Jam 6 pagi, saya bergegas meninggalkan Kota Denpasar menuju Kecamatan Kubu, Karangasem dengan sepeda motor. Saya harus berhenti beberapa kali untuk mengisi BBM, istirahat makan, sholat dan menghilangkan penat. Perjalanan darat yang melelahkan selama 7 jam akhirnya sampai di tempat tujuan, yaitu: Dusun Muntigunung. Ya, rasa penasaran kami terbayarkan setelah sampai di lokasi yang saya tuju. Rasa ingin tahu tentang kebutuhan air bersih masyarakat Dusun Muntigunung membuat saya rela melakukan perjalanan jauh.
Perlu diketahui, Dusun Muntigunung merupakan sebuah Desa Pakraman (Desa Adat) yang terletak di Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Dusun Muntigunung terletak kurang lebih 45 km sebelah timur dari Kota Singaraja (Ibukota Buleleng) atau 50 km utara kota Amlapura (Ibukota Karangasem). Kondisi lingkungan Dusun Muntigunung yang kurang mendukung dan kebiasaan masyarakat yang suka menggepeng (menggelandang dan mengemis) membuat Dusun Muntigunung menjadi daerah tertinggal di Provinsi Bali.
Menurut sejarah, sejak tahun 1980-an, Dusun Muntigunung terkenal secara nasional dan internasioanal sebagai gudangnya gelandangan dan pengemis (gepeng). Kebiasaan menggepeng dilakukan karena keadaan ekonomi masyarakat yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena langkanya kebutuhan air bersih untuk semua kebutuhan, baik rumah tangga maupun pertanian. Kebiasaan menggepeng pada awalnya adalah tukar menukar barang, antara hasil bumi yang ada di Dusun Muntigunung, seperti: gula aren, kayu cendana yang sudah dicincang, garam dan dibawa ke suatu daerah untuk ditukar dengan kebutuhan sehari-hari seperti: beras. Namun, pada kenyataanya kebiasaan tersebut berangsur-angsur hilang secara bertahap, dan pergi menggepeng tanpa membawa barang bawaan.
Kita sudah memahami bahwa pulau Bali merupakan surga pariwisata baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Pesona keindahan alam dan budayanya sangat menggoda bagi para wisatawan untuk berkunjung. Pembangunan di Bali pun berkembang sangat cepat, karena dipengaruhi oleh sektor pariwisata. Tetapi, gemerlap Bali ternyata menyisakan masalah yang besar dalam pemerataan pembangunan.
Pembangunan yang terkesan njomplang (tidak seimbang) antara Bali Selatan dan Bali Utara memberikan andil masih banyak masyarakat miskin atau daerah tertinggal. Apalagi, kondisi Dusun Muntigunung sangat bertolak belakang dengan hingar bingar pariwisata Bali. Bukan hanya tertinggal, tetapi kebutuhan air bersih di kawasan ini menjadi barang langka. Masyarakat Dusun Muntigunung menjadi sosok yang sangat menghargai air bersih.
Menuju Dusun Muntigunung memang mudah dijangkau, karena akses jalan utama sudah diaspal. Setelah kita mencapai Desa Tianyar Barat, kita bisa melihat plang penunjuk jalan ke arah Dusun Muntigunung. Dari ruas jalan raya Singaraja-Amlapura, kita akan melawati pasar dan bergerak ke atas atau arah Gunung Agung kurang lebih 3 km. Jika kita berkunjung pada musim kemarau seperti sekarang ini, kita akan disuguhi pemandangan dataran tinggi berbatu dan mengeringnya pepohonan. Bebagai piaraan pun dibiarkan bebas, seperti babi dan kambing. Kondisi sungai pun sudah mengering, karena kurangnya sumber mata air.
Karena kurangnya kadar air bersih di Dusun Muntigunung, maka tumbuhan produktif yang mampu bertahan lama hidup seperti: pohon Aren, Pete, Melinjo dan Cendana. Hal ini dikarenakan, secara geografis wilayah Dusun Muntigunung, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem merupakan wilayah pertanian yang mengandalkan curahan air hujan sekali dalam setahun, sehingga hasil dari bertani belum dapat mencukupi kebutuhan hidup warga sehari-hari. Akhirnya, lahan garapan sedikit, serta lapangan pekerjaan selain sebagai petani tidak ada. Kondisi inilah yang memaksa masyarakat Dusun Muntigunung pergi mencari nafkah dengan cara menggepeng dan sering kita lihat di kota-kota yang lebih ramai, seperti: Ibu Kota Kabupaten dan Provinsi.
Masalah kebutuhan air bersih Dusun Muntigunung selalu menjadi pembicaraan yang menarik. Hampir sepanjang tahun kebutuhan air bersih menjadi barang mahal. Mendapatkan air bersih yang berlimpah di Dusun Muntigunung bagai mendapat durian runtuh. Masyarakat pun harus berjalan menyusuri sungai mencari ceruk air untuk mendapatkan air bersih. Mereka mengais air bersih seadanya dengan ember. Meskipun Pemerintah daerah pun berkali-kali mendatangkan tangki air bersih, tetapi tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Betapa berharganya air bersih di daerah ini, sehingga pertanian pun tidak bisa berjalan baik.
Masalah kebutuhan air bersih di Dusun Muntigunung mengundang keprihatinan semua pihak, baik masyarakat lokal, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, LSM maupun Pemerintah luar negeri. Bahkan, secara swadaya dan bimbingan serta bantuan Pemerintah, masyarakat Dusun Muntigunung membuat cubang (penampung air bersih) untuk kebutuhan masyarakat. Meskipun, cubang yang ada tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bukan hanya Pemerintah dalam negeri yang peduli Dusun Muntigunung. Pemerintah luar negeri pun ikut andil dalam menggalang pemenuhan air bersih masyarakat Dusun Muntigunung, seperti: Swiss dan Australia. Bahkan, kontribusi Pemerintah Australia yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali adalah membuat perangkat sistem pengolahan air bersih dengan tenaga matahari (solar cell) pertama di Asia Tenggara.
Keprihatian akan kebutuhan air bersih di Dusun Muntigunung mengundang pejabat pemerintah untuk datang langsung ke lokasi. Yang lebih menarik adalah kunjungan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Ani SBY ke Dusun Muntigunung pada tahun 2012 lalu. Di sela-sela kunjungannya di Kabupaten Karangasem, SBY menemani Ibu Negara Ani SBY untuk meresmikan Rumah Pintar “Muntigunung”.
Di bagian depan Rumah Pintar tersebut Ibu Negara Ani SBY menyempatkan untuk menanam pohon mangga madu. Di sekitar pohon mangga madu tersebut tedapat berbagai bibit tanaman produktif yang nantinya bisa ditanam di Dusun Muntigunung yang mampu menyimpan kadar air. Selanjutnya, di bagian pojok Rumah Pintar terdapat pengolahan air bersih atas bantuan dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI.
Jadi, kebutuhan akan air bersih merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat. Langkanya air bersih berdampak terhadap sosio-kutural masyarakat. Bahkan, tanpa adanya suplai air bersih yang berkesinambungan mampu menghentikan budaya bercocok tanam masyarakat Indonesia sebagai negara agraris. Minimnya air bersih di Dusun Muntigunung berakibat sistem pertanian tidak berjalan sebagai mana mestinya. Padahal, di Bali terkenal dengan sistem subaknya yang telah diakui UNESCO. Jangankan untuk mengairi sawah atau kebun, untuk kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat Dusun Muntigunung harus mengais air bersih di ceruk sepanjang sungai. Jangan kaget, masyarakat Dusun Muntigunung sangat menghargai air bersih berapa pun banyaknya.
Mari menghargai air bersih, karena dengan air bersih kita bisa hidup dan menikmati indahnya dunia.
“Kalau anda ingin menghargai betapa pentingnya air bersih, hiduplahdi tanah yang gersang atau gurun. Engkau tidak akan mampu membuang air bersih satu gelas pun”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H