[caption caption="Koleksi Pribadi"][/caption]“Uuedan, arep mangkat kerjo udane duueres. Gak sido mangkat. Buuatal neh!”
Penggalan kalimat pernyataan di atas bisa ditebak dari daerah mana berasal? Jika kita jalan-jalan atau berkunjung di kawasan Jawa Timur dari Kabupaten Ngawi sampai Kabupaten Banyuwangi, maka kita tidak sulit untuk mendengarkan kalimat percakapan dalam bahasa Jawa Timuran.
Saya jadi teringat ketika baru menginjak di daerah Jawa Timur, tepatnya di daerah Madiun 16 tahun lalu. Saya sempat mampir di warung Jawa Timur khas Madiun yang tidak jauh dari Stasiun Madiun. Untuk mempererat hubungan, seperti biasanya saat sang pemilik warung mengambil pesanan, saya senang sekali jika melakukan komunikasi supaya akrab, siapa tahu dapat diskonan waktu bayar. Ngarep banget.
Yang menarik adalah sang pemilik warung pun dengan santainya menceritakan kondisi anaknya, ketika saya bertanya berapa putranya, sudah kerja atau belum, sudah nikah atau belum (siapa tahu jadi jodohnya) dan bla bla bla.
Ada kalimat yang menarik sekali dari apa yang diucapkan sang pemilik warung.
“Anakku mas sing wedok pengin dadi PNS buatal! … Wis dilamar tinggal resepsi buuuatal neh. Jalere kuuecantol wong liyo. Yo yo …mesake mas!” (Anakku yang perempuan ingin jadi PNS batal! … Sudah dilamar tinggal resepsi batal lagi. Lelakinya kecantol orang lain. Kasihan mas!)
Sebelum menyantap pesanan, saya cuma menjawab, “ingkang sabar nggih bu. Punika sampun takdir saking Gusti Allah. Mugo-mugo jembar rejeki lan jodohipun nggih bu….” (Yang sabar ya bu. Sudah menjadi takdir dari Tuhan. Semoga luas rejeki dan jodohnya)
“Suwun mas ndongane” (Terima kasih mas doanya).
“Nyuwun sewu nggih bu. Bade tangled punopo bedanipun “batal” sareng “buuatal” (Maaf ya bu. Mau tanya apa bedanya kata “batal” dan buutal) pertanyaan saya kepadanya untuk menghilangkan kesedihannya, karena terlihat dari wajahnya.
“Yen batal mas … yo batale mung saitik mas. Tapi, yen buuatal, yo batale saarat-arat” (Kalau batal mas … ya batalnya cuma sedikit mas. Tapi, jika buuatal, ya batalnya banyak banget).
“Ngono to bu”. (Begitu ya bu) sambil dijawab dengan senyum dan ketawa sang pemilik warung. Hi hi hi.
Saya pribadi sebagai warga yang dibesarkan di daerah Jawa Tengah jarang mendengar logat bahasa Jawa Timuran, karena waktu SMP diajar bahasa daerah Jawa khas Solo dari ngoko sampai yang paling halus. Tetapi, 16 tahun yang lalu sejak menikah dengan wanita Jawa Timur membuat logat bahasa Jawa Timur sangat menarik untuk dianalisis. Apa sih yang menarik?
Kita bisa bangga atas keberadaan huruf “u” karena penyertaan di awal atau sisipan huruf “u” dalam percakapan Jawa Timuran sangatlah menentukan dalam arti kata. Biasanya huruf “u” berguna untuk memberikan arti yang menyatakan benar-benar atau sungguh-sungguh. Dalam bahasa gaulnya sebagai pengganti kata “banget”.
Sebagai contoh, jika orang Jawa Timur mau bicara “enak banget”, maka dalam prakteknya akan menghilangkan kata “banget” untuk mempercepat ucapannya dan menggantinya dengan menyisipkan huruf “u” pada kata “enak” menjadi “uenak” yang berarti menyatakan kalimat “enak banget”. Bagaimana jika, menyisipkan huruf “u” lebih dari satu, seperti “uuuuuenak” berarti “enak banget pangkat 5”. Sambil mulutnya agak sedikit monyong lama he he he. Menarik bukan?
Jadi, jangan kaget jika mendengarkan logat Jawa Timuran yang agak menekan pada awal kata karena penyertaan atau sisipan huruf “u”. Semakin panjang diucapkan menandakan bahwa artinya semakin kuat dan sungguh-sungguh. Muuuuuedoke rek! Buuuener !
Betapa kaya bahasa kita bukan? Dan, saya bangga. Suuuer!
“Salam hangat dari Kota Denpasar”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H