Suatu sore, saya berjalan-jalan di kawasan Taman Setra Besar (pusat pembakaran mayat) yaitu: Taman Setra Bdung di Kota Denpasar. Kawasan yang dulu sepi dari hiruk pikuk para pedagang di sekitarnya. Tetapi, sekarang di bagian utara setra (jalan Batukaru) yaitu jalan yang menuju arah Kawasan perumahan Monang Maning ramai oleh jejeran para pedagang kaki lima. Apalagi di kawasan tersebut terdapat tempat Tujuan Wisata Keagamaan alias wisata ziarah. Jadi, semakin ramai para pedagang yang menghiasi sepanjang jalanan tersebut.
Setiap saya melewati jalan tersebut, saya jadi teringat 17 tahun yang lalu. Ketika kawasan utara setra masih begitu sepi. Yang ada hanyalah jejeran andong alias dokar yang selalu mengantarkan saya dari jalan Imam Bonjol sampai ke Perumahan Monang Maning dengan ongkos seribu rupian (1000). Sungguh murah sekali. Dan, jalan Batukaru yang dilewati sekarang masih sangat … sangat ….lengang. Kita bisa naik sepeda gayung sepuas mungkin tanpa diganggu pengendara sepeda mortor atau kendaraan roda empat lainnya. Tetapi, jalan Batukaru kini berubah drastis. Sungguh padat perumahan dan took serta kemacetan selalu terjadi di pagi dan sore hari.
Ketika jalan-jalan bersama istriku, saya tertarik dengan jejeran penjual es yang jaraknya tidak terlalu jauh. Ada 3 penjual es yang jenisnya hampir serupa yaitu Es Daluman, es Cendol Keraton dan es cendol biasa. Dari ketiga es cendol tersebut , istriku justru mengajak untuk membeli es cendol yang banyak dikerubungi lebah. Jumlahnya hampir ribuan hingga bunyi kepak ssayap lebahnya berbunyi keras dan hamper mengerubungi seluruh permukaan rombongnya. Sebenarnya saya enggan untuk mengiyakan ajakan istri, karena sengatan lebah tersebut takut menyakiti kulitku.
“Pa, panas-panas gini kayaknya minum es cendol enak banget” Tanya istriku
“Pengin!” jawabku.
“Iya. Kan, sudah lama nggak makan es cendol”
“Cendol yang mana yang mau kita beli”
“Yang itu lho, yang banyak lebahnya”
“Gila, nggak takut disengat lebah”
“Justru itu pa, yang banyak lebahnya malah yang gulanya asli, bukan buatan”
“Oh, ya?
Saya pun percaya saja apa yang dikatakan istri. Dan meluncur untuk membeli es cendol tersebut.
“Mas, es cendolnya berapa?” Tanya saya pada sang penjual.
“Lima ribu mas” jawab sang penjual cendol.
Saya melihatnya sang penjual dengan hati-hati mengambil campuran es cendol tersebut. Karena ribuan lebah mengerubunginya. Saya sendiri menghindar agak jauh karena takut tersengat. Yang menarik adalah sang penjual dengan rileksnya mengambil campuran esnya. Ketika, membuka tempat menyimpan gula cair, ribuan lebah kembali menyerbu. Wow …
“Emangnya nggak takut disengat mas” Tanya saya pada sang penjual.
“Kalo hati-hati pasti nggak disengat” jawabnya.
“Kok, penjual es yang lain malah tidak ada lebah yang mengerubunginya. Apa bedanya dengan es yang lain mas?" Tanya saya kembali.
“Iya mas. Kalau saya pakai gula asli makanya banyak lebahnya. Lebah nggak bakalan dibohongi dan mengerubungi mana gula yang asli” jawabnya.
“Berarti penjual es yang lain gulanya buatan mas”
“Ya, begitu deh” jawabnya agak hati-hati dan malu-malu. Mungkin dia tidak mau menyinggung atau menjelekkan penjual lainnya.
Banyak pelajaran yang bisa kita petik. Saya jadi teringat bahwa di jaman yang serba maju banyak orang ingin memenangkan sebuah pertandingan. Apalagi, banyak orang yang merubah tampilan untuk menarik banyak orang, meskipun mengeluarkan puluhan bahkan jutaan rupiah. Biar kelihatan lebih menarik, hidung biar kelihatan lebih mancung atau muka biar kelihatan lebih tirus dan lain-lain.
Orang jahat pun mendadak jadi alim dan menawan. Pencopet atau penjambret pun banyak yang berpakaian parlente. Kadang kita sungguh terkecoh karena tampilan. Betapa banyak penjahat yang merubah tampilan seperti orang baik. Wanita sebisa mungkin tampil cantik dengan instan untuk menarik lelaki lain. Dengan kata lain “ banyak orang mendadak jadi …”.
Yang mengerikan, banyak orang menebar sensasi di media untuk menjadi terkenal, meski aib pribadi dan keluarga dikorbankan. Terpenting popularitas bisa mereka raih dan job dadakan menghampiri bagai artis yang mendadak naik daun dan melambung ke langit tinggi.
Menjelang Pilkada, banyak orang berduit yang berebut untuk mengambil suara dan hati rakyat. Ratusan jutaan bahkan miliaran rupiah pun dikeluarkan untuk duduk di kursi empuk birokrasi. Para politikus mulai bermuka dua untuk melanggengkan kekuasaan. “Tak ada yang langgeng dalam politik“ katanya. Yang ada hanyalah kepentingan. Hantam kiri dan hantam kanan untuk melanggengkan jabatan. Kemana angin bergerak yang menguntungkan, kesitulah berlabuh.
Banyak pemimpin yang berpura-pura pro terhadap rakyat, tetapi kenyataannya justru sebagai koruptor yang menggasak uang dan menyakiti hati rakyat. Atas nama rakyat selalu menjadi tameng untuk menarik simpati. Mereka berpura-pura peduli rakyat agar ramai-ramai dipilih kembali. Tetapi, kenyataannya kesejahteraan rakyat dikorbankan. Miris sekali!
Kita dilahirkan sebagai seorang pemenang dan pemimpin. Tetapi, kita tidak mau menjadi pemimpin yang diikuti banyak orang karena embel-embel negatif tertentu. Bukan karena materi yang berlimpah, rumah mewah, jabatan yang prestigious dan lain-lain. Tetapi, kita ingin menjadi pemimpin yang “lead by example”, mengajar dengan contoh. Bukan sekedar menyuruh, tetapi mereka tidak pernah melakukannya. Mereka punya niat yang tulus dan ikhlas untuk memajukan umat. Menjadi pemimpin yang jujur adalah sebuah pilihan dan keharusan.
Ingat, ribuan lebah akan mengerubungi tempat yang berbau gula yang asli bukan buatan. Dan, rakyat kita pun bagaikan lebah. Mereka sudah pintar dan cerdas dan tulus ikhlas mengikuti pemimpin yang berhati baik dan mulia. Pemimpin yang tulus rela diambil kemurahan hatinya demi kemaslahatan banyak orang.
Sama halnya jika kita bekerja di sebuah perusahaan untuk jabatan seorang pemimpin. Pasti kita berharap menjadi pemimpin yang bukan otoriter atau tirani. Pemimpin yang menyejukan karena ketulusan dan keikhlasan dalam bekerja. Setiap kebijakan pun dibuat untuk kemaslahatan seluruh lini perusahaan. Bukan menyenangkan pihak tertentu.
Kita tentu ingin menjadi gula asli tanpa buatan yang diikuti banyak dikerubungi lebah. Oleh karena itu, Saya pun ingin menjadi sosok pemimpin yang dikerubungi banyak orang karena ketulusan dan keikhlasan dalam bekerja. Biarkan dikerubungi banyak lebah dan diambil sari gulanya, tapi lebah akan memberikan madu buat kita. Sosok yang bisa memberikan keberuntungan buat orang lain. Menjadi pemimpin yang mampu menjadi inspirasi orang lain. Insya Allah.
*) Ilustrasi koleksi pribadi.
Mendung di Denpasar, 13 Pebruari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H