Membawa anak dan istri di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB)
(Sumber: dokumen pribadi)
“Aja sering ninggalna anak bojo. Primen carane kudu kumpul” (jangan sering meninggalkan anak istri. Gimana caranya harus bisa kumpul). Itu adalah sepenggal pesan orang tua setelah saya berkeluarga yang selalu saya ingat hingga sekarang. Ya, kami bisa menikmati kumpul keluarga yang sesungguhnya setelah saya merantau ke Bali sekitar tahun 2009 hingga sekarang. Saya memboyong anak dan istri hijrah ke Pulau Dewata demi mencari penghidupan yang lebih baik.
***
Perjalanan panjang mengarungi biduk keluarga dari tahun 2000 hingga 2009 sungguh membuat saya banyak menerima pelajaran dari Yang Maha Kuasa. Tuntutan pekerjaan membuat kami sekeluarga harus berkeliling tempat tinggal (nomaden). Dari Jakarta hingga Bima, Nusa Tenggara Barat sudah pernah kami singgahi dalam tempo waktu 1-2 tahun. Lagi-lagi, kami selalu membawa keluarga kecil kami, 1 anak dan istri.
Jangan kaget, sejak kecil anak saya sudah mengalami berbagai macam budaya yang berbeda. Sekolah pun pernah mengalami di tanah Sunda (Purwakarta) hingga pelabuhan terakhir sekarang ini, Pulau Bali. Dan Bali memberikan pengalaman dan pembelajaran yang berharga buat keluarga kami.
Setelah usaha saya dirundung malapetaka (kerugian), saya berkemaun keras untuk merantau ke Kota Makasar atau Pulau Kalimantan. Namun, pilihan jatuh ke Pulau Kalimantan. Sayang, satu bulan sebelum keberangkatan, istri saya memberikan alternatif yang tidak terduga.
“Pa, ngapain jauh-jauh pergi ke Kalimantan. Kita susah lho kalau pengin ketemu keluarga. Lagian biayanya pun tidak sedikit. Erza (red: anakku) masa mau ditinggal terus dari kecil. Kasihan dia, nanti kita tidak tahu perkembangannya. Kenapa nggak dicoba ke Bali saja. Kalau mau pulang kampung pun dekat dan biayanya pun tidak terlalu mahal”.
Perjuangan untuk merantau ke Bali pun membutuhkan waktu lama, Karena, saya sudah bertekad untuk meninggalkan anak dan istri pergi ke Pulau Kalimantan dengan harapan bisa mengembalikan kerugian usaha saya dengan cepat. Tetapi, setelah berpikir masak-masak tentang sekolah anak saya, mimpi untuk pergi ke Pulau Kalimantan pun kandas. Akhirnya, kami memutuskan untuk merantau ke Bali. Tetapi, masalah baru muncul lagi yaitu: mencari sekolah anak saya ketika di Bali.
Saya akui, sangat berat ketika kami berusaha untuk memindahkan sekolah anak saya dari Ngawi, Jawa Timur ke Pulau Bali. Ada beberapa alasan yang membuat kami maju-mundur untuk memindahkan sekolah, seperti: 1) perlunya waktu adaptasi di sekolah baru, 2) ada pelajaran yang akan menjadi penghambat (Bahasa Bali), dan 3) membutuhkan waktu, biaya dan energi untuk mengurus surat-surat kepindahan sekolah (untuk alasan ini saya terpaksa harus bolak-balik Ngawi-Bali).
Anak saya yang saat itu masih kelas 2 SD (tahun 2009) juga merasa berat hati dan ogah-ogahan untuk pindah ke Bali. Perasaan menyatu dengan teman-teman sekolahnya membuat enggan untuk hijrah. Apalagi, anak saya mempunyai banyak teman karib yang sepertinya berat untuk berpisah. Tetapi, saya punya niat untuk mengumpulkan keluarga. Apapun yang terjadi, saya ingin melihat perkembangan pola pikir dan sekolahnya dengan baik. Istri saya berkali-kali berusaha merayu agar anak saya mau ikut pindah ke pulau Bali. Atas bujukan anggota keluarga mertua saya lainnya, akhirnya anak saya pun ikut bersama kami.