Ujian Nasional (UN) SMP (Sumber: ujiannasional.org)
Acara pengumuman kelulusan siswa SMA/Sederajat sudah dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 7 Mei 2016 lalu. Yang dilanjutkan dengan acara corat-coret di baju seragam masing-masing siswa dan selanjutnya melakukan konvoi keliling kota. Yang mengerikan adalah banyak siswa yang ugal-ugalan di jalan raya dan mengganggu pengguna jalan lainnya.
Di sisi lain, ada siswa yang merayakan kelulusannya dengan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat sekitar, seperti: berbagi nasi bungkus dan seragam/pakaian bekas pantas pakai. Sebuah luapan kegembiraan yang dihadapi siswa setelah lelah 3 tahun menuntut ilmu dan berkutat dengan buku-buku SMA.
Selang satu hari, Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMP seluruh Indonesia akan diadakan mulai besok pagi, 9 Mei 2016 s/d 12 Mei 2016. Sebuah rentetan dunia pendidikan yang berlangsung setiap tahun. Fenomena yang menguras pikiran baik Pemerintah maupun orang tua siswa untuk menjadikan generasi bangsa yang mengedepankan kode etik kejujuran. Mengapa? Karena kebocoran soal jangan sampai terulang lagi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, ada hal yang menarik menjelang Ujian Nasional (UN) baik SMA/sederajat maupun SMP, yaitu: semakin dekatnya siswa dengan Tuhannya. Acara dzikir/do’a bersama dengan mendatangkan ustadz/kyai untuk memberikan pencerahan alias ketenangan jiwa dalam menghadapi UN merupakan hal yang lumrah dilakukan.
Jika di Bali, bagi siswa yang beragama Hindu melakukan persembahyangan ke pura dan lain-lain. Esensinya cuma satu, semoga siswa bisa tenang dalam menghadapi UN dan bisa lulus semua dengan predikat mengagumkan. Akhirnya, nama baik sekolah pun akan terangkat.
Tetapi, ada hal yang perlu dikaji lebih dalam bahwa kemampuan dalam mengerjakan UN adalah sebuah kebiasaan yang perlu diasah lebih dalam (rutin). Saya pribadi memahami, bahwa dengan mendekatkan lebih ke Tuhannya menjelang UN akan diberi ketenangan jiwa dalam mengerjakan soal.
Tetapi, jika hal tersebut tidak mempunyai persiapan sama sekali di diri siswa, tidak ada bedanya dengan “mengharapkan rejeki berlimpah hanya dengan diam di tempat/tidak bekerja”.
Jangan dibiasakan siswa untuk mengenal atau mendekatkan Tuhannya pada saat menjelang menghadapi UN saja. Siswa begitu hanyut dan khusyu’ saat berdoa hingga meneteskan air mata dan dekat dengan Tuhannya saat membutuhkan pertolonganNya. Ibarat kita punya teman dan lama tidak pernah bertemu, sekali bertemu langsung pinjam uang.
Kita jangan sampai menjadi orang yang “mendadak tobat” menjelang UN. Kemarin-kemarin kita santai saja. Ah, UN masih lama … ah, ibadahnya nanti saja menjelang UN. Padahal, kurikulum pendidikan sekarang adalah membutuhkan kreatifitas aktif siswa. Kalau kita diam saja, maka tidak ada artinya SKS atau mendadak tobat. Karena ujung-ujungnya mengerjakan soal dengan sistem ”menghitung kancing alias mencontek”.
Kita sudah melihat banyak siswa yang tidak lulus sekolah beberapa tahun belakangan, meskipun pihak sekolah sudah mengadakan acara pendekatan relegius. Ada yang stress ketika menghadapi soal-soal ujian. Bahkan, saking stresnya, ada yang sampai ketiduran di ruang ujian. Soal ujiannya hanya bikin ngantuk karena semalam suntuk begadang kejar setoran. Apa masalahnya? Karena siswa sebenarnya belum siap menghadapai UN. Titik.
Mendekatkan diri kepada Tuhannya harus dilakukan secara berkesinambungan. Ada hal yang salah kaprah dalam mengajarkan siswa dalam pendidikan kita. Lucunya lagi, acara mendekatkan diri ke Tuhannya dilakukan oleh pihak sekolah. Seakan-akan dengan berdoa yang khusu’ menjelang UN, bocoran jawaban UN datang di depan kita.
Saya memahami bahwa pihak sekolah mempunyai tanggung jawab moral kepada siswanya agar bisa lulus 100%. Tetapi, segala sesuatu dengan cara instan adalah menghasilkan kurang maksimal. Hal yang terbaik adalah berikan pemahaman secara kontinu kepada siswa untuk membuka buku pelajaran setiap hari setelah pulang sekolah dan diimbangi dengan mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Saya masih ingat ketika saya duduk di SMAN 1 Tegal, bahwa menjelang UN tidak ada acara-acara do’a bersama, sholat berjamaah atau lainnya yang berbau religius. Kita berjalan secara alamiah karena menghadapi UN merupakan ritual yang harus kita hadapi sebaik mungkin dengan modal belajar setiap hari.
Siswa-siswa pun selalu melakukan hal untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya “tanpa” ada anjuran dari guru sama sekali. Kita terbiasa sholat dhuha atau puasa senin-kamis agar terbiasa dekat dengan Tuhannya. Malam menjelang Ujian Nasional pun, saya bukannya melakukan kejar setoran untuk melahap semua mata pelajaran, tetapi santai jalan-jalan ke alun-alun Kota Tegal untuk “refreshing” dengan melihat acara sulap kaki lima.
Jadi, perlu diketahui bahwa menghadapi UN bukanlah momok yang menakutkan jika kita sudah terbiasa membuka buku dan memahami isinya setiap hari yang diimbangi ibadah kita.
Pahamilah bahwa kesuksesan dalam mengerjakan soal UN bermula dari sebuah kebiasaan. Bukan karena “aji mumpung” atau “kejar setoran” yang ditambah dengan “mendadak tobat”. Mari berikan pemahaman kepada generasi bangsa bahwa belajar dan ibadah yang berkesinambungan membuahkan hasil yang maksimal.
Selamat mengerjakan UN buat siswa SMP di seluruh Indonesia. Buatlah UN menjadi hal yang menggembirakan. Salam pendidikan!
Denpasar, 8 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H