjualan migas berharap bisa mendongkrak pundi-pundi APBN. Sayang, penerimaan negara yang diharapkan  dari sektor migas justru meleset dari target yang ingin dicapai. Sebagai informasi bahwa penerimaan negara dari sektor migas pada tahun 2015 hanya 12,86 miliar dollar AS. Padahal, target yang ingin diraih sebesar 14,99 miliar dollar AS.
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun  2016 menyatakan bahwa penerimaan negara yang diperoleh dari dana bagi hasil untuk wilayah produsen minyak pun anjlok dari Rp 42,91 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp 14,09 triliun pada tahun 2015.
Jika merujuk pada data SKK Migas, maka produksi migas pada rentang waktu 1966-2017 khususnya minyak telah mengalami penurunan drastis sejak tahun 2002 atau 10-12% dari produksi minyak sebelumnya. Setelah itu, produksi yang ada didominasi oleh hasil gas. Â