Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebijakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan, Bonus Demografi 2015-2035 Bukan sebagai Ancaman Negara

5 Oktober 2014   11:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:19 6901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Betapa pentingnya masalah kependudukan, maka setiap tanggal 29 Juni, Indonesia memperingati Hari Keluarga Nasional. Bahkan, setiap tanggal 11 Juli, Indonesia juga ikut memperingati Hari Kependudukan Dunia” (www.bkkbn.go.id)

Negara kita adalah negara besar, bukan dilihat dari ribuan kepulauannya saja. Tetapi perkembangan penduduk yang bertambah dari tahun ke tahun. Pemerintah bertanggung jawab penuh untuk menjaga pertambahan penduduk dan mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak atau lintas sektor. Melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (dahulu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), disingkat BKKBN yang dikepalai oleh Prof. Dr. dr. Fasli Jalal, SpGK. Ph.D M.Kes., Pemerintah melakukan berbagai usaha untuk mengendalikan pertambahan penduduk melalui BKKBN yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang keluarga berencana dan keluarga sejahtera yang mengemban slogan “dua anak cukup”. Tetapi, bersamaan menghadapi MDGs 2015 Indonesia akan menghadapi masalah yang tidak dianggap enteng mengenai kependudukan, yaitu: Bonus Demografi.





Apa itu Bonus Demografi?

Kita memahami bahwa struktur demografi suatu negara mencerminkan struktur rumah bangsa. Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan dalam struktur demografi, maka hal terpenting adalah kita harus memahami cetak biru (blue print)-nya. Sedangkan cetak biru tersebut adalah periode yang paling menentukan dalam kependudukan yang disebut sebagai Bonus Demografi yang selalu menjadi topik perdebatan para ahli statistik. Apa yang dimaksud dengan Bonus demografi?. Bonus demografi adalah peluang (opportunity) kemakmuran ekonomi suatu negara karena besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan dengan pola siklus se-abad sekali. Dengan demikian, jika peluang tersebut tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin, maka akan menjadi anti bonus yaitu badai bom (bomb disaster) demografi. Indonesia sedang menuju tahapan bonus demografi dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin menanjak dan penurunan angka kelahiran dalam jangka panjang. Apalagi diimbangi dengan tingkat transisi pertumbuhan penduduk kelompok rendah yaitu kondisi tingkat mortalitas tinggi menuju pertumbuhan penduduk rendah dengan tingkat mortalitas rendah.

Periode bonus demografi Indonesia akan dimulai dari tahun 2015-2035 dengan angka ketergantungan (dependency ratio) berkisar antara 0,4-0,5. Angka ini mengandung arti bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif. Proporsi usia kurang dari 15 tahun (anak-anak) terus berkurang dibandingkan dengan penduduk usia kerja (15-64 tahun). Menurut Data Sensus Penduduk menunjukkan jumlah ketergantungan tahun 2010 adalah 100 usia produktif/pekerja menanggung 51 anak. Jadi, pada periode 2015-2035 nanti, bangsa Indonesia berkesempatan besar memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkatkan saving untuk kemajuan kemakmuran bangsa. Hal ini akan memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan yang terasa hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Menghadapi bonus demografi tersebut diharapkan kualitas penduduk memenuhi syarat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas? Di negara-negara Eropa justru sudah melewati masa emas bonus demografi antara tahun 1950-2000. Sedangkan, negara Asia seperti Tiongkok sedang menikmatinya sejak tahun 1990 sampai tahun 2015. Negara India mendapatkan bonus demografi sejak tahun 2010. Tetapi, untuk negara-negara Afrika, bonus demografi bakal diperoleh menjelang tahun 2045. Mengapa perlu persiapan dalam menghadapi periode bonus demografi? Alasan yang paling mendasar karena berhubungan langsung dengan pertambahan jumlah penduduk. Perlu adanya perkiraan jumlah penduduk yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang.

Oleh sebab itu, pertambahan penduduk pada pada periode bonus demografi nanti membutuhkan beberapa asumsi, yaitu: Asumsi tingkat kelahiran, tingkat kematian, dan perpindahan penduduk (migrasi) yang merupakan kunci perhitungan proyeksi penduduk. Bahkan asumsi tersebut merupakan komponen laju pertumbuhan penduduk yang kecenderungannya biasanya mengikuti kejadian di masa lalu. Sedangkan penjabaran dari asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

1.Asumsi Fertilitas (kelahiran). Asumsi fertilitas dibuat berdasarkan tren tingkat fertilitas di masa lalu dan kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan tingkat fertilitas. Data yang digunakan untuk memperkirakan tingkat fertilitas adalah data SDKI91, SDKI94, SDKI97, SDKI2002/2003, SDKI2007, dan SDKI2012. Selain menggunakan data kecenderungan tingkat fertilitas masa lalu, juga digunakan informasi mengenai target pencapaian tingkat fertilitas di masa yang akan datang. Target Angka Total Kelahiran (TFR) diperoleh dari BKKBN selaku lembaga yang berwenang menentukan kebijakan pengendalian penduduk.

2.Asumsi Mortalitas (kematian). Data yang digunakan untuk memperkirakan tingkat mortalitas yaitu data SDKI91, SDKI94, SDKI97, SDKI2002/2003, SDKI2007, dan SDKI2012. Asumsi tingkat mortalitas dibuat berdasarkan tren tingkat mortalitas di masa lalu dan kebijakan pemerintah terkait dengan tingkat kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR).

3.Asumsi Migrasi (perpindahan penduduk) yang terdiri dari: 1) Migrasi Internasional yang dihitung dengan dua (2) pendekatan: pertama, metode langsung dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Dirjen Imigrasi Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia; dankedua, metode tidak langsung yaitu reverse survival ratio yang bersumber dari dua data sensus penduduk; 2) Migrasi Antar Provinsi yang merujuk pada pola migrasi data dasar yaitu pola migrasi riset data SP2010, pola ini memperlihatkan kejadian migrasi tahun 2005-2010 dan dihitung dengan metode Age Specific Net Migration Rate (ASNMR) menurut umur dan jenis kelamin.

Dampak dari Migrasi antar Provinsi juga mampu menimbulkan dampak Urbanisasi yang merupakan perhitungan proyeksi penduduk untuk daerah perkotaan dan daerah perdesaan yang menggunakan rumus Urban Rural Growth Difference (URGD), yaitu proyeksi penduduk perkotaan berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk antara daerah perkotaan dan perdesaan. Pada tingkat nasional, tingkat urbanisasi diproyeksikan sudah mencapai 66,6 persen pada tahun 2035. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2035 sudah di atas 80 persen, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Sedangkan tingkat urbanisasi seluruh Provinsi pada tahun 2010 sebesar 49,8 (www.bkkbn.go.id).

Dengan memperkirakan proyeksi penduduk, maka kita juga bisa memprediksi jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk pada tahun tertentu. Dari hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat. Perlu diketahui, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2010-2035 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam periode 2010-2015 dan 2030-2035 laju pertumbuhan penduduk turun dari 1,38 persen menjadi 0,62 persen per tahun.

14124578511752939220
14124578511752939220

Berdasarkan data Provinsi, Laju Pertambahan Penduduk (LPP) tertinggi menurut SP tahun 2010 berada pada provinsi Papua (5,39 persen) dan terendah di provinsi Jawa Tengah (0,37 persen). Dari data perkembangan jumlah dan laju pertambahan penduduk akan membentuk sebuah piramida penduduk 5 tahunan. Dari piramida penduduk tersebut, kita mampu mengetahui jumlah penduduk Indonesia dilihat dari kelompok umurnya. Usia anak-anak, remaja, produktif, lansia dan posisi puncak dapat diketahui dengan baik. Sayangnya, menurut Kepala BKKBN menyatakan bahwa struktur piramida penduduk Indonesia mengindikasi adanya masalah 'triple burden' atau beban ganda pada tiga kelompok usia, yaitu: usia anak/balita, kelompok remaja, dan kelompok usia lanjut. Berikut, ditunjukan piramida penduduk tahun 2010 lalu. Juga ditampilkan proyeksi piramida penduduk pada tahun-tahun periode bonus demografi (2015, 2020, 2025, 2030 dan 2035).



1412457901912209722
1412457901912209722

14124579461106828942
14124579461106828942



Dari piramida penduduk, bisa diketahui Angka Harapan Hidup pada saat lahir (e0) yang merupakan hasil perhitungan proyeksi yang sering dipakai sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Dengan asumsi kecenderungan angka kematian (IMR) menurun serta perubahan susunan umur penduduk, maka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Angka harapan hidup terendah 62,8 tahun untuk Sulawesi Barat dan tertinggi 74,3 tahun untuk DI Yogyakarta.

Bonus Demografi Bukan sebagai Ancaman?

Menghadapi bonus demografi memang perlu persiapan dan program yang matang. Pemerintah dihadapkan pada masalah-masalah yang menjadi perhatian semua elemen, termasuk masyarakat itu sendiri. Dari segi pendidikan, berdasarkan data statistik, persentase penduduk 7-15 tahun belum/tidak sekolah sebesar 1,79 persen dan tidak sekolah lagi 5,18 persen. Indikator Angka Melek Huruf (AMH) yaitu dapat membaca dan menulis bagi penduduk 5 tahun berpendidikan minimal tamat SMP/Sederajat sebesar 37,95 persen dengan AMH penduduk 15 tahun ke atas 88,00 persen. Hal ini memberikan gambaran, bahwa setiap 100 penduduk 15 tahun ke atas masih ada 12 orang belum melek huruf. Jika dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu penduduk usia sekolah yang sedang bersekolah pada usia 13-15 tahun sebesar 87,13 persen, berarti masih 12,87 persen yang tidak bersekolah (usia 16-18 tidak sekolah 45,54 persen dan usia 19-24 tidak sekolah 85,20 persen).

Perlu diketahui bahwa kualitas SDM, diukur dari kualitas pendidikan yang ditamatkan. Data diperoleh bahwa persentase usia 5 tahun ke atas tidak/belum pernah sekolah sebesar 12,37 persen, tidak/belum tamat SD 17,67 persen, tamat SD/MI/sederajat 32,02 persen dan tamat SMP/MTs/sederajat 16,88 persen. Usia 5 tahun ke atas yang tamat SM/sederajat sebesar 16,67 persen, tamat DI/DII/DIII 1,22 persen, tamat DIV/S1 2,99 persen dan tamat S2/S3 0,19 persen. Dari tabel berikut, diketahui bahwa pada tahun 2012 memberikan gambaran Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada usia 7-12 sebesar 97,95 persen, usia 13-15 sebesar 89,66 persen, usia 16-18 sebesar 61,06, dan usia 19-24 sebesar 15,84 persen. Jadi Angka Partisipasi Sekolah terrendah pada usia 19-24 tahun dan tertinggi pada usia 13-15 tahun.

1412458080352199181
1412458080352199181

Masalah lain yang menjadi perhatian menghadapi bonus demorafi adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 66,44 persen, dimana TPAK di perkotaan lebih rendah daripada perdesaan, masing-masing sebesar 61,96 persen dan 70,46 persen. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat mengakibatkan kebutuhan tempat tinggal semakin meningkat pula. Penyandang disabilitas yaitu penduduk dengan jenis kesulitan penglihatan sebesar 2,68 persen, kesulitan pendengaran 1,71 persen, kesulitan berjalan 1,85 persen, kesulitan berkomunikasi sebesar 1,61 persen.

Bangsa Indonesia juga menghadapi masalah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas atau lanjut usia (lansia) diperkirakan meningkat menjadi 80 juta pada tahun 2030, atau naik 23-24 persen. Oleh karena itu, BKKBN perlu meluncurkan program Bina Keluarga Lansia (BKL) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup para lansia. Kegiatan yang dilakukan antara lain penyuluhan, kunjungan rumah, rujukan dan pencatatan serta pelaporan.

"Banyaknya lansia sebenarnya bukan suatu ancaman jika mereka produktif. Karena itu, BKKBN bersama berbagai sektor, seperti kesehatan dan pendidikan mengembangkan program lansia tangguh. Selain merawat lansia ini lebih banyak hidupnya, dan lebih panjang masa produktif, BKKBN sekarang bersama pakar geriatri berupaya mengembangkan lansia tangguh" (Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof Dr. Fasli Jalal, 2014).

Pemerintah mengusahakan agar para Lansia menjadi Lansia tangguh yang berarti tetap produktif dan mandiri, seperti memperpanjang usia bekerja bagi lansia pensiunan di sektor formal, baik perusahaan maupun PNS, di atas 58 tahun dan 60 tahun dengan mengandalkan kebijaksanaannya atau otak, bukan otot. Perlu adanya dukungan seperti kemampuan kesehatan, dan fasilitas publik yang mendukung lansia agar tetap berkarya, seperti sarana jalan, jembatan penyeberangan, transportasi publik, dan lainnya. Menurut Kepala BKKBN pada rakernas tahun 2013, Pemerintah juga berupaya memberikan intervensi sejak awal siklus kehidupan manusia. Dimulai dari program 1000 hari pertama kehidupan dengan pemberian gizi yang memadai sejak dalam kandungan, saat bayi, balita, dan wajib belajar. Intervensi 1000 hari pertama penting karena penelitian menunjukkan balita yang kurang gizi kecenderungan menderita penyakit degeneratif di masa tua.

Hal yang sangat mempengaruhi masalah demografi juga terjadi karena masuknya budaya asing bagi generasi remaja yang menjadi tantangan keluarga berkualitas. Tapi hal ini dapat dikurangi dengan pendampingan keluarga pada anak. Kepala BKKBN mengajak seluruh keluarga untuk melakukan tiga hal penting, Pertama, memperkuat kembali fungsi keluarga dari segi agama, pendidikan, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial budaya, ekonomi dan lingkungan; Kedua, menata kembali manajeman keluarga dimulai dari kapan menikah, kapan punya anak, jumlah anak dan kapan berhenti melahirkan; dan Ketiga, meningkatkan kualitas penduduk dan keluarga melalui program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga.

1412458146909263243
1412458146909263243



Pertambahan jumlah penduduk memberikan dampak serius terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Data sensus tahun 2000 diperoleh jumlah penduduk sebesar 206,2 juta jiwa dengan laju perumbuhan penduduk sebesar 1,49% atau lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk periode 1970-1980 (2,32%) dan periode 1980-1990 (1,97%). Jumlah penduduk Indonesia menurut Sensus Penduduk tahun 2005 adalah berjumlah 218,9 juta jiwa. Sedangkan penduduk Indonesia tahun 2008 berjumlah sekitar 219 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan 1,3 persen per tahun. Di Provinsi Sumatera Utara tercatat jumlah penduduk sebanyak 12,3 juta jiwa lebih, dan merupakan jumlah penduduk terbanyak keempat di Indonesia, setelah propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dampak penurunan angka total kelahiran (TFR) disebabkan karena meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi (prevalensi) pada pasangan usia subur. Sebagai pembanding, bahwa pada tahun 1971, angka prevalensi kurang dari 5 %, meningkat menjadi 26 % pada tahun 1980, 48 % pada tahun 1987, 57 % tahun 1997 dan tahun 2003 sebesar 60 % (SDKI 2002-2003).

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 sesuai Data Statistik Indonesia sebesar 244,814.9 juta jiwa. Pada tahun dimulainya bonus demografi (tahun 2015) diperkirakan sebesar 273,219.2 juta jiwa. Sedangkan, pada tahun 2035 nanti, penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 305, 652.4 juta jiwa. Penduduk terbesar masih akan berada di provinsi Jawa Barat dengan 57,1 juta jiwa (18,69%), Jawa Timur sebesar 41,1 juta jiwa (13,46%), dan Jawa Tengah 37,2 juta jiwa (12,18%). Kemudian jumlah penduduk yang terendah adalah Papua Barat dengan 1,3 juta jiwa (0,43%). Indonesia telah berhasil dalam menekan angka pertumbuhan penduduknya. Hal ini dilihat dari angka kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2,6 juta jiwa pada tahun 2002, dan pada tahun 2007, angka TFR tetap 2,6 juta jiwa.

Untuk mengantisipasi berbagai hal negatif menghadapi bonus demografi 2015-2035, Badan Pusat Statistik (BPS) telah membuat proyeksi penduduk Indonesia (2010-2035) dengan dasar hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010). Proyeksi ini dibuat dengan metode komponen berdasarkan asumsi tentang kecenderungan kelahiran, kematian, serta perpindahan penduduk antar provinsi yang paling mungkin terjadi selama periode 25 tahun yang akan datang. Adapun tahapan yang dilakukan adalah menghitung proyeksi penduduk Indonesia, kemudian menghitung proyeksi penduduk per provinsi. Langkah selanjutnya adalah melakukan iterasi dengan penduduk Indonesia sebagai patokan sehingga penjumlahan proyeksi penduduk per provinsi hasilnya sama dengan proyeksi penduduk Indonesia.

Hasil proyeksi penduduk yang diperoleh kemudian dibahas dalam tim teknis yang dibentuk oleh BPS, dan hasil pembahasan tersebut didiskusikan lebih lanjut dalam rapat tim yang terdiri dari para pejabat dari Bappenas, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan, BPS, para akademisi dan instansi-instansi lain yang terkait. Rapat tersebut semata-mata untuk mendapatkan data kependudukan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa? Menurut Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (PSKK UGM) Agus Heruanto Hadna mengatakan, bahwa data kependudukan sangat penting karena hal tersebut mudah dimanipulasi. Perlunya membangun sistem informasi kependudukan bisa menjadi pekerjaan awal kementerian baru di Bulan Oktober 2014 nanti. Bahkan, Agus Heruanto Hadna menegaskan bahwa jika potensi bonus demografi diabaikan oleh bangsa Indonesia akan mendapat bumerang beban pembangunan pada tahun 2035. Oleh sebab itu, Kementerian Kependudukan dan BKKBN yang rencananya akan dibentuk Pemerintah Indonesia mendatang diharapkan mampu mengatasi permasalahan kependudukan yang dimulai dari sistem informasi terlebih dahulu.

Apalagi, sesuai Pasal 31 UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diatur bahwa “Perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan”. Ketentuan tersebut diulas juga pada Pasal 152 UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan, bahwa “Perencanaan pembangunanan daerah didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan”. Namun, penjabaran secara rinci terdapat pada Pasal 49 UU No. 52/2009 yang menyatakan, bahwa: 1) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dan informasi mengenai kependudukan dan keluarga”; 2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui sensus, survei, dan pendataan keluarga; dan 3) Data dan informasi kependudukan dan keluarga wajib digunakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai dasar penetapan kebijakan, penyelenggaraan, dan pembangunan.

Kita memahami, bahwa program BKKBN yang paling menonjol adalah program Keluarga Berencana (KB) dalam menekan pertambahan penduduk. Pada acara bertajuk Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XIV, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal menyatakan, bahwa keberhasilan program KB diakui tidak sesukses dulu. Hal tersebut disebabkan, karena: 1) Tidak adanya lembaga mandiri yang mendukung program KKB menyebabkan melemahnya komitmen pemerintah daerah terhadap program KB; 2) Menurunnya jumlah dan kualitas petugas KB di lapangan; 3) Makin diperparah dengan terbatasnya anggaran APBD yang menunjang program KB; dan 4) Meningkatknya jumlah penduduk dengan perekonomian menengah ke atas atau sejahtera, khususnya di perkotaan yang menolak program KB.

Memang, Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan sejak tahun 1970 berhasil menurunkan angka kelahiran dari 5,6 anak per wanita menjadi 2,6 di tahun 2002. Tetapi, hingga 2012 angka kelahiran masih bergeming di angka yang sama.Hal ini yang menyebabkan Indonesia berada di posisi keempat dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia dengan 237,64 juta jiwa (data Badan Pusat Statistik 2010) dengan rata-rata jumlah kelahiran mencapai 4,5 juta jiwa/tahun periode tahun 2000-2010. Padahal kita mempunyai target jumlah angka kelahiran sebesar 2,3 per wanita. Ada beberapa hal yang menyebabkan jumlah kelahiran tidak bisa menurun, seperti: 1) Pemakaian kontrasepsi modern pada tahun 2012 masih 57,9%, dengan sasaran 65%; 2) Kebutuhan KB yang tidak terpenuhi masih di angka 11,4%, padahal sasarannya 5%; 3) Proporsi peserta KB yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang cenderung menurun; dan 4) Rata-rata usia perkawinan pertama perempuan belum mencapai target yang diharapkan.

Masalah-masalah di atas menjadi perhatian besar bangsa Indonesia dan memberikan perhatian bahwa menghadapi periode bonus demografi2015-2035 juga menyimpan potensi badai bom demografi yang berarti jumlah penduduk usia produktif yang melimpah tidak bisa dimanfaatkan, namun justru bersifat teroris yang siap meledak dengan kurangnya lapangan kerja, efek sosial yang buruk, hilangnya momentum untuk mengumpulkan saving (tabungan) atau kesejahteraan. Apalagi, pada tahun 2050 nanti dependency ratio (rasio angka ketergantungan) kembali naik menjadi 0,73 akan memberikan dampak buruk dalam kependudukan. Dikarenakan kelompok usia tidak produktif berasal dari kelompok usia tua yang harus ditanggung hidupnya karena tidak melakukan saving (tabungan) pada periode bonus demografi. Di sisi lain, jumlah orang yang membutuhkan bantuan sosial justru akan semakin meningkat. Dengan demikian, penduduk lansia perlu dipersiapkan sejak dini agar tidak menjadi beban pembangunan, bahkan jika perlu dapat menjadi bonus demografi kedua.

Pembangunan Berwawasan Kependudukan

Menurut Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengamanatkan bahwa penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa. Pada tahun 2012, BKKBN menetapkan visi “Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015”. Visi tersebut mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Perlu dipahami, bahwa kondisi penduduk tumbuh seimbang ditandai dengan angka fertilitas total (TFR) sebesar 2,1 anak per wanita atau angka reproduksi neto (NRR) sebesar 1. Misi yang mulia dari BKKBN adalah berusaha sekeras mungkin untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

Untuk mewujudkan masyarakat yang membentuk keluarga berencana yang bahagia dan sejahtera, Pemerintah perlu melakukan kebijakan tentang Pembangunan berwawasan kependudukan. Pembangunan berwawasan kependudukan atau pembangunan yang berpusat pada penduduk (people-centered development) adalah pembangunan yang direncanakan dengan memperhatikan kondisi dan dinamika penduduk. Semua perencanaan pembangunan harus population responsive (memperhatikan dan mempertimbangkan data dan informasi kependudukan secara lengkap, mulai dari jumlah, pertumbuhan, struktur umur, persebaran, maupun kualitas penduduk). Hal ini dilakukan oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan pengelolaan kependudukan agar tercapai kondisi kependudukan yang kita harapkan (population-influencing policies). Selanjutnya, tindakan apa yang harus dilakukan sebagai realisasi dari Pembangunan berwawasan kependudukan tersebut?

14124582051743800777
14124582051743800777



A.Pelayanan Pendidikan

Untuk mencapai keluarga yang bahagia dan sejahtera, salah satu kunci yang paling menonjol adalah dengan meningkatkan tingkat pendidikan, seperti melalui Gerakan Indonesia Mengajar. Program ini menampilkan anak-anak muda yang sudah bekerja mapan di dalam dan luar negeri untuk sejenak menjadi pendidik di berbagai pelosok Indonesia. Gerakan ini bukan semata memberi kesempatan para pelajar di pelosok Indonesia mendapatkan guru berkualitas, namun juga membangkitkan kesadaran kelas menengah berpendidikan tinggi untuk secara langsung terlibat mencerdaskan anak bangsa. Gerakan ini bahkan juga berhasil menarik peran swasta dalam aspek pembiayaannya. Selain itu, masalah sarana pendidikan (sekolah) juga harus dikembangkan dengan baik.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) maupun pada Kementerian Agama (Kemenag) pada tahun 2008/2009-2010/2011 jumlah Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) terus mengalami peningkatan. Di luar itu, jumlah guru dan seluruh tingkatan sekolah perlu diperhatikan di seluruh Provinsi di Indonesia. Menurut Statistik Indonesia 2012, jumlah guru tertinggi terdapat pada guru Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1.501.236 guru pada tahun ajaran 2010/2011. Sedangkan jumlah guru paling sedikit yaitu Madrasah Aliyah (MA) sebesar 112.793 guru pada tahun ajaran 2008/2009. Di sisi lain, Rasio penduduk usia sekolah per sekolah yang diolah dari data sensus tahun 2010 (jumlah penduduk) dan statistik indonesia (jumlah sekolah) untuk tingkat SD sebesar 168 siswa per SD. Jumlah tersebut menjadi lebih tinggi pada sekolah-sekolah tingkat lanjutan yakni 305 siswa dan 491 siswa per sekolah untuk tingkat SMP dan SMA. Sementara Rasio tertinggi berada pada tingkat perguruan tinggi, yakni 7.504 siswa per perguruan tinggi.

B.Pelayanan Kesehatan

Pada pelayanan kesehatan, hal terbaik untuk mengatur pertumbuhan penduduk adalah dengan mengatur kestabilan pertumbuhan Kelahiran dan Kematian. Keberhasilan yang dilakukan BKKBN dan bantuan jajaran pembangunan lainnya telah berhasil membantu keluarga Indonesia dari penurunan tingkat fertilitas atau tingkat kelahiran yang biasanya setiap keluarga melahirkan sekitar 6 anak, telah berhasil diturunkan dengan lebih dari 50 persennya. Dalam waktu yang bersamaan tingkat kematian bayi dan anak-anak juga turun drastis. Memerlukan beberapa tahapan dalam mengatur pertumbuhan penduduk, yaitu:

1.Tahap Awal : Pendekatan Tradisional dan Kesehatan

2.Program Jangka Pendek, 5-10 tahun melalui: 1) Pendekatan KB melalui bidang Kesehatan, 2) Pendekatan KB melalui pembangunan dengan pembinaan terpadu, dan 3) Pendekatan KB Terpadu dengan tanggung jawab bersama dari berbagai instansi terkait lainnya.

3.Program Jangka Menengah, 10-25 tahun, melalui: 1) Pendekatan KB Desa Terpadu, dan 2) Pendekatan KB dan Pembangunan Kemasyarakatan Terpadu.

4.Program Jangka Panjang, 25 tahun keatas melalui: Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Untuk mengatur pertumbuhan penduduk juga diperlukan pendidikan tentang kesehatan reproduksi. Hal ini dilakukan pada generasi agar mencapai target RPJMN 2014 dan target MDGs 2015, serta mempersiapkan program aksi FP 2020 yang merupakan salah satu target prioritas program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKB & PK). Namun hal penting lain sebagai persiapan menghadapi periode bonus demografi 2015-2035 adalah dengan mengkampanyekan penggunaan alat kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat permanen.

Penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi fertilitas. Daya guna kontrasepsi terdiri atas daya guna teoritis atau fisiologik (theoretical effectiveness), daya guna pemakaian (use effectiveness), dan daya guna demografik (demografic effectiveness). Daya guna teoritis merupakan kemampuan suatu cara kontrasepsi bila dipakai dengan tepat, sesuai dengan instruksi dan tanpa kelalaian. Daya guna pemakaian adalah perlindungan terhadap konsepsi yang ternyata pada keadaan sehari-hari yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ketidak hati-hatian, tidak taat asas, motivasi, keadan sosial-ekonomi-budaya, pendidikan, dan lain-lain. Selanjutnya, Daya guna demografik menunjukkan berapa banyak kontrasepsi diperlukan untuk mencegah suatu kelahiran.

14124582551152992814
14124582551152992814



Perlunya sarana kesehatan, tenaga kesehatan (dokter dan bidan) dan Klinik Keluarga Berencana (KKB) juga sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, diketahui bahwa jumlah tenaga Dokter yang terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dan dokter gigi, mengalami peningkatan dari 42.467 Dokter pada tahun 2010 menjadi 59.492 Dokter pada tahun 2011. Jumlah tersebut sama dengan dengan 24,7 Dokter per 100.000 Penduduk pada tahun 2011. Sedaangkan, Jumlah Bidan juga mengalami peningkatan dalam 3 tahun terakhir yakni 93.889 Bidan pada tahun 2008, kemudian meningkat menjadi 96.551 Bidan pada tahun 2009, dan 124.164 Bidan pada tahun 2011. Jumlah tersebut setara dengan 51,5 Bidan per 100.000 penduduk pada tahun 2011.

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai salah satu sumber layanan kesehatan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah Puskesmas tercatat sebanyak 8.234 pada tahun 2007, meningkat menjadi 8.548 Puskesmas pada tahun 2008, dan 9.321 Puskesmas pada tahun 2011. Sedangkan, Klinik pelayanan KB baik melalui jalur pemerintah maupun swasta terus mengalami kenaikan. Data BKKBN menunjukkan pada tahun 2010 klinik pelayanan KB melalui jalur pemerintah berjumlah 20.050 klinik, meningkat menjadi 26.331 klinik pada tahun 2013 di seluruh Provinsi Indonesia.

14124583181077057893
14124583181077057893



Kesehatan Anak yang mencakup Imunisasi, Pemberian Makan Pada Anak (ASI dan Makanan pendamping ASI) dan Kesehatan Ibu (Jumlah Ibu Hamil, Antenatal Care (Pemeriksaan Kehamilan), dan Penolong Persalinan) juga perlu diperhatikan pemerintah agar berjalan dengan baik. Imunisasi lengkap apabila telah mendapatkan satu kali imunisasi mencegah tuberkulosis (BCG), tiga kali imunisasi DPT, tiga kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Secara nasional, persentase cakupan imunisasi lengkap tanpa pemberian hepatitis B anak umur 12-23 bulan meningkat dalam tiga periode SDKI yaitu 2002/2003, 2007 dan 2012. Bukan hanya imunisasi, pemberian Air susu ibu (ASI) juga sangat diperlukan bayi dalam 6 bulan pertama setelah dilahirkan. Selanjutnya, ASI harus ditambahkan dengan cairan lain dan makan padat yang memberikan gizi yang memadai. Kesehatan juga bukan bertumpu pada anak saja, tetapi kesehatan ibu yang dalam hal ini ibu hamil perlu diperhatikan karena dipengaruhi oleh pemeriksaan kehamilan, komplikasi kehamilan dan persalinan, perawatan masa nifas, serta masalah akses pelayanan kesehatan yang meliputi tempat layanan dan tenaga medis.

C.Pelayanan Keluarga Sejahtera

Fokus BKKBN dan sinerginya pada pembangunan keluarga bahagia dan sejahtera yang dilakukan secara berkelanjutan dengan pilihan sasaran yang tepat dan pemberdayaan terpadu yang holistik. Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan adalah pada beberapa sasaran sebagai berikut: 1) untuk keluarga muda dengan isteri yang berusia antara 20-35 tahun yang merupakan keluarga potensial yang harus mendapat dukungan pemberdayaan khusus karena mereka merupakan keluarga potensial yang harus bekerja keras; 2) untuk keluarga dewasa dengan isteri berusia diatas 35 tahun dan atau belum berusia 60 tahun, atau belum lansia. Pada umumnya lebih mapan tetapi keperluan untuk anak-anaknya memasuki pendidikan tinggi telah bertambah besar sehingga diperlukan kegiatan tambahan, baik diluar kantornya atau di rumah masing-masing; 3) untuk keluarga lansia dengan istri berusia di atas 60 tahun dan anak-anak yang mulai memisahkan diri dari orang tuanya. Perlunya pendirian pusat-pusat pendidikan dan pelatihan dimana tenaga yang mampu bisa menularkan ilmu dan pengalamannya untuk mereka yang lebih muda; 4) untuk anak-anak remaja dibawah usia 20 tahun dengan mengadakan kerjasama lintas sektor dengan berbagai instansi lain untuk mengusahakan agar setiap anak remaja itu bersekolah atau mengikuti kursus-kursus ketrampilan; 5) untuk pemberdayaan lingkungan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan dukungan masyarakat secara luas agar pengembangan berpihak pada upaya mendapat dukungan pengembangan sumber daya manusia dalam era globalisasi.

Langkah mencapai keluarga bahagia dan sejahtera, BKKBN memberikan sarankepada keluarga Indonesia agar bisa menyempatkan waktu minimal 20 menit saja untuk mewujudkan pertemuan yang berkualitas antara anak dengan orangtuanya. Bahkan Kepala BKKBN berusaha keras agar para pekerja tidak harus bekerja dari kantor. Oleh sebab itu, Pemerintah harus bertindak atau berperan sebagai “momong” dan “fasilitasi” yang akrab dan penuh kebebasan. Pemerintah juga hendaknya pandai-pandai “menjual programnya” ke daerah-daerah untuk mendapatkan komitmen, dukungan operasional, baik tenaga maupun dana, serta partisipasi masyarakat luas. Karena, tanpa komitmen, dukungan operasional, dan partisipasi masyarakat luas, upaya pemberdayaan keluarga bahagia dan sejahtera yang dicita-citakan akan tetap menjadi impian belaka.

Setelah Pemerintah mampu mengembangkan pembangunan yang berwawasan kependudukan, kita akan mengetahui seberapa besar Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Perlu dipahami, bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indeks yang mengukur tentang tingkat pembangunan manusia berdasarkan tiga (3) indikator, yaitu: kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Pada tahun 2012, IPM Indonesia berada pada peringkat 121 dari 187 Negara. IPM Indonesia antara tahun 1980 sampai dengan 2012 mengalami peningkatan sebesar 49 persen (dari 0,422 menjadi 0,629) atau naik 1,3 persen setiap tahunnya. Di antara Negara-negara ASEAN, Indonesia berada pada posisi ke 6, dengan nilai capaian IPM sebesar 0,629. Sebagai informasi pada tahun 2012, di negara-negara ASEAN, perolehan IPM tertinggi berturut-turut adalah Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia masing-masing dengan IPM 0,895, 0,855, dan 0,769.



14124583681040725429
14124583681040725429

Akhirnya, dengan persiapan-persiapan yang matang bangsa Indonesia dengan peningkatan pembangunan yang berwawasan kependudukan, kedatangan periode bonus demografibagi bangsa Indonesia bukanlah merupakan sebuah ancaman yang serius. Meskipun, pada kenyataannya banyak kerisauan-kerisauan bangsa Indonesia atas fakta kependudukan yang ada.Tetapi, dengan keseriusan dan fokus pemerintah terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan keluarga sejahtera berdampak pada kesiapan bangsa Indonesia menghadapi periode emas bonus demografi. Selain itu, Bangsa Indonesia juga perlu memahami dampak yang terjadi, jika tidak memanfaatkan kesempatan emas periode bonus demografi tersebut. Hal yang terjadi adalah beban bangsa Indonesia semakin berat paska periode bonus demografi tersebut. Hal ini dikarenakan beban untuk membiayai usia tidak produktif akan berkelanjutan, serta menguras banyak biaya dan energi. Kita semua berharap, agar kedatangan periode bonus demografi merupakan hal yang wajar dan perlu dihadapi bangsa Indonesia dengan senyuman. Dan, sekali lagi bukan merupakan ancaman besar buat Negara!

Referensi:

Bisnis.com. 2013. Ini Dia 10 Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, Indonesia Urutan Berapa?. Diambil dari http://makassar.bisnis.com/m/read/20131128/11/16 7914/ini-dia-10-negara-dengan-penduduk-terbanyak-di-dunia-indonesia-urutan-berapa

BKKBN. 2013. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

_______. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia (Indonesian Population Projection) 2010-2035. Jakarta: Badan Perencanaan PembangunanNasional Badan Pusat Statistik United Nation Population Fund.

Desideria, Benedikta. 2014. Lonjakan Jumlah Penduduk, Rapor Merah BKKBN. Diambil dari http://health.liputan6.com/read/2096032/lonjakan-jumlah-penduduk-rapor-merah-bkkbn

Desideria, Benedikta. 2014. Program KB Sekarang Tak Sesukses Dulu, Kenapa?. Diambil dari http://health.liputan6.com/read/2096072/program-kb-sekarang-tak-sesukses-dulu-kenapa

Eka Prawira, Aditya. 2014. BKKBN Berikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja.

Jefriando, Maikel. 2014. Jumlah Penduduk RI Capai 305,6 Juta jiwa di 2035, Ada Untungnya Nggak? Diambil dari http://finance.detik.com/read/2014/02/07/163925/2490598/4/jumlah-penduduk-ri-capai-3056-juta-jiwa-di-2035-ada-untungnya-nggak

Kusmiyati. 2014. Program Kependudukan Harus Jadi Pusat Perhatian. Diambil darihttp://health.liputan6.com/read/824901/program-kependudukan-harus-jadi-pusat-perhatian

Liputan6.com. 2013. BKKBN Berikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. Diambil dari http://health.liputan6.com/read/2030808/bkkbn-berikan-pendidikan-kesehatan-reproduksi-remaja

Suyono, Haryono. 2002. BKKBN dan Masalah Kependudukan.

Syarifah, Fitri. 2014. BKKBN Serukan 20 Menit Keluarga Berkualitas. Diambil dari http://health.liputan6.com/read/2069278/bkkbn-serukan-20-menit-keluarga-berkualitas

www.bkkbn.go.id

www.pasuruankota.bps.go.id

www.wikipedia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun