[caption caption="Sumber Gambar: Detik.com"]“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya, demikian ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (ayat 38), Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (ayat 39), Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang dan masing-masing beredar pada garis edarnya (ayat 40)” (QS. Yasin: 38-40).
Kemajuan teknologi dan informasi akan merubah pola pikir dan kepercayaan masyarakat. Ya, di saat kemajuan teknologi dan informasi masih minim, masyarakat begitu percaya terhadap mitos-mitos yang beredar dalam masyarakat.
Masalah gerhana matahari dan bulan adalah sebuah bukti fenomena alam atas kekuasaan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang terjadi untuk dipelajari secara baik. Tetapi, kenyataannya kejadian tersebut justru memberikan mitos klasik yang luar biasa. Di kampung halamanku, Brebes Jawa Tengah memberikan fenomena yang berbeda atas kejadian gerhana.
Mitos masyarakat
Setiap gerhana terjadi baik gerhana matahari maupun bulan, kebiasaan masyarakat yang dilakukan adalah beramai-ramai keluar rumah dengan membunyikan perlengkapan dapur yang berbau logam. Hal ini akan memberikan suara gaduh, sehingga “dedemit” atau “graha” yang dianalogikan sebagai raksasa yang berwarna hijau (buto ijo) tidak mengganggu manusia. Bahkan, dupa yang diselimuti asap kemenyan pun tidak lupa disajikan dengan maksud untuk mengusir dedemit atau graha yang bisa mengganggu manusia.
Dan nasehat atau saran orang tua kita begitu manjur untuk dipatuhi oleh anak-anak kita, Saya sendiri benar-benar patuh apa yang dikatakan orang tua.
“Ari pas graha, aja metu ning jabane omah mengko dipangan Graha. Umpetan bae ning jero omah” (Kalau saat gerhana, jangan keluar dari rumah nanti dimakan raksasa Graha. Sembunyi saja di dalam rumah)
Tidak ada kata menolak perintah atau nasehat orang tua kita karena bisa kualat. Melawan perintah orang tua adalah tindakan yang paling tabu seorang anak untuk dilakukan. Oleh sebab itu, mitos bahwa gerhana merupakan peristiwa yang mengerikan dan membahayakan selalu terpatri dalam pikiran anak-anak sampai orang dewasa jaman dulu.
Yang menarik adalah sebuah mitos jika kita lupa atau terlambat membunyikan suara gaduh, maka sang dedemit atau graha akan memangsa manusia atau tumbuhan, terutama pohon kelapa. Kelapa yang dimakan dedemit atau graha dibuktikan dengaan adanya buah kelapa yang habis separo (bersisa). Pikiran saya pun waktu kecil begitu percaya dengan omongan orang tua.
“Kyeh tong, klapane entek separo dipangan graha” (Nih, nak buah kelapanya habis separo dimakan gerhana (buto ijo)) kata bapak saya sambil menunjukan buah kelapa yang benar-benar tinggal separo. Dan mitos ini saya percaya dan telan mentah-mentah dan tidak dicari kebenarannya secara ilmiah. Bahkan, sudah beredar secara luas di kalangan masyarakat jaman dahulu.
Masih ingatkan kita terhadap kejadian Gerhana Matahari Total (GMT) yang jatuh pada tanggal 11 Juni 1983? Masyarakat begitu percaya akan anjuran pemerintah agar tidak keluar rumah selama GMT terjadi. Sungguh menarik karena anjuran pemerintah terhadap masyarakat untuk tidak keluar rumah mencegah dari radiasi sinar matahari yang bisa menyebabkan kebutaan benar-benar dipatuhi. Apalagi, masyarakat disuruh bersembunyi di dalam rumah dan menutup semua lubang yang ada di rumah agar tidak ada radiasi sinar matahari yang masuk ke dalam rumah.
Saya sendiri waktu itu diingatkan oleh orang tua, jangan sampai keluar rumah karena sungguh berbahaya bisa menyebabkan kebutaan. Bisa dibayangkan bahwa kondisi desa saya waktu itu persis seperti Hari Raya Nyepi di Bali. Benar-benar mati dan sepi.
Tak ada satu pun orang yang berani keluar rumah. Karena informasi yang diperoleh tentang gerhana matahari total hanya melalui televisi hitam putih dan radio. Keluarga saya pun tidak mempunyai televisi dan radio. Jadi, informasi yang diperoleh dari tetangga yang mempunyai televisi dan radio dipercaya seratus persen.